Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cahaya menyorot kelir atau layar kain dalam ruangan yang temaram itu. "Teng terenteng teng teng tong teng." Suara onomatope menggunakan mulut yang meniru bunyi denting mengalun laun. Gambar pohon beringin kemudian mengisi layar. Aktor teater Budi Ros berjalan dari pinggir kelir, kemudian menghadap penonton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Budi Ros, yang dikenal sebagai aktor teater, tampil sebagai dalang wayang Tavip di di Gedung Kesenian Jakarta, Jumat, 8 Maret lalu. Wayang Tavip Budi Ros, yang telah dipentaskan di berbagai tempat dengan aneka cerita, malam itu mengangkat kisah tentang “Beringin Setan”. Pertunjukan dihadirkan dua kali, sore dan malam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kisah dimulai dengan kegegeran di Desa Kutowaringin karena pohon beringin yang identik dengan kampung itu ditebang. Musababnya sepele: beringin itu dianggap lebih dikenal daripada Desa Kutowaringin. Pohon itu membuat nama desa tenggelam, sehingga desa itu dikenal dengan Kampung Beringin.
Alasan lain beringin itu ditebang karena dihuni setan. Itu bermula ketika anak Pak Kades, Agnes Winarni, kesurupan setan penghuni beringin. Kejadian itu tidak hanya membuat Pak Kades kelimpungan, tapi juga membuat Agnes gagal main sinetron. Karena itu, Pak Kades mengambil keputusan agar pohon itu ditebang.
Namun rupanya, menebang pohon beringin tidak menyelesaikan persoalan. Justru setelah beringin ditebang, terjadi kesurupan massal di kota itu. Setan di pohon beringin itu murka. Warga yang kesurupan berteriak-berteriak meminta pohon beringin ditanam lagi.
Mbah Dukun bersama Pak Kades pun sibuk membantu warga yang kesurupan. Mereka juga membuat upacara persembahan sesaji agar setan tidak lagi mengganggu. Namun itu tidak menyelesaikan persoalan. Setan menuntut agar pohon beringin itu dikembalikan ke tempat semula. Namun tentu itu tidak mungkin dipenuhi. Mana mungkin pohon beringin yang telah roboh itu tegak seperti sediakala?
Negosiasi antara warga kampung dan setan berjalan tegang dan alot. Setan berkeras dan tak mau mengalah. Akhirnya, sebuah kesepatan dicapai. Setan tidak akan mengganggu lagi bila di setiap halaman rumah warga ditanam pohon beringin. Masalahnya, apakah janji setan bisa dipegang?
Pementasan Wayang Tavip,di Gedung Kesenian Jakarta, Jakarta Pusat, Jumat (8/3/2019). foto: Saiful Mohammad
Adegan berlanjut ke Agnes yang gagal main sinetron tapi malah menjadi populer sebagai pedangdut goyang kejang kesurupan. "Itu bagian olok-olok, satire. Kalau seorang anak pemimpin kerasukan, seisi desa langsung geger," tutur Budi Ros.
Tokoh Agnes tak hanya diperankan dalam unsur bayangan di kelir. Sosoknya dimunculkan di depan penonton sambil menyanyi dan bergoyang. Penampilan tokoh itu secara langsung, menurut Budi, sebagai upaya untuk memberi daya tarik. "Orang teater berekspresi antara lain dengan tubuhnya," kata aktor Teater Koma kelahiran Banjarnegara, Banyumas, Jawa Tengah, 6 Januari 1959, itu.
Berbeda dengan wayang biasa, lengkap dengan peralatan musik gamelan, wayang Tavip Budi Ros minim bunyi. Bunyi-bunyi yang mengiringi pertunjukan itu hanya bersumber dari kecrek dan papan. Selebihnya bunyi dimunculkan melalui mulut. Budi Ros menjelaskan bahwa itu khas dalang Jemblung. "Cara mendalang orang Banyumas tidak pakai gamelan," ujar dia.
Dalam lakon itu, Budi menghadirkan imaji beringin yang cenderung seram. Rimbun daun digambarkan bagai sarang setan dengan menampilkan rupa wajah dengan gigi taring serta beberapa wujud karakter hantu. Bagaimanapun, suasana horor tak muncul sama sekali saat pementasan. Tidak ada adegan yang membuat kuduk merinding.
Justru pertunjukan itu sangat bersifat komedi. Gelak penonton kerap mewarnai perjalanan alur cerita selama hampir satu jam. Kejenakaan menjadi cara untuk menyampaikan pesan. Penonton pun tak perlu mengerutkan dahi menyimak pementasan. "Naskah ini bisa interpretasi menjadi satire politik," kata Budi, yang intens mendalang wayang Tavip sejak memerankan tokoh dalang dalam lakon Teater Koma, Sie Jien Kwie, pada 2010.
Salah seorang penonton, budayawan dan rohaniwan Mudji Sutrisno, memandang pementasan itu sebagai bimbingan pengetahuan situasi politik di Tanah Air melalui medium wayang. "Wayang kombinasi visualisasi untuk generasi milenial." Wayang itu memuat persoalan-persoalan aktual. Misalnya, penebangan beringin yang diputuskan sepihak oleh kepala desa. "Musyawarah itu tidak terjadi," ujar dia.
Adapun dari sisi pertunjukan, penampilan sang dalang Budi Ros di depan kelir dan tokoh Agnes Winani yang menari dan bernyanyi di depan penonton menyedot perhatian Romo Mudji, begitu ia biasa disapa. "Ini contoh terobosan teater wayang. Unsur teater lengkap, ada visualisasi." BRAM SETIAWAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo