Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ketika Tari Menjadi Cermin Realita

"Respons Seniman Tari atas Realita" kembali digelar di Taman Ismail Marzuki. Pementasan tari dengan tema yang beragam dan kualitas yang berbeda-beda.

29 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH kafe, studio penyiar radio, ruang keluarga dengan piano yang berdenting. Tiga ruang yang terpisah: tak saling mengenal. Mungkin asing. Di kafe itu ada perjanjian untuk bertemu, tapi tak jelas apakah akan ditepati. Di studio, penyiar berceloteh, tapi kata-kata telah lama menguap. Denting piano bernyanyi, tapi entah untuk siapa. Ketiganya seperti menyiratkan betapa di sebuah kota besar, keterasingan, juga sepi, bisa menyergap siapa pun. Sound of Silence, karya tari ciptaan Rusdy Rukmarata, salah satu karya yang dipentaskan dalam pagelaran tari di bawah tajuk "Respons Seniman Tari atas Realita" di Taman Ismail Marzuki dua pekan lalu, menggambarkan bagaimana kesepian kaum urban adalah sebuah keniscayaan. Rusdy, yang berlatar belakang balet, mampu mengisi panggung dengan gerak-gerak gelisah yang ulet. Ornamen kafe, kursi-kursi pelayan dan minuman, memberi aksentuasi pada gerak Rusdy—semuanya seperti memberi konteks. Namun, kekuatan pementasan ini tidak hanya terletak pada gerak badan pimpinan sanggar tari Eksotika Karmawibhangga Indonesia (EKI) itu. "Puisi-puisi" Sudjiwo Tedjo yang berperan sebagai penyiar radio dan piano Dian A.G.P. dalam ramuan tari Rusdy juga memperkuat kesan sepi yang larut tadi. Tedjo, yang memang pernah jadi penyiar radio ketika ia tinggal di Bandung, itu memang piawai memberi kesan malam yang jauh pada keseluruhan pementasan. Keindahan yang diciptakan Rusdy, Tedjo, dan Dian A.G.P. ini bersanding dengan karya Miroto berjudul Kidung Wengi. Diilhami oleh patung-patung Buddha tak berkepala di pucuk Borobudur, Miroto, yang malam itu bertelanjang dada dan mengecat hitam seluruh kepalanya, seolah hendak mengejek manusia yang hidup di zaman yang edan seperti sekarang—manusia-manusia tanpa kepala. Tubuh telah menjadi ornamen organik semata, tanpa kepala yang menjadikan tubuh itu tidak cuma onggokan daging. Secara estetis, apa yang ditampilkan pengajar Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini memang menarik. Ketika panggung dibuka sementara cahaya lampu redup, Miroto benar-benar seperti tubuh tak berkepala. Eksperimen yang sebenarnya sederhana ini telah memberikan efek visual yang kuat. Panggung yang lengang seperti dikuasai oleh sosok asing. Kepada sosok asing itulah mata penonton seperti disihir untuk tak mengejap. Terlebih lagi, Miroto mampu membawakan gerak tari yang halus sekaligus bergetar. Ia memang banyak belajar tari dari berbagai sumber—dari Sardono W. Kusumo sampai Daniel Nagrien—sehingga gerak yang dihasilkannya adalah gerak yang kaya: perpaduan antara kehalusan tari Jawa dan gerak ritmis yang energetik. Perpaduan ini mampu memberi kesan bahwa apa yang telah dilakukan Miroto sesungguhnya tidak sekadar sebuah gerak tari. Ia telah mengubah gerak menjadi roh, menjadi alat ekspresi yang subtil. Dua tarian lainnya, Proyeksi Signal karya Andi Abubakar dan Uang karya Djoko H.M., dibandingkan dengan karya Miroto dan Rusdy memang jadi kehilangan elan. Uang menarik karena diperkuat oleh musik etnik yang matang. Derap gerak yang dihasilkan koreografer Djoko H.M. tidak berhasil menciptakan kesan cibiran terhadap materialisme seperti yang diniatkannya. Sementara itu, Proyeksi Signal, meski memiliki ide yang kuat, tidak didukung oleh penari yang mumpuni. Ada kesan, ide besar tentang proyeksi pesan masa lampau itu tidak mampu tertampung dalam tarian berdurasi sekitar setengah jam. Akibatnya, ada penumpukan ide. Kain-kain warna-warni, yang pada pertengahan pertunjukan tertusuk pisau, tidak mampu memberikan aksentuasi yang memikat. Walhasil, melihat rentang mutu pertunjukan tari yang begitu beragam seperti ini, respon seniman atas realitas memang tak cuma tergantung pada kepekaan mereka dalam menyerap realitas tersebut. Satu hal yang tak kalah penting: bagaimana realitas itu ditafsirkan dan diwujudkan ke dalam karya seni yang menarik dan indah secara estetis. Tanpa itu, karya seni mungkin tidak banyak beda dengan pidato politik seorang kader partai. Arif Zulkifli

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus