Kebun Binatang | Naskah | : | Edward Albee |
Produksi | : | Teater IKJ |
Sutradara | : | Eka D. Sitorus |
Penerjemah naskah | : | Eka D. Sitorus |
Pemain | : | Jerry Octavianus, O'im Said |
Tempat dan waktu | : | Teater Utan Kayu, 19-20 Maret 1999 |
DUA lelaki terdampar di sebuah taman di pusat kota: seorang eksekutif 40-an tahun dan seorang pria tak terurus bersepatu dekil. Yang eksekutif berjas wol, menggunakan kacamata berbingkai tebal, dan mengisap cangklong. Yang lain sangat lesu dengan kaus butut yang ditutup kemeja tak dikancing. Sebuah bangku taman, daun yang terserak.
Peter, lelaki berjas wol itu, datang dari sebuah dunia yang tertib. Ia menikah, punya dua anak perempuan, memelihara perkutut dan seekor kucing. Saban akhir pekan, ia duduk di taman melepaskan lelah dari kesehariannya sebagai pegawai bergaji tinggi di sebuah perusahaan penerbitan. Jerry, lelaki lainnya, adalah tubuh yang gelisah. Ia datang dari keluarga yang remuk. Ibunya lari dari keluarga ketika ia berusia 10 tahun. Ayahnya melakukan perjalanan zina ketika Jerry masih ingusan. Ia adalah sosok tanpa format.
Dua orang dari dunia yang sama-sama asing dan sebuah debat eksistensial yang bergemuruh itulah yang ditampilkan Edward Albee melalui naskah Kebun Binatang yang dipentaskan di Teater Utan Kayu, Jumat dua pekan lalu, di bawah garapan sutradara muda Eka D. Sitorus. Sebuah naskah yang—dibikin Albee, seorang penulis drama absurd, yang menulis naskah itu hanya dalam tiga minggu—menyimpan renungan yang panjang.
Melalui percakapan dan debat yang tak berkesudahan itu, Albee memang ingin mengejek konvensi umum yang diterapkan tokoh Peter. Bagi Albee, keteraturan, keluarga, dan moralitas merupakan sekat-sekat dan batasan terhadap keluasan. Dan bagi Jerry, Peter adalah tokoh yang gugup yang tak mampu mengekspresikan dirinya serta menjalankan hidup dalam sebuah garis yang linier. "Kau seseorang yang sangat manis, memiliki sifat tak berdosa yang patut dicemburui," kata Jerry mengejek.
Sedangkan Peter memandang Jerry dengan sorot waswas. Di matanya, percakapan Jerry hanyalah monolog panjang yang asing. Jerry adalah seseorang yang tak hendak berbincang. Ia hanya mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
Di taman itu, Albee telah menjadikan keduanya pada dua wacana yang lepas. Tapi ini tak berarti sutradara urakan yang kini mengajar di School of Theater Universitas Houston itu tidak memihak. Albee sengaja membiarkan Peter dalam situasi tidak paham dan sibuk mencari-cari posisi sosial dalam perdebatan. Albee melukiskan Peter sebagai wakil dari golongan mapan yang percaya bahwa realitas sesungguhnya dan dia bisa didudukkan dalam kotak-kotak kategori yang runtun. Dalam sebuah dialog, ketika Peter ingin memastikan apakah Jerry tinggal di bilangan Cempakaputih—ini tentu daerah yang diciptakan begitu saja oleh Eka D. Sitorus—Jerry menyergap, "Apa sebenarnya yang ingin kaulakukan? Membuat semuanya rapi? Memberi sistem kategori yang sudah usang pada semua ini?"
Inilah sebuah ejekan Albee terhadap kecenderungan kuantifikasi dan dengan demikian juga berarti ejekan terhadap penyempitan. Dan meski argumen ini bukan sesuatu yang baru—Kebun Binatang toh juga bukan naskah baru—dalam sebuah dunia yang mengagungkan takaran, apa yang disampaikan Albee jadi terasa kontekstual.
Pembenaman Albee terhadap tokoh Peter bahkan memuncak di akhir adegan. Peter yang lurus ternyata gagal—tepatnya tidak berani—mempertahankan kelaziman yang dipercayainya itu. Ketika Jerry memaksa Peter meyerahkan bangku taman, Peter kalah. "Bela dirimu, bangsat! Pertahankan bangkumu. Pertahankan burung perkututmu.… Pertahankan anak gadismu," teriak Jerry.
Inilah puncak argumentasi Albee membela "kekacauan" itu. Meski Jerry akhirnya mati tertikam pisaunya sendiri, Albee belum berhenti. Dengan sarkastis ia terus mengejek dunia luar yang lazim, yang sublim dalam tubuh Peter. Peter yang gugup dihardik suara Jerry yang mulai parau dimakan sekarat. Kalimat-kalimat tajam tapi cerdas meluncur dari mulut Jerry yang berludah, "Cepatlah pergi. Perkututmu sedang mempersiapkan makan malam—kucing sedang mempersiapkan meja."
Kebun Binatang adalah naskah absurd yang menawan. Pertunjukan satu jam itu dipenuhi oleh kalimat-kalimat profan dan "berbau busuk". Tapi Albee adalah kejujuran. Ia mengejek normalitas dan mengajak orang memandang dunia dari "mata" yang lain—seperti ketika Pak Guru Keating dalam film Dead Poet Society berdiri di atas meja dan berseru, "Mari melihat dunia dari sudut yang lain!"
Eka D. Sitorus cukup apik menggarap naskah "gelap" ini, kecuali ia terlalu memaksakan kontekstualisasi suasana. Nama-nama jalan yang diganti dengan jalan-jalan di Jakarta tidak diikuti oleh penerjemahan naskah dengan bahasa yang cair. Akibatnya, permainan Jerry Octavianus (Jerry) dan O'im Said (Peter), yang sebenarnya liat, menjadi kagok karena tertimbun dialog terjemahan Eka yang mengikat dan kaku. Pertentangan dua ego dalam sebuah debat psikososial yang sesungguhnya asyik mendadak aneh karena penonton seperti dipaksa mengira-ngira padanan dialog itu dalam bahasa Inggris—semata-mata untuk bisa menangkap pasti tentang apa yang hendak disampaikan Albee.
Di luar itu, kita menemukan keruwetan yang memikat. Albee meneror mental semua orang yang berpandangan lurus, tapi ia tidak terjebak untuk menjadi nenek tua yang nyinyir. Simbolisasi terhadap pandangan-pandangan politiknya digarap dengan pas. Penonton dipaksa berefleksi: bahwa dunia yang teduh, pohon yang rindang, dan kicau burung di taman yang cerah sesungguhnya bisa menjadi ancaman bagi keberlangsungan kehidupan. Albee seperti mengingatkan kita pada sebuah syair dari kelompok The Beatles: "Karena langit itu biru, aku menangis."
Arif Zulkifli
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini