Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ironi di Balik Wayang dan Topeng Bali

Ketut Suwidiarta menggunakan permainan bayang-bayang dan topeng untuk mengungkapkan kegelisahan tentang Bali.  

11 Januari 2025 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ironi di Balik Wayang dan Topeng Bali

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ketut Suwidiarta berpameran di Komaneka Fine Art Gallery, Ubud, Bali, hingga 29 Januari 2025. 

  • Suwidiarta tak bisa melepaskan diri dari wacana sosial dan politik dalam mengarungi dunia seni rupa.

  • Karya-karya Suwidiarta seperti mengajak menyelami kehidupan manusia yang penuh dengan kepura-puraan.

LAHIR dan besar di Desa Bongkasa, Ketut Suwidiarta menyimpan aneka memori tentang kemasyhuran desa di Kabupaten Badung, Bali, itu. Salah satunya adalah kisah tentang I Sampih, penari yang pernah mengikuti misi kesenian Bali ke Benua Eropa dan Amerika pada 1952.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sampih berperan sebagai penari dalam tarian ikonik Oleg Tamulilingan karya maestro Ketut Marya dari Tabanan dengan iringan Gong Peliatan, Ubud. Tarian ini menggambarkan dua kumbang, jantan dan betina, sedang bersenang-senang di taman bunga sambil mengisap madu. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Misi kesenian ini sukses besar mempopulerkan nama Bali. Posternya bahkan dimuat di majalah Time saat mereka tampil di Broadway. Misi itu kemudian disebut sebagai salah satu loncatan bagi perkembangan pariwisata Bali. 

Suwidiarta menggunakan poster itu sebagai salah satu pemantik bagi karyanya yang kini dipamerkan di Komaneka Fine Art Gallery, Ubud, hingga 29 Januari 2025. 

Namun, alih-alih menggambarkan keindahan sebuah tarian, karya bertajuk The Messenger itu menampilkan seorang penari dalam permainan bayang-bayang. Dia memakai topeng yang menyeramkan sehingga jauh dari kesan mempromosikan sisi pariwisata Bali.

Ternyata, Suwidiarta memiliki memori lain tentang I Sampih, yakni kisah tentang perampokan yang dialami sang penari dan konon menjadi akhir dari kehidupannya. “Bagi saya, ini adalah sebuah ironi tentang seseorang yang membesarkan Bali, tapi tak mendapat penghargaan yang sepadan,” kata Suwidiarta.

Lukisan Ketut Suwidiarta “Turn Left”. Dok.Komaneka Gallery

Alumnus ISI Yogyakarta itu mengaku tak bisa melepaskan diri dari wacana sosial dan politik dalam mengarungi dunia seni rupa. Bisa jadi karena dia memasuki masa kuliah pada 1998 ketika semangat reformasi sedang menyala. 

Saat itu Yogyakarta menjadi salah satu titik penting dalam gelombang perubahan. Dia merasakan hawa pertentangan dan perlawanan yang mencekam. Dunia seni rupa pun menjadi alat untuk menyatakan sikap kritis terhadap berbagai fenomena.

Ketika pulang ke Bali pada 2010, setelah menempuh pelajaran di India selama dua tahun, kegelisahan itu masih menghantui Suwidiarta. Dia melihat pariwisata telah menggerus banyak hal yang menjadi modal bagi Bali. 

Ia mulai melihat bahwa pariwisata menciptakan permainan bayang-bayang, orang Bali tak lagi tampil secara jujur dan polos. Mereka bersembunyi dalam layer-layer kepentingan seraya menggunakan topeng untuk menutupi watak aslinya.

Dalam beberapa lukisan, pesan Suwidiarta terasa vulgar. Misalnya, dalam lukisan Turn Left yang memperlihatkan sosok yang kepalanya berupa sebuah pura, tempat persembahyangan umat Hindu, pucuk dari pura itu melengkung ke kiri dan bukannya menunjuk lurus ke langit.

Ketut Suwidiarta bersama lukisannya yang berjudul “The Messenger”. TEMPO/Rofiqi Hasan

Karya itu merupakan ekspresi atas kejengkelannya dengan masuknya kepentingan politik hingga ke wilayah spiritual. Banyak yang memberi sumbangan untuk pembangunan pura dan kegiatan upacara ketika masa kontestasi politik tiba. 

Di sisi lain, Suwidiarta pun tertarik pada berbagai fenomena kontemporer. Isu tentang feminisme, misalnya, ia tampilkan sebagai parodi yang menyajikan figur perempuan masa kini yang tetap terikat pada urusan domestik, tapi harus siap tampil di depan publik.

Secara keseluruhan, karya-karya Suwidiarta seperti mengajak untuk menyelami kehidupan manusia yang penuh dengan kepura-puraan. Untuk sampai pada kesejatian, seseorang harus berani melepas topeng-topeng yang digunakannya, seperti dalam lukisan bertajuk Journey Inside, yang disebut Suwidiarta sebagai karya terakhir untuk pameran ini.

Menariknya, dengan tema dan latar belakang yang beragam, dia konsisten menggunakan teknik hitam-putih untuk melukis figur dan hanya di bagian topengnya yang berwarna.

Hal ini membuat karyanya terkesan makin dramatis karena seolah-olah menimpakan sorotan cahaya dari depan dan menimbulkan kontras dalam lukisan dengan latar belakang hitam pekat. Hal itulah yang membedakan dengan pertunjukan wayang, yang sorotan lampunya berasal dari belakang panggung dan bayang-bayang jatuh di layar putih.

Kesan mistis segera menyergap dalam karya Suwidiarta. Seakan-akan mengingatkan pada suasana Bali di masa silam. Apalagi bagi mereka yang sering bersentuhan dengan filosofi orang Bali, seperti dalam konsep Rwa Bhinneda atau dualitas eksistensi yang senantiasa berdampingan dari waktu ke waktu. Atau keyakinan akan skala (dunia terang) dengan niskala (dunia yang tersembunyi).

Lukisan Ketut Suwidiarta “Ultimate Power (Sovereignty)”. Dok.Komaneka Gallery

Ciri khas lain karya Suwidiarta adalah penampilan topeng-topeng dengan warna yang mencolok. Dia mengaku mempelajarinya dari maestro pembuat topeng Wayan Tangguh, empu pembuat topeng Bali dari Singapadu. Karya Tangguh terkenal di kalangan seniman Bali karena dianggap memiliki taksu atau karakter kuat, bahkan menciptakan aura mistis. 

“Awalnya saya anggap topeng hanya pelengkap tarian, ternyata bisa menjadi medium berkesenian yang menampilkan berbagai watak manusia,” ujar Suwidiarta. 

Kurator Arif B. Prasetyo menyebutkan karya yang ditampilkan memang tak bisa dilepaskan dari pengaruh tradisi wayang karena Desa Bongkasa merupakan salah satu episentrumnya di Bali. 

Arif menyebutkan sejarah kesenian Bali mencatat dua dalang legendaris dari Desa Bongkasa. Pada akhir abad ke-19, Ida Pedanda Gede Singarsa alias Dalang Bongkasa meraih ketenaran setelah menciptakan seni wayang kulit gaya Bongkasa. Pada abad ke-20, nama besar Dalang Bongkasa dilanjutkan oleh cucunya yang juga masyhur, Ida Bagus Gede Sarga alias Dalang Sarga. 

“Pengaruh lain dari wayang pada karya ini adalah tampilan teatrikal figur tunggal dalam lukisan yang memberikan kesan dramatis,” tutur Arief.

Bagi Arief, lukisan Suwidiarta seperti mengisyaratkan kegelapan Bali tempo dulu yang sering dikaitkan dengan sihir, keseraman, dan ketakutan. Palet hitam dan abu-abu, topeng Bali yang seram, dan figur manusia semi-demon dalam lukisan Suwidiarta menggemakan citra Bali masa silam sebagai “Pulau Setan” (Island of Demons).

Itu adalah judul film hitam-putih tentang Bali yang diproduksi pada 1933 oleh Victor von Plessen, Friedrich Dalsheim, dan Walter Spies. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Rofiqi Hasan

Rofiqi Hasan

Kontributor Tempo di Bali

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus