MENINGGAL: Ahli hadis kelahiran Kayutanam, Sumatera Barat, yang sudah menjadi warga negara Arab Saudi ini. Syekh Yasin Al-Padangi, 74 tahun, meninggal dunia pada Jumat, 20 Juli 1990. Ayah empat anak dan kakek dua cucu itu mengembuskan napas terakhir beberapa saat setelah salat subuh bersama istrinya di pondoknya di Uthaibiyah, 2 km dari Mekah. Kabar duka itu disampaikan staf KBRI di Riyadh, Djamaluddin AS., yang masih terhitung murid Syekh Yasin, kepada Menteri Agama Munawir Sjadzali serta rombongan pencari fakta musibah Terowongan Al Muaisim. "Inna lillaahi wa inna ilaihi raajiuun. Kita kehilangan seorang ulama besar," ucap Munawir. Di seantero Mekah dan Madinah, Syekh Yasin, yang bersorot mata tajam dan tak berjanggut itu -- seperti lazimnya orang Arab kondang sebagai ahli hadis. "Ia hafal semua hadis. Ya, semacam pustaka berjalan," kata bekas Rektor IAIN Raden Fatah Palembang, H. Zainal Abidin Fikri, 75 tahun, yang pernah sekelas dengan Yasin di Madrasah Sholatiyah, Mekah pada 1930-an. Sewaktu masih bocah belasan tahun, Yasin diajak ayahnya, Isa, pergi haji. Rupanya, selesai menunaikan rukun Islam, Isa enggan kembali. Sejak itulah Yasin menetap di Arab, dan menekuni agama Islam di sana. "Ia tak bisa lagi berbahasa Indonesia, apalagi bahasa Minang," tutur Zainal Abidin. Dalam perkembangannya, Yasin bukan hanya berbakat di bidang ilmu falak dan hadis. Ia juga bagaikan "pena berjalan". Buku-buku karangannya bertebaran, dari soal hadis, ilmu falak balaghah, usul fiqh, sampai mantiq (logika). Pengaruh pendiri madrasah Darul Ulum Addiniyah di Mekah itu terasa pada kebanyakan ulama Indonesia dan Malaysia yang lulusan madrasah itu. Seperti juga Yasin, mereka menganut aliran mazhab Syafii dan Sunnah Wal Jamaah. Di Mekah, Yasin dijuluki ala-muddin (pemegang bendera agama) -- lebih tinggi dari alim atau allamah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini