TEMPO dulu dan TEMPO sekarang memang beda. Dulu kertas koran, kini kertas ”halus”, sekelas Newsweek dan Time. Dulu cermat dalam pemberitaan, sekarang kebanyakan opini dan wasangka terhadap fakta yang diberitakan dan kurang teliti. Inilah kesan pahitku membaca TEMPO Edisi 29 Juli 2001, ”Satu Republik Dua Presiden”.
Analisis mentah kelihatan jelas pada tulisan hlm. 33, sekaligus kurang teliti saat menyebut tersangka Ibrahim alias AMD, padahal yang benar Ibrahim, Amd. Amd adalah gelar, yaitu ahli madya, gelar keahlian untuk diploma 3.
Kesan ironi juga menggodaku kala di halaman 52 berita prestasi sepuluh siswa di Olimpiade sains menyebut, cara ”pengajaran matematika di sekolah sudah salah jalan. Guru seharusnya mengajarkan matematika sebagai ilmu deduksi atau penguraian dan pembuktian sebuah teorema. Tapi yang terjadi, guru memberikannya secara eksperimental.”
Ironinya ialah, Goenawan Mohamad di Catatan Pinggirnya—yang mengawalinya dengan kata ”ironi”—masih menyebut ”tak seorang pun tersenyum kecil mengenali kekuasaan...”. Sebuah generalisasi yang tak pakai nalar. Kapan Goenawan menanyai setiap orang?
Tentu yang salah bukan Goenawan, yang salah gurunya. Karena Al Zatrow, ketika ditanya Rosiana Silalahi dari SCTV, mengatakan bahwa yang tak mengerti adalah rakyat Indonesia, bukan Gus Dur, sebab Gus Dur adalah guru bangsa dan bangsa Indonesia adalah muridnya. Dia menjawab demikian ketika Rosi bertanya, mengapa GD suka membuat statemen yang membingungkan masyarakat, malah menyebut yang salah pers karena telah memelintir ucapannya. Sang pembantu pribadi GD ini tentu salah karena GD sendiri yang kemarin lalu dalam pidatonya menyebut bahwa Indonesia punya banyak orang pintar, tapi tak punya nurani. Sebab, kalau Zatrow benar, GD tentu pintar tapi tidak punya nurani. Tentu yang tidak pintar bukan GD, tapi Zatrow.
Di halaman 58, Sapardi Djoko D. menulis perihal bahasa Jawa. Setelah bercerita tentang dirinya yang lebih suka berbahasa Indonesia daripada ngoko kepada yang lebih tua dan anak-anaknya yang tak lagi berbahasa Jawa setelah mereka 25 tahun tinggal di Jakarta, ia menyimpulkan bahwa sedang terjadi proses penghilangan jenjang sosial dalam kebudayaan Jawa. Nalar macam mana ini. Yang terjadi pada orang Jawa di Jakarta bisa disimpulkan terjadi dalam kebudayaan Jawa? Siapa yang salah? Tentu gurunya Joko. Joko adalah doktor sastra Jawa, maka yang keliru tentu profesornya.
ALFAKIR
[email protected]
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini