Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Hari rabu di pulau panjang

Kampung pulau panjang, di desa cangkuang, kab. garut penduduknya hidup berdasarkan ajaran agama bercamur dengan legenda. ada 5 larangan atau pamali yang tidak boleh dilakukan oleh penduduk disitu. (pan)

14 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI itu dari dalam rumah-rumah panggung yang kebanyakan berdinding bambu, beratap ijuk, lamat-lamat terdengar suara orang membaca Quran ditingkahi sentak lagu jaipongan dari radio kaset. Selebihnya sunyi: tak ada anak bermain di halaman, tak ada kambing dan kerbau berkeliaran -- sebagaimana biasanya di desa. Malah sawah dan kebun pun tanpa pekerja. "Setiap Rabu memang begini. Kami tidak menerima turis atau penziarah, supaya dapat beribadat dengan tenang," kata Abah Iri, 65 tahun, sesepuh kampung itu. Pada hari itu semua orang tekun di rumah belajar agama, antara lain membaca Al Quran. Dan ketika matahari terbenam di balik Situ Cangkuang, azan magrib terdengar, seisi kampung pun berkumpul di sebuah masjid kecil untuk mendengarkan ceramah agama dari tetua di sana, atau ulama yang sengaja didatangkan dari luar. Kampung Pulau Panjang, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut (Ja-Bar) memang unik: penduduknya hidup berdasarkan ajaran agama bercampur dengan legenda. Di dalam berapa hal malah terlihat legenda lebih dominan. Sesuai dengan namanya, Pulau Panjang memang sebuah pulau kecil, seluas 3 ha, di tengah Situ Cangkuang, danau yang luasnya cuma 25 ha. Penghuni pulau ini pun sekarang 36 jiwa (6 kk). Jumlah itu bertahan terus, meski kampung ini sudah ada sejak abad ke-17. Di situ dikenal 5 pamali (tabu). Yaitu, tak boleh bekerja di hari Rabu, tak boleh memelihara binatang berkaki empat, tak boleh memukul gong atau alat bunyi lainnya, atap rumah harus memakai rabung satu (berbentuk prisma), dan jumlah kepala keluarga di kampung itu tak boleh lebih dari enam. Apabila ada warga kampung yang menikah, harus segera ke luar dari sana, dan baru boleh kembali setelah kepala keluarganya meninggal dunia. Itu pun kalau dia adalah putri sulung keluarga itu, karena di sini kepala keluarga adalah wanita (matriarchat). Karena itu, kata Cucu Suparman, pegawai P&K Garut, "keturunan kampung ini lebih banyak berada di luar." Maksudnya di luar pulau kecil itu. Semua pamali itu berasal dari kisah Sembah Dalem Arif Muhamad, yang kuburannya seperti dimuliakan di pulau ini. Dia konon adalah salah seorang pimpinan lasykar Mataram yang ditugasi Sultan Agung menyerang Batavia, di abad ke-17. Penyerangan itu gagal, dan banyak tentara Mataram yang enggan pulang kampung, di antaranya Arif Muhamad. Dia kemudian bermukim di pulau kecil 13 km di utara Garut itu, menyebarkan agama Islam. Konon kiai inilah yang pertama membawa Islam ke daerah tersebut. Entah sejak kapan, tapi setelah kiai ini meninggal berbagai legenda di sekitar dirinya diambil dan ditafsirkan menjadi hukum, berbaur dengan ajaran Islam yang diajarkannya pada para pengikutnya. Itulah yang terhimpun sebagai 5 pamali tadi. Tentang jumlah rumah yang enam, ini karena kiai tadi punya 6 anak dara dan 1 perjaka. Ini ditafsirkan para pengikutnya kemudian bahwa di situ hanya boleh ada 6 rumah dengan 1 masjid. Walaupun sebenarnya dalam kisah, si perjaka itu meninggal masih muda, tentu saja penduduk tak mengartikannya bahwa masjid sebagai lambang putra tunggal sembah dalem, harus pula dirobohkan. Ketika putra sembah dalem itu dikhitankan, dia diarak di atas tandu (jampana) dengan berbagai macam bunyi-bunyian, di antaranya sebuah gong besar. Naas, pesta besar itu tiba-tiba diamuk topan, dan sang putra mati ditimpa tandunya. Dari sini asal-muasal larangan membunyikan alat-alat musik -- meskipun lagu jaipongan atau degung setiap saat terdengar lewat radio atau kaset. Tentang libur di hari Rabu karena dulunya sang kiai memberi pelajaran agama sehari penuh pada hari itu. Penduduk tak memelihara binatang berkaki empat, karena sembah dalem tak suka memelihara binatang yang suka memakan daun pohonpohonan. Untungnya, sekarang kampung itu rindang oleh pohon-pohon besar. Sejak 1976 kampung ini memang jadi objek turis -- terutama turis lokal yang berziarah di kuburan sembah dalem -- setelah di teliti Drs. Uka Tjandrasasmita, ahli purbakala dari Jakarta, di tahun 1966. Rupanya Uka membaca buku berjudul, Notulen Bataviaachgenootchap yang dikarang seorang Belanda, Vorderman, 1893. Buku itu menyebutkan bahwa di Pulau Panjang ada sebuah makam kuno dan sebuah arca. Makam kuno itu, 8 x 8,9 m berlapis batu gunung, adalah kuburan Arif Muhamad, yang terletak 200 m dari perkampungan. Tapi di dekatnya, Uka menemukan pula sebuah candi Syiwa berukuran 4,5 x 5 m, tinggi 8,6 m. Inilah candi Hindu satu-satunya yang pernah ditemukan di Jawa Barat. Ternyata memang tak ada hubungan makam dengan candi -- yang diduga berasal dari abad ke-8. Tapi sejak 1974 candi itu dipugar oleh Departemen P&K, dan daerah itu pun dinyatakan sebagai cagar budaya. Di situ juga didirikan museum kecil, untuk menyimpan buku-buku kuno yang ditulis sembah dalem dengan huruf Arab gundul, berisi berbagai pelajaran agama, tapi tak meuyebut-nyebut tentang 5 pamali tadi. Isi museum lainnya, cuma foto-foto ketika pemugaran candi. Setiap bulan menurut catatan kantor desa, rata-rata 500 turis datang ke sana, dan jumlah itu membengkak sampai 1.000 di bulan maulid. Tapi umumnya mereka cuma mau menziarahi makam kuno itu sembari membawa berbagai macam hajat dan keinginan. Mereka berdatangan dari berbagai pelosok Ja-Bar. Ada juga dari Jakarta atau kota lainnya. Eye, 35 tahun, dari Leles misalnya, ziarah ke sana karena ingin naik haji. Soalnya, dia sudah menjual 400 tumbak sawahnya Rp 2 juta, mendadak ONH naik menjadi Rp 3 juta. "Bagaimana mungkin saya bisa pergi ke Mekah?" keluh calon haji itu. Maka petani ini pun minta tolong ke makam sembah dalem. Itu sudah dilakukan Eye, enam kali, "mudah-mudahan permintaan saya terkabul," katanya lirih. Yang lalu-lalu, menurut Eye makam itu cukup manjur. Misalnya, dia pernah minta diberi rumah, ternyata sekarang dia memang sudah punya rumah. Untuk berziarah ke sana, Eye harus naik rakit sejauh 300 m menyeberangi Situ Cangkuang yang makin dangkal karena eceng gondok. Atau terkadang dia harus berjalan 1 km melintasi suatu tanah genting. Tak boleh naik kendaraan ke situ karena kata Abah Iri, kuncen (juru kunci) di sana, "sembah dalem dulu tak menyenangi kemewahan." Kunjungan turis yang semakin banyak, mulai mempengaruhi sikap orang kampung di sana. Misalnya tentang asas matriachat. Sampai sekarang memang wanita tetap berstatus kepala keluarga, dan menerima warisan yang sama dengan laki-laki. Asas ini muncul karena sembah dalem cuma punya anak perempuan. Tapi menurut Ny. Hadijah, 40 tahun, salah seorang kepala keluarga di situ, dalam pelaksanaannya semua dikerjakan laki-laki: menentukan hari mengkhitankan anak, atau jadi kuncen. Sanksi konkrit untuk para pelanggar pamali tak pernah dikenal di situ. Hanya menurut Cucu Suparman, pada 1979, pernah datang ke sana seorang tukang cemen (semacam sirkus monyet) mengadakan pertunjukan. Kuncen sebagai kuasa adat di situ, sudah memberi penjelasan tentang 5 pamali, di antaranya memukul bunyi-bunyian. Tapi yang datang itu membangkang. Pertunjukan pun berlangsung: gong ditabuh, dan gendang dipalu. Tiba-tiba saja -- entah kebetulan saja -- datang angin topan, dan pertunjukan itu porak-poranda. "Anehnya rumah di sana tak diusik angin itu," kata Cucu. Orang pun kian percaya pada pamali itu. Kuncen itu sebenarnya harus dijabat oleh wanita. Tapi Abah Iri, kuncen di sana nyatanya seorang laki-laki. "Saya memang cuma pelaksana, resminya ini pekerjaan istri saya," kata Abah Iri memberi alasan. Apalagi para ulama dari luar toh bebas jadi khatib salat Jumat di masjid Pulau Panjang, tentu saja sedikit demi sedikit semua bakal terkikis juga. "Yang penting orang bukan menyembah kuburan itu. Ziarah buat apa dilarang, sebab sudah jadi kebiasaan di sana," ujar Haji Mochtar, ketua Majelis Ulama Desa Cangkuang kepada Hasm Syukur dari TEMPO. Membakar kemenyan di makam juga tak ada salahnya, "anggap saja itu untuk mengusir nyamuk. Di Arab juga orang membakar kemenyan kok," lanjutnya. Dan segala macam pamali tadi pun, di mata Haji Mochtar, tak lebih dari adat-istiadat orang pulau itu yang tak perlu dilarang. Yang jelas penduduk setempat sangat mudah menerima para motivator KB. Soalnya, beberapa tahun yang lalu jumlah penduduk pulau itu pernah sampai 43 jiwa (walau tetap 6 kk), padahal jumlahnya tak boleh lebih 36 (mengikuti anak sembah dalem yang hidup cuma 6 perempuan). Setelah beberapa tahun ikut KB di Puskesmas setempat, sekarang penduduknya kembali 36 jiwa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus