TERLINDUNG di balik tembok dan rimbun daun bougainville, rumah
Teguh Karya ibarat pulau teduh di tengah hiruk-pikuk kota.
Dibeli dengan uang honorarium dan sumbangan para sahabat, rumah
kuno itu terletak di atas tanah seluas 1.000 m2. Shooting film
Di Balik Kelambu sebagian besar mengambil tempat di sini. Lapang
dan nyaman, siang itu di perkarangan nampak Christine Hakim bersiap
untuk latihan. Di salah satu ruang, di dalam, Slamet Rahardjo tekun
mengetik. Dan di pondok paling belakang, Teguh memeriksa
surat-surat sebelum memulai perbincangan dengan TEMPO. Petikannya:
Anda memilih judul Di Balik Kelambu. Apakah ini judul kiasan
atau komersial?
Komersial? Tidak. Gagasan judul itu datang dari Eros Jarot. Tapi
orang-orang lain yang mendengarnya lantas berasosiasi pada seks
dan tempat tidur. Saya bukan orang untuk itu. Malah asosiasi
saya lain. Misalkan ada orang di balik kelambu. Kalau terang,
dia bisa melihat keluar, sebaliknya orang lain bisa melihat ke
dalam. Ini sebuah keadaan. Masalahnya ialah bagaimana
menciptakan kelambu yang bukan dinding. jelas, saya tidak
berpikir apa-apa tentang kelambu. Karena itu pula saya dan
kawan-kawan kalau menyebut macan ya macan bukan kiai atau
mbah.
Apa yang ingin Anda sampaikan lewat film ini?
Secara sederhana saya ingin bercerita tentang orang seperti
Hasan yang bukan menantu saja. Dialah tipe orang yang selalu
kikuk, tidak tahu tempatnya di mana. Saya kenal sekali orang
seperti ini, di sini nggak merasa betah, di sana serba salah.
Orang seperti ini bertahun-tahun ada tapi tidak pernah dirasakan
ada. Banyak yang menyaksikannya ikut prihatin. Tapi
menampilkannya di film saya keberatan kalau ia nampak sebagai
karikatur. Dengan film ini saya usahakan kita keluar dari
batas-batas yang sekadar kamar, sekadar rumah, sekadar mertua,
sekadar Hasan.
Untuk peran bapak mertua, Anda memberi panggilan abah, bukan
bapak atau ayah. Latar belakang sosial bagaimana atau atmosfir
macam apa yang ingin Anda angkat dari sana?
Saya banyak menggunakan bahasa Jakarta dalam film ini. Tapi
bukan Jakarta pinggiran. Saya ingin menempatkan peristiwa dan
masalah dalam subkultur Jakarta yang saya anggap secara dramatis
akan lebih tepat. Tapi tidak ada pretensi mewakili kelas mana
pun juga. Yang saya kemukakan masalah mentalitas yang bisa
terjadi pada siapa saja. Dan masalah itu akrab dengan saya.
Anda menggarap film ini sebagai "orang luar". Terkesan kuat
adanya situasi bergalau, sedang penonton tidak berkesempatan
menghayati lebih dalam. Adakah materi atau konsep Anda yang
mengharuskan begitu?
Ini memang pendekatan konsepsional. Orang-orang lupa bahwa
begitu rupa hidup yang kita jalani, sampai kita tidak sadar lagi
bahwa lalu lintas berisik, sumpek, seperti dikejar-kejar.
Berisik itu jadi seakan-akan baru padahal itulah hidup
sehari-hari yang kita jalani. Ini semua tidak terasa karena
sudah jadi bagian dari hidup kita.
Tapi bagaimanapun film Anda lain. Banyak film sebelumnya yang
mengangkat tema kehidupan kota namun hasilnya tidak begitu.
Saya paham yang Anda maksud. Soalnya yang dibikin itu kasus.
Kalau sudah sampai pengertian kasus artinya spesial, bukan
makanan sehari-hari. Ya kan Tidak saban hari kita mendengar
pembunuhan seperti di Sragen. Jadi film kasus tidak sama dengan
menu sehari-hari. Lain Di Balik Kelambu yang seperti menu
sehari-hari. Ada sayur asam, ada sambal, ada kerupuk. Begitu
saja. Anda tahu keseharian pun perlu jawaban-jawaban.
Seberapa jauh Anda ikut berperan dalam editing?
Saya cuma melihat hasil terakhir editing lalu saya memberi
saran-saran. Sebenarnya pada saat saya mengatakan, "Kamera,
action!", editing sudah ada di kepala saya. Tapi harus diakui
seorang editor punya kreativitas sendiri, dengan timing-timing
yang pas misalnya.
Di samping editing, kekuatan film ini juga terletak pada akting.
Bagaimana Anda mempersiapkannya?
Saya tidak pernah bicara soal peranan, tapi soal sedang dalam
kadaan apa kita sekarang. Dan kita harus memberi jawaban untuk
keadaan ini. Jadi saya mulai membuat film dengan mengenal
lingkungan. Agar rumah tidak terlihat sebagai rumah pinjaman,
baju bukan baju pinjaman. Saya keberatan melihat petani yang
berdiri sebagai pemain golf. Dan saya keberatan sekali kalau ada
pemain yang matanya penuh video tape.
Jika ditelusuri sejak Ranjang Pengantin, Usia 18, Di Balik
Kelmbu, Anda cenderung pada hero -- kalaulah Anda tidak
keberatan dengan istilah ini dalam wujud seorang lelaki lemah
atau gagal. Benarkah?
Saya merasa tidak ada lelaki kuat. Dia menjadi kuat pada saat
dia berhubungan dengan banyak orang. Nyatanya lelaki butuh orang
lain. Ini hal yang kodrati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini