Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Tak ada lelaki kuat

14 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERLINDUNG di balik tembok dan rimbun daun bougainville, rumah Teguh Karya ibarat pulau teduh di tengah hiruk-pikuk kota. Dibeli dengan uang honorarium dan sumbangan para sahabat, rumah kuno itu terletak di atas tanah seluas 1.000 m2. Shooting film Di Balik Kelambu sebagian besar mengambil tempat di sini. Lapang dan nyaman, siang itu di perkarangan nampak Christine Hakim bersiap untuk latihan. Di salah satu ruang, di dalam, Slamet Rahardjo tekun mengetik. Dan di pondok paling belakang, Teguh memeriksa surat-surat sebelum memulai perbincangan dengan TEMPO. Petikannya: Anda memilih judul Di Balik Kelambu. Apakah ini judul kiasan atau komersial? Komersial? Tidak. Gagasan judul itu datang dari Eros Jarot. Tapi orang-orang lain yang mendengarnya lantas berasosiasi pada seks dan tempat tidur. Saya bukan orang untuk itu. Malah asosiasi saya lain. Misalkan ada orang di balik kelambu. Kalau terang, dia bisa melihat keluar, sebaliknya orang lain bisa melihat ke dalam. Ini sebuah keadaan. Masalahnya ialah bagaimana menciptakan kelambu yang bukan dinding. jelas, saya tidak berpikir apa-apa tentang kelambu. Karena itu pula saya dan kawan-kawan kalau menyebut macan ya macan bukan kiai atau mbah. Apa yang ingin Anda sampaikan lewat film ini? Secara sederhana saya ingin bercerita tentang orang seperti Hasan yang bukan menantu saja. Dialah tipe orang yang selalu kikuk, tidak tahu tempatnya di mana. Saya kenal sekali orang seperti ini, di sini nggak merasa betah, di sana serba salah. Orang seperti ini bertahun-tahun ada tapi tidak pernah dirasakan ada. Banyak yang menyaksikannya ikut prihatin. Tapi menampilkannya di film saya keberatan kalau ia nampak sebagai karikatur. Dengan film ini saya usahakan kita keluar dari batas-batas yang sekadar kamar, sekadar rumah, sekadar mertua, sekadar Hasan. Untuk peran bapak mertua, Anda memberi panggilan abah, bukan bapak atau ayah. Latar belakang sosial bagaimana atau atmosfir macam apa yang ingin Anda angkat dari sana? Saya banyak menggunakan bahasa Jakarta dalam film ini. Tapi bukan Jakarta pinggiran. Saya ingin menempatkan peristiwa dan masalah dalam subkultur Jakarta yang saya anggap secara dramatis akan lebih tepat. Tapi tidak ada pretensi mewakili kelas mana pun juga. Yang saya kemukakan masalah mentalitas yang bisa terjadi pada siapa saja. Dan masalah itu akrab dengan saya. Anda menggarap film ini sebagai "orang luar". Terkesan kuat adanya situasi bergalau, sedang penonton tidak berkesempatan menghayati lebih dalam. Adakah materi atau konsep Anda yang mengharuskan begitu? Ini memang pendekatan konsepsional. Orang-orang lupa bahwa begitu rupa hidup yang kita jalani, sampai kita tidak sadar lagi bahwa lalu lintas berisik, sumpek, seperti dikejar-kejar. Berisik itu jadi seakan-akan baru padahal itulah hidup sehari-hari yang kita jalani. Ini semua tidak terasa karena sudah jadi bagian dari hidup kita. Tapi bagaimanapun film Anda lain. Banyak film sebelumnya yang mengangkat tema kehidupan kota namun hasilnya tidak begitu. Saya paham yang Anda maksud. Soalnya yang dibikin itu kasus. Kalau sudah sampai pengertian kasus artinya spesial, bukan makanan sehari-hari. Ya kan Tidak saban hari kita mendengar pembunuhan seperti di Sragen. Jadi film kasus tidak sama dengan menu sehari-hari. Lain Di Balik Kelambu yang seperti menu sehari-hari. Ada sayur asam, ada sambal, ada kerupuk. Begitu saja. Anda tahu keseharian pun perlu jawaban-jawaban. Seberapa jauh Anda ikut berperan dalam editing? Saya cuma melihat hasil terakhir editing lalu saya memberi saran-saran. Sebenarnya pada saat saya mengatakan, "Kamera, action!", editing sudah ada di kepala saya. Tapi harus diakui seorang editor punya kreativitas sendiri, dengan timing-timing yang pas misalnya. Di samping editing, kekuatan film ini juga terletak pada akting. Bagaimana Anda mempersiapkannya? Saya tidak pernah bicara soal peranan, tapi soal sedang dalam kadaan apa kita sekarang. Dan kita harus memberi jawaban untuk keadaan ini. Jadi saya mulai membuat film dengan mengenal lingkungan. Agar rumah tidak terlihat sebagai rumah pinjaman, baju bukan baju pinjaman. Saya keberatan melihat petani yang berdiri sebagai pemain golf. Dan saya keberatan sekali kalau ada pemain yang matanya penuh video tape. Jika ditelusuri sejak Ranjang Pengantin, Usia 18, Di Balik Kelmbu, Anda cenderung pada hero -- kalaulah Anda tidak keberatan dengan istilah ini dalam wujud seorang lelaki lemah atau gagal. Benarkah? Saya merasa tidak ada lelaki kuat. Dia menjadi kuat pada saat dia berhubungan dengan banyak orang. Nyatanya lelaki butuh orang lain. Ini hal yang kodrati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus