Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gamelan panembung mulai membangun orkes dengan nada-nada tegas. Warna bunyinya nyaring kemlontang, menandakan gending berkarakter ageng. Nada-nada repetitif yang hampir berbentuk melodi itu segera disahut orkestrasi ricikan gamelan lain. Komposisi berlaras pelog itu pun mengalirkan gending berstruktur rapi dan nyamleng. Ia bergerak dalam jalinan melodi, harmoni, serta ritme yang terukur secara kompositorik.
Komposisi gending bertajuk Isakuiki karya Rahayu Supanggah ini pekat sisi akademisnya. Supanggah kelihatan amat canggih dan halus meramu tradisi menjadi lebih excited tanpa harus menambahkan musik non-gamelan—sebagaimana kerap dilakukan banyak pemusik lain.
Adapun Sutanto Mendut tergopoh-gopoh menuju seperangkat keyboard synthesizer ketika 50-an pemusik dan penari baru mulai tampil. Ia memencet nada-nada yang sungguh disonan dengan gending yang telah disiapkan para seniman yang kesohor disebut Komunitas Lima Gunung. Sutanto seperti sengaja membuat kekacauan bangunan komposisi. Bunyi piano listrik dari permainan Sutanto yang ia sebut sebagai "naluri ngarang biasa" dan menurut dia telah berada sebagai "post-musik" ini bertambah riuh oleh rentetan bunyi truntung yang keras dan heroik.
Kekisruhan kian menjadi ketika sepasang penari berbalut pasangan pengantin membacakan ayat-ayat yang dicuplik dari syair Khaullu Hayati karya Umi Kultsum, sebelum bersambung dengan tarian Soreng Hip Hop dan Gupolo Gunung. Musik Sutanto berjudul Indonesia Drrret… Crut… (Mandala Sunyi Borobudur). Struktur pertunjukannya merefleksikan realitas konkret komunitas gunung yang tak bisa mengelak dari tren pertemuan Timur-Barat. Hanya, pada yang Timur, gurunya adalah lalat, lebah, orong-orong, dan berjenis-jenis serangga lain. Juga peri, wewe, genderuwo, serta gerombolan memedi.
Dengan semua makhluk berikut ekologi desanya itu, mereka membabarkan visi estetik. Seluruh bangunan estetik dalam bungkus komposisi musik truntung yang ritmis itu pun menjebol naluri akademis dan non-akademis menjadi entitas pertunjukan yang konkret: meniadakan definisi dan kategori seni.
Dua komposisi di atas seakan-akan menunjukkan representasi kontras antara seniman klasik-modern dan seniman organik. Namun, sebagai yang organik, Sutanto dan Komunitas Lima Gunung menyeru, dua entitas seni tersebut tak perlu diposisikan secara binary opposition. Sebab, sungguhpun kontras dan ironik, pada keduanya yang penting adalah hadir secara bersama-sama dan menciptakan peristiwa. Bukan perkara benar-salah, baik-buruk, bodoh-pintar, dan seterusnya.
Malah, bagi Supanggah—yang menyebutkan memang seharusnya musik memasuki ruang penciptaan yang bineka—perjumpaan yang kontras justru memunculkan genre yang "tidak biasa", yang memiliki kemungkinan-kemungkinan bingkai baru di dalam dunia musik. Supanggah menyikapi gamelan tradisi selayaknya "kasur empuk yang terjaga kehalusannya"—untuk menolak anggapan Rendra yang pernah menyebut seni tradisi sebagai "kasur tua".
Komposisi gending Isakuiki garapan Supanggah di atas mengawali perhelatan Bukan Musik Biasa (BMB) di Pendapa Taman Budaya Surakarta, Jawa Tengah, 28 Mei 2014. Sedangkan komposisi Sutanto menjadi akhir pertunjukan dari forum musik dan dialog yang diadakan setiap dua bulan ini. Di samping kedua komponis tersebut, hadir Memet Chairul Slamet dan Djaduk Ferianto, yang menampilkan karya terbarunya. Memet memainkan komposisi berjudul Bermain. Bangunan komposisi menunjukkan ikhtiar persenyawaan musik lintas etnis.
Sungguhpun bentuk eklektik seperti ini sudah jamak dilakukan oleh banyak pemusik, keterampilan dalam meramu ensambel menandakan kematangan komponis pendiri kelompok musik Gangsadewa itu. Genre serupa dilakukan Djaduk Ferianto. Ia memainkan Urip kok Mung Kontemporer, yang terdiri atas tiga bagian: Swarnadwipa, Angop, dan Barong. Keseluruhannya berbalut musik jazz yang berfusi dengan aneka musik etnis.
Momen musikal yang paling dicari malam itu adalah kebiasaan parodik, komikal, dan modus "ritus pembalikan" yang paradoks dan ironik—yang menjadi karakter musik Djaduk—bahkan untuk komposisi yang magis sekalipun. Pada komposisi Barong, misalnya, Djaduk mengolahnya dalam jalinan musik perkusif melalui alat-alat musik melodi. Ia juga menyambungkannya dengan kerancakan teknik walking bass yang jauh dari aura wingitnya tarian barong yang menjadi sumber musik ini.
Bukan Musik Biasa, yang digulirkan mendiang I Wayan Sadra, menjadi ruang pertunjukan musik baru bagi pemusik lintas genre dari beberapa generasi. Hingga edisi ke-40, yang berarti sudah tujuh tahun penyelenggaraannya, BMB mengisi kesunyian forum musik yang concern terhadap dunia penciptaan. Ia melahirkan dan menyebarkan ruang penciptaan bagi calon komponis muda, bahkan bagi para komponis yang telah malang-melintang antarbangsa, untuk berkiprah di luar jalur musik mainstream, yang terlalu sempit ruang ekspresinya akibat pendiktean sistem industri.
Salah satu poin terpenting dalam penyebaran ruang penciptaan adalah kredo "Bebaskan musik dari beban kulturnya!" yang selalu Sadra udarkan kepada para cantriknya. Kredo itu jumbuh dengan apa yang telah ditampilkan para pengisi BMB selama ini—termasuk karya para komponis pada Rabu malam tersebut. Ialah musik yang berada "di luar" area musik yang terpenjara oleh tradisi dan kebudayaannya, secara teori dan prakteknya. Kredo ini serujuk untuk tidak berpikir secara kategoris dalam melihat musik. Panitia penyelenggara membahasakan dalam kalimat: Sound (un/and) Sound.
Bagi Slamet Abdul Sjukur, forum BMB menunjukkan kerendahan hati Sadra sebagai orang awam. Sebab, apa yang telah dikerjakan Sadra selama ini memang bukan hal biasa. Penegasannya lewat diksi "bukan biasa" mesti dimaknai sebagai bukan sesuatu yang kategoris, melainkan spirit untuk membuka ruang penciptaan yang justru akan menjebol kategorisasi. Ini disampaikan Slamet Abdul Sjukur dalam sarasehan yang diadakan siang harinya. Sarasehan yang menghadirkan para komponis (Rahayu Supanggah, Sutanto Mendut, Djaduk Ferianto, dan Memet Chairul Slamet) itu juga mendatangkan musikus Suka Hardjana sebagai pembicara utama.
Suka Hardjana menafsir forum BMB berangkat dari falsafah "Isone iso margo ra iso, Anane ono margo ra ono" yang ia tuliskan dalam secarik puisi Serat Sontoloyo. Pada larik-larik kalimat itu kita diajari agar bertindak menurut "apa yang kau tahu", berbuat menurut "apa yang kau tidak bisa", sebab "ke-bisa-an itu ada karena tak bisa" dan "keberadaan itu ada lantaran ke-tidak-ada-an". Pak Suka, demikian begawan musik ini biasa disapa, melihat forum BMB, berikut kredo Sadra, adalah ilmu yang didapatkan dari ke-tidak-bisa-an dan ke-tidak-ada-an.
Ia menguraikan pengalamannya ketika diminta menjadi pengajar program pascasarjana penciptaan seni Institut Seni Indonesia Surakarta yang masih mencari bentuk kurikulumnya. Dalam ke-tidak-bisa-an dan ke-tiada-an itu ia justru menemukan konsep dan bentuk kurikulumnya. Melalui analogi ini, BMB lantas menemukan peran pentingnya bagi para komponis yang selalu bergairah untuk menemukan kebaruan dalam bermusik tapi tak mendapatkan ruang.
Di sini, BMB juga punya kontribusi yang dapat dianggap sebagai model di antara festival-festival yang sepi dari pemikiran dan diskursus penciptaan musik, ditambah kurikulum dan sistem pendidikan kesenian (musik) serta sejumlah pernyataan elite pengelola Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menganggap pendidikan kesenian seperti mesin fotokopi. Untuk itulah penting kiranya merenungkan apa yang dinyatakan dalam tembang berikut ini.
Pak menteri mau cetak sarjana 10.000 orang dalam 3 tahun
iki pendidikan
peternakan
opo
percetakan?
ora iso ora iso ora iso ora iso ora iso
(Suka Hardjana: Serat Sontoloyo)
Joko S. Gombloh (Pemerhati Musik) & Halim H.D. (Networker Kebudayaan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo