TROPIC FEVER -- THE ADVENTURE OF A PLANTER IN SUMATRA
Oleh: Ladislao (Laszlo) Szekely,
Diterjemahkan oleh: Marion Saunders diberi kata pengantar oleh
Anthony Reid.
Kuala Lumpur dll: O.U.P., 1979, XV + 352 h, 21,5 x 14 cm.
COOLIE
Oleh: Madelon Hermina (Szekely) Lulofs. Diterjemahkan dari
bahasa Belanda oleh: C.J. Renierdan Irene Clephane dengan kata
pengantar oleh Anthony Reid.
Kuala Lumpur dll: O.U.P., 1982, X + 216 h, 18 x 12 cm.
KEDUA buah roman ini termasuk apa yang oleh orang Prancis
disebut literatur engagee, yakni sastra yang terlibat di dalam
keberpihakan kepada korban-korban ketakadilan dan penindasan.
Suami istri Eropa totok menembus garis demarkasi warna kulit dan
menempatkan diri sebagai juru bicara kaum kuli kontrak Jawa di
perkebunan-perkebunan Sumatera Timur (Oostkust van Sumatra,
sebuah keresidenan, dahulunya bahkan gubernemen yang setingkat
dengan provinsi). Kaum kuli kontrak bisu, mulut mereka dibungkam
poenale sanctie (hukuman siksa) dan koelie-ordonnantie yang
memberi hak kepada kaum majikan untuk menghukum tanpa suatu
proses peradilan. Perkebunan-perkebunan baik tembakau, maupun
karet baik kelapa sawit, maupun teh, gambir dan akar derris,
merupakan negara-negara di dalam negara.
Bagi penanam modal Sumatera Timur merupakan daerah colonial
extraprofit, bagi para raja bumiputra pemberi konsesi tempat
menguras uang dengan ongkang-ongkang, bagi pegawai-pegawai
Belanda maupakan titian untuk menjadi kaya di dalam 10-20 tahun.
Tapi bagi kaum kuli kontrak maupakan segara lumpur, dari mana
mereka tak akan kembali ke Jawa. Sekali mereka menDeli-kan diri,
mereka beranak pinak menumbuhkan kebudayaan Jadel (Jawa-Deli)
yang bercorak khas.
Beda suami-istri Szekely dari Belanda-Belanda perkebunan lainnya
adalah mereka punya mata yang jeli dan hati yang peka merekam
derita sesama manusia. Mereka menyuarakan sanggahan terhadap
pencopotan kemanusiaan (dehumanisasi) sesama anak Adam dan Hawa.
Tokoh di dalam Tropic Fever adalah seorang pemuda Hongaria dari
Budapest yang setamat gymnasium langsung menerjunkan diri ke
Sumatera Timur setelah membaca sepucuk surat tentang kayanya
kemungkinan-kemungkinan di sana. Temannya seperjalanan, Peter,
kembali mudik ke Budapest setelah tiga hari berada di Medan.
Tapi si tokoh bertahan hingga menjadi opsinder di perkebunan
karet di Kuala Batu dan administratur perkebunan bukaan baru
Bukit Jempol. (Agaknya Wingfoot di Kabupaten Labuhan Batu).
Karena adanya larangan kawin bagi Para opsinder maka pernyaian
(pergundikan alias konkubinat) merupakan jalan keluar yang
dipaksakan. Rasa simpati timbal-balik ternyata dapat tumbuh
antara si tokoh dengan Kartinah, nyainya. Ternyata ras hanya
sedalam kulit (race is but skindeep!). Tapi perpisahan yang
dipaksakan oleh perintah Klaassen -- bekas kusir di Antwerpen
yang berhasil menjadi administratur yang licik, kejam dan
pendendam -- menyebabkan si tokoh berpisah dengan Kartinah. Dua
ratus guldens merupakan konpensasi yang diberikan si tokoh
kepada Kartinah ketika ia berangkat ke Bukit Jempol. Segala
sesuatu punya penilaian berupa uang. Simpati dan saling
keperluan hayati ternyata hanya berharga dua ratus guldens alias
empat ton beras. Cukup mahal untuk ukuran kolonial.
Roman otobiografik ini adalah sebungkah realisme yang memang
bukan merupakan ungkapan seni sastra tertinggi, tapi cukup
bermutu, jujur dan akrab. Berdasarkan pengenalan saya atas dunia
perkebunan di Sumatera Timur melalui wawancara dengan
orang-orang Belanda dan Indonesia, bacaan dan pengamatan
(1950-1952), saya dapat mengecek kebenaran gambaran roman ini:
apa adanya, tidak berlebihan atau dikurang-kurangi! Tapi justru
karena itulah kaum kolonialis menjadi kebakaran jenggot berdiri
serentak memaki orang Magyar ini yang tak punya solidaritas ras
kulit putih.
* * * * *
COOLIE merupakan pelengkap yang memadai bagi Tropic Fever.
Perbedaannya adalah titik pandang: yang disebut terdahulu
bertolak dari orang ketiga, sedangkan yang disebut belakangan
bertolak dari orang pertama, dengan seorang opsinder humanitaris
berkebangsaan Hongaria. Pelukisan dititikberatkan atas
orang-orang kulit putih -- yang memandang para kuli perkebunan
hanya sebagai sarana-sarana penghasil dividen -- di dalam
perlakuan bawah-insani (sub-human) terhadap kaum kuli. Tapi
Coolie mencoba mendalami perasaan dan reaksi kaum kuli terhadap
kesewenang-wenangan dan kekejaman para penguasa perkebunan.
Ruki yang tertipu oleh bujukan pencari kuli (koelie-werer) yang
datang ke desanya pergi bersama dengan Sidin dan Karimun. Di
kantor tempat berkumpulnya kuli kontrak -- agaknya ADEK =
Algemeene Deli Emigranten-Kantoor -- ia bertemu dengan Karminah
yang juga merupakan korban tipu muslihat. Hati Ruki bertemu
dengan hati Karminah, tapi yang terakhir ini dirampas
kendaraannya oleh mandor kapal pengangkut kuli. Karminah yang
sesampainya ke Deli dijatahkan kepada Marto, kemudian ditaksir
dan digundik oleh opsinder. Ia makmur: berkebaya renda, berselop
dan memakai empat keping ringgit emas. Tapi Ruki tetap miskin,
sampai-sampai tidur tanpa tikar dan bantal serta tak punya baju.
Ia menanda-tangani kontrak hingga sembilan belas kali (tiga
puluh tahun). Judi yang sengaja dipupuk oleh maskapai perkebunan
menjerumuskan dia dan rekan-rekannya ke dalam pembaruan kontrak
terus-menerus.
COOLIE melukiskan kemerosotan akhlak kaum kuli di dalam
kehidupan bawah-insani (sub-human existence) yang sengaja
dipupuk berlandaskan hukuman siksa (poenale sanctie) menurut
ordonansi kuli (1872-1932). Pranata pernikahan di antara kaum
kuli memang tak ada. Kuli wanita dijadikan teman hidup seorang
kuli lelaki berdasarkan alokasi tuan kuasa perkebunan menurut
sikap pilih kasih. Sewaktu-waktu wanita itu dapat dicabut untuk
diserahkan kepada orang lain atau dipergundik oleh opsinder
kulit putih. Dapat pula diwariskan tanpa ditanya pendapat dan
kehendak wanita itu sendiri. Itu sesuai dengan perzinaan,
pelacuran dan perjudian yang sengaja dikembangkan untuk menopang
'panggilan suci' yang agaknya namanya yang tepat adah mission
sacree de syphilisation. Pembugilan sistem eksploitasi kolonial
inilah yang telah membuat kaum kolonialis Belanda mencaci maki
Nyonya Szekely-Lulofs.
Buku ini mengandung berbagai kesalahan, misalnya Wirio dipakai
untuk nama wanita yang dialokasikan kepada Sentono. Barangkali
dengar-dengaran yang keliru untuk Wuri atau Wari. Salat
dilukiskan sebagai kedua tapak tangan menekap muka terus-menerus
sebelum ruku' dan suhud. Astaghfiru'llah, Masya Allah, Allahu
Akbar dan Laillaha Illa'llah semua dijadikannya Lah-illahil
Allah. Tapi kesalahan-kesalahan itu tak mengurangi segi
positifnya meneropong dunia kuli kontrak dengan segala simpati.
Ia -- sebagai bekas istri tuan kuasa kebun di Kisaran, sebelum
mingat dan bersatu dengan Tuan Szekely -- memang mengenal dunia
itu dengan baik.
Saya menganggap kedua buah buku di atas termasuk yang patut
di-Indonesiakan.
S.I. Poeradisastra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini