Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Strategi kelangsungan hidup

Kini wanita telah turun ke jalan menjadi buruh kasar perbaikan jalan. penghasilan mereka rendah, tak sebanding dengan ongkos kebutuhannya. bukannya mereka tertarik pada kota, tapi sekadar bisa hidup.

17 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI ditaburkan dari kayangan, mendadak sontak mereka bertebaran di jalan yang bopeng dengan tugas mulia memuluskan dan meluaskan jalan. Dengan begitu sekaligus mereka memberikan andilnya pada pembangunan semesta, karena bukankah kemulusan jalan sebuah indikator utama? Srikandi-srikandi itu sigap dan tidak canggung, bekerja berdampingan dengan pria. Pengamat yang belum mafhum perihal kemajuan zaman terpaksa menggelengkan kepala melihat wanita turun ke jalan, bukan berdemonstrasi dan hingar bingar, tapi demi perbaikan jalan itu sendiri. Cekatan mereka mengangkat batu atau pasir, menyodokkan sekop bilamana perlu. Tak ayal lagi, di segala bidang wanita menampilkan kebolehannya. Pekerjaan umum tidak monopoli laki-laki. Sebagai diturunkan dari langit, para srikandi bertebaran di proyek bangunan, memberikan darma baktinya membangun bangunan yang besar kukuh di kota. Pekerjaan mereka tidak cuma meratakan tanah, mengangkat batu dan sejenisnya tapi juga mengaduk semen dan mencampur bahan labur secara mengagumkan. Lambat laun bakal ada yang jadi mandor, kalau perkembangannya terus begini. Tergerak oleh fenomena itu, tergelitik oleh teori pemekaran status wanita, Eraini memilih topik yang menarik itu untuk skripsinya: pekerja wanita pada proyek bangunan. Bukankah partisipasi wanita di luar sektor pertanian, sebuah lambang kemajuan yang tidak bisa diabaikan? Lambang pendobrakan yang penting terhadap keterikatan pada tanah yang makin menciut. Dari segi pendapatan per kapita, Indonesia sudah lolos dari kemiskinan dan, alhamdulillah, melejit ke golongan berpendapatan sedang. Mana tahu, pekerjaan wanita-wanita itu melambangkan pertanda zaman. Pertanda kekangan pada kaum mereka mulai mengendur, pertanda kita mendekati keadaan "gemah ripah loh jinawi". Cocok kalau skripsinya berjudul "Emansipasi wanita dalam menyongsong ekonomi lepas landas." Ditelusuri Eraini suka duka 65 wanita, berusia 15 sampai 50 tahun. Status perkawinan mereka kiranya tipikal untuk pedesaan Daerah Istimewa Yogyakarta: 68% berstatus kawin 19% belum kawin, selebihnya janda mati dan janda cerai. Satu wanita berpisah dengan suami. Tak bisa diterangkan mengapa perpisahan seperti itu dinamakan "pisah kerbau" (pisah kebo), lantaran kerbau toh tidak mempraktekkan perpisahan seperti itu. Mayoritas dari srikandi itu (52%) belum pernah menduduki bangku sekolah. Sebanyak 42% tak tamat SD dan 12% tamat SD. Lalu seorang tak tamat SMP dan seorang lagi tamat SMP. Dalam bahasa menterengnya: umur berkorelasi dengan pendidikan. Semakin tinggi umur responden, semakin rendah pendidikan mereka. Begitu jelas kelihatan keuletan dan ketabahan mereka bekerja keras. Tidak kalah dengan orang Jepang begitu kerap dijadikan bahan pujian untuk orang Asia. Desa mereka 23 km di selatan kota dan karena itu subuh pukul 5.30 sudah siap untuk berangkat ke kota, sebagai migran sirkuler kata sarjana kependudukan. Mayoritas naik kol (Colt) dan bis. Sebagian naik sepeda atau membonceng. Jam kerja mereka dari pukul 08.00 sampai pukul 15.00, lalu kembali lagi srikandi-srikandi itu ke desa. Hari-hari yang panjang. Mayoritas srikandi itu dapat imbalan standar Rp 600 per hari. Bisa dinaikkan Rp 50 (menjadi Rp 650) kalau dia menunjukkan kecepatan kerja dan ketrampilan di atas rata-rata. Umpamanya sudah bisa mencampur labur dengan tepat, sesuai dengan takaran yang dipatokkan. Tetapi perlu dicatat bahwa rekomendasi mandor amat diperlukan untuk kenaikan gaji itu. Eraini menghitung-hitung pendapatan bersih seorang pekerja, seperti ini. Sehari dapat Rp 600. Potong ongkos transpor Rp 150 tinggal Rp 450. Untuk mandor Rp 2,5, sisa Rp 425. Dikeluarkannya Rp 50 secara bijaksana untuk makan siang -- sebungkus kecil nasi berlauk daun singkong atau tempe. Sisa Rp 375. Kalau perut sedang lapar, dia digoda makanan kecil bernama "cemplon" atau "bakwan", seharga Rp 10. Tinggal Rp 365. Untung air minum cuma-cuma. Namun kalau sekali-sekali dia merasa capek luar biasa, tergodalah dia minum jamu pegel linu, yang berakibat amblas Rp 75. Dibawa pulang Rp 290. Lantaran pendapatan begitu minim sedang pengeluaran cenderung membengkak, lebih separuh dari mereka mengerjakan pekerjaan sambilan, sesudah makan malam. Ada yang menganyam tikar, selesai sehelai dalam 6 hari. Keuntungan bersih Rp 450, jadi dapat Rp 75 sehari. Ada yang menganyam tepas, selesai selembar dalam 3 hari, untung Rp 250. Dapat Rp 83 sehari. Dua orang membuat nasi bungkus dengan lauk daun singkong atau tahu tempe dan juga makanan kecil dari ketela. Mereka jual untuk kawan-kawan sesama buruh bangunan di kota. "Untungnya berupa uang ya tidak ada," tukas mereka dengan lugu, "cuma numpang makan (nunut neda)." DAN, astagfirullah lima pekerja tidak pulang demi penghematan ongkos transpor. Juga menghemat energi, karena pulang pergi cukup melelahkan. Mereka tidur dalam gubuk seadanya dekat bangunan dan masak sendiri. Dua wanita tidur di situ bersama suami, yang juga buruh bangunan. Satu wanita tanpa suami tanpa anak. Dua wanita lainnya bersama anak mereka di situ. Satu dengan seorang anak. Satu lagi dengan dua anak, yang bungsu masih menyusui. Anak mereka yang lainnya dirawat oleh suami di kampung, dan mereka mudik seminggu sekali sambil membawa rezeki yang diberikan kota yang kikir. Akhirnya, pikir punya pikir, Eraini merasa perlu mengubah judul yang direncanakan semula. Tidak klop kalau dinamakan "Emansipasi wanita dalam menyongsong ekonomi lepas landas". Mungkin dinamakan "Terpaksa ke kota bukan tarikan neon kemilau". Cukup menarik judul itu dan sejalan dengan pikiran Rudy Sinaga dari Survei Agro Ekonomi. Atau barangkali lebih tepat berjudul: "Strategi kelangsungan hidup" alias survival strategy.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus