SEPERTI ditaburkan dari kayangan, mendadak sontak mereka
bertebaran di jalan yang bopeng dengan tugas mulia memuluskan
dan meluaskan jalan. Dengan begitu sekaligus mereka memberikan
andilnya pada pembangunan semesta, karena bukankah kemulusan
jalan sebuah indikator utama?
Srikandi-srikandi itu sigap dan tidak canggung, bekerja
berdampingan dengan pria. Pengamat yang belum mafhum perihal
kemajuan zaman terpaksa menggelengkan kepala melihat wanita
turun ke jalan, bukan berdemonstrasi dan hingar bingar, tapi
demi perbaikan jalan itu sendiri. Cekatan mereka mengangkat batu
atau pasir, menyodokkan sekop bilamana perlu. Tak ayal lagi, di
segala bidang wanita menampilkan kebolehannya. Pekerjaan umum
tidak monopoli laki-laki.
Sebagai diturunkan dari langit, para srikandi bertebaran di
proyek bangunan, memberikan darma baktinya membangun bangunan
yang besar kukuh di kota. Pekerjaan mereka tidak cuma meratakan
tanah, mengangkat batu dan sejenisnya tapi juga mengaduk semen
dan mencampur bahan labur secara mengagumkan. Lambat laun bakal
ada yang jadi mandor, kalau perkembangannya terus begini.
Tergerak oleh fenomena itu, tergelitik oleh teori pemekaran
status wanita, Eraini memilih topik yang menarik itu untuk
skripsinya: pekerja wanita pada proyek bangunan. Bukankah
partisipasi wanita di luar sektor pertanian, sebuah lambang
kemajuan yang tidak bisa diabaikan?
Lambang pendobrakan yang penting terhadap keterikatan pada tanah
yang makin menciut. Dari segi pendapatan per kapita, Indonesia
sudah lolos dari kemiskinan dan, alhamdulillah, melejit ke
golongan berpendapatan sedang. Mana tahu, pekerjaan
wanita-wanita itu melambangkan pertanda zaman. Pertanda kekangan
pada kaum mereka mulai mengendur, pertanda kita mendekati
keadaan "gemah ripah loh jinawi". Cocok kalau skripsinya
berjudul "Emansipasi wanita dalam menyongsong ekonomi lepas
landas."
Ditelusuri Eraini suka duka 65 wanita, berusia 15 sampai 50
tahun. Status perkawinan mereka kiranya tipikal untuk pedesaan
Daerah Istimewa Yogyakarta: 68% berstatus kawin 19% belum kawin,
selebihnya janda mati dan janda cerai. Satu wanita berpisah
dengan suami. Tak bisa diterangkan mengapa perpisahan seperti
itu dinamakan "pisah kerbau" (pisah kebo), lantaran kerbau toh
tidak mempraktekkan perpisahan seperti itu.
Mayoritas dari srikandi itu (52%) belum pernah menduduki bangku
sekolah. Sebanyak 42% tak tamat SD dan 12% tamat SD. Lalu
seorang tak tamat SMP dan seorang lagi tamat SMP. Dalam bahasa
menterengnya: umur berkorelasi dengan pendidikan. Semakin tinggi
umur responden, semakin rendah pendidikan mereka.
Begitu jelas kelihatan keuletan dan ketabahan mereka bekerja
keras. Tidak kalah dengan orang Jepang begitu kerap dijadikan
bahan pujian untuk orang Asia. Desa mereka 23 km di selatan kota
dan karena itu subuh pukul 5.30 sudah siap untuk berangkat ke
kota, sebagai migran sirkuler kata sarjana kependudukan.
Mayoritas naik kol (Colt) dan bis. Sebagian naik sepeda atau
membonceng. Jam kerja mereka dari pukul 08.00 sampai pukul
15.00, lalu kembali lagi srikandi-srikandi itu ke desa.
Hari-hari yang panjang.
Mayoritas srikandi itu dapat imbalan standar Rp 600 per hari.
Bisa dinaikkan Rp 50 (menjadi Rp 650) kalau dia menunjukkan
kecepatan kerja dan ketrampilan di atas rata-rata. Umpamanya
sudah bisa mencampur labur dengan tepat, sesuai dengan takaran
yang dipatokkan. Tetapi perlu dicatat bahwa rekomendasi mandor
amat diperlukan untuk kenaikan gaji itu.
Eraini menghitung-hitung pendapatan bersih seorang pekerja,
seperti ini. Sehari dapat Rp 600. Potong ongkos transpor Rp 150
tinggal Rp 450. Untuk mandor Rp 2,5, sisa Rp 425. Dikeluarkannya
Rp 50 secara bijaksana untuk makan siang -- sebungkus kecil nasi
berlauk daun singkong atau tempe. Sisa Rp 375. Kalau perut
sedang lapar, dia digoda makanan kecil bernama "cemplon" atau
"bakwan", seharga Rp 10. Tinggal Rp 365. Untung air minum
cuma-cuma. Namun kalau sekali-sekali dia merasa capek luar
biasa, tergodalah dia minum jamu pegel linu, yang berakibat
amblas Rp 75. Dibawa pulang Rp 290.
Lantaran pendapatan begitu minim sedang pengeluaran cenderung
membengkak, lebih separuh dari mereka mengerjakan pekerjaan
sambilan, sesudah makan malam. Ada yang menganyam tikar, selesai
sehelai dalam 6 hari. Keuntungan bersih Rp 450, jadi dapat Rp 75
sehari. Ada yang menganyam tepas, selesai selembar dalam 3 hari,
untung Rp 250. Dapat Rp 83 sehari. Dua orang membuat nasi
bungkus dengan lauk daun singkong atau tahu tempe dan juga
makanan kecil dari ketela. Mereka jual untuk kawan-kawan sesama
buruh bangunan di kota. "Untungnya berupa uang ya tidak ada,"
tukas mereka dengan lugu, "cuma numpang makan (nunut neda)."
DAN, astagfirullah lima pekerja tidak pulang demi penghematan
ongkos transpor. Juga menghemat energi, karena pulang pergi
cukup melelahkan. Mereka tidur dalam gubuk seadanya dekat
bangunan dan masak sendiri. Dua wanita tidur di situ bersama
suami, yang juga buruh bangunan. Satu wanita tanpa suami tanpa
anak. Dua wanita lainnya bersama anak mereka di situ. Satu
dengan seorang anak. Satu lagi dengan dua anak, yang bungsu
masih menyusui. Anak mereka yang lainnya dirawat oleh suami di
kampung, dan mereka mudik seminggu sekali sambil membawa rezeki
yang diberikan kota yang kikir.
Akhirnya, pikir punya pikir, Eraini merasa perlu mengubah judul
yang direncanakan semula. Tidak klop kalau dinamakan "Emansipasi
wanita dalam menyongsong ekonomi lepas landas". Mungkin
dinamakan "Terpaksa ke kota bukan tarikan neon kemilau". Cukup
menarik judul itu dan sejalan dengan pikiran Rudy Sinaga dari
Survei Agro Ekonomi. Atau barangkali lebih tepat berjudul:
"Strategi kelangsungan hidup" alias survival strategy.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini