Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Layar putih berlumur darah

Sutradara: sisworo gautama produksi: pt rapi film pemain: w.d. mochtar, dicky zulkarnaen, barry prima resensi oleh: bambang bujono. (fl)

17 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKA SEMBUNG Sutradara: Sisworo Gautama, Pemain: W.D. Mochhr, Dicky Zulkarnaen, Barry Prima, Eva Arnaz, Dana Christina, Produksi: PT Rapi Film. FILM Indonesia semakin pintar. Ia bisa membuat orang terbang ke langit. Ia membikin badai di tengah laut, seperti dalam film Ratu Pantai Selantan. Dan kini, dengan bermunculannya film action, perkelahian dalam film pun semakin seru. Darah muncrat, tangan putus, kepala pecah -- semuanya seperti benar-benar terjadi. Jaka Sembung adalah jenis film action itu. Diangkat dari komik karya Jair, agaknya sutradara memang ingin menggambarkan kecakapan trik alias tipuan dalam adegan kekerasan yang dalam gambar memang bisa leluasa dilukiskan. Misalnya, bagaimana tokoh Ki Item -- kebetulan mewakili golongan hitam -- yang memiliki aji Rawa Rontek selalu hidup kembali walau tubuhnya dilumatkan. Tak ada salahnya tentu saja, membuat film dengan mempertaruhkan tipuan teknik sebagai daya tarik utama. Soalnya ialah seberapa padu unsur-unsur film yang lain -- akting pemeran tangan sutradara, cerita dan skenario, antara lain --mendukung taruhan utama ini. Kisah Jaka Sembung itu sendiri cukup menarik. Seorang pemuda jagoan yang diharapkan rakyat membela mereka dari penindasan penjajah Belanda dan antek-anteknya. Dialah semangat dan otak perlawanan itu. Karenanya Belanda dengan segala daya berusaha membunuhnya. Hadiah uang dalam jumlah besar mengundang golongan hitam mencoba menaklukkan si Jaka. Tentu, semuanya keok berhadapan dengannya. Satu lawan tangguh, Ki Item, toh akhirnya pun melayang jiwanya, setelah Jaka mendapat bantuan dari gurunya. Gurunya itu juga yang mengembalikan daya penglihatan si Jaka -- setelah ia disiksa Belanda, ditusuk kedua matanya hingga buta -- dengan satu transplantasi mata milik kekasih Jaka yang barusan mati ditembak Belanda. Memang bukan transplantasi dengan alat-alat kedokteran kini, tapi dengan daya tenaga dalam, dengan kekuatan supranatural. Dari satu cerita yang mempunyai banyak kemungkinan cara penyuguhan dan mempunyai banyak fokus untuk dipilih, rupanya celah diniatkan oleh skenario dan sutradara memfokuskan Jaka Sembung pada perkelahian fisik. Tidak penting benar yang disebut perkembangan watak peran utama, perkembangan cerita yang meyakinkan, konflik antara rakyat dan penjajah, diperhitungkan. Yang penting ada alasan untuk suatu adegan perkelahian yang seru. Maka film ini terasa kering meskipun basah oleh darah. Bahkan kekerasan yang dijadikan daya tarik utama itu, sebagai adegan film sebenarnya kurang memikat. Jurus-jurus silat Jaka yang sakti itu tak berbentuk, tidak enak ditonton, miskin variasi gerakan. Satu-satunya daya tarik ialah perkelahian Jaka dengan Ki Item yang selalu tubuhnya utuh kembali, bila terbacok putus. TAPI dengan begitu layar putih menjadi merah. Darah memuncrat ke mana-mana, daging tersobek menjadl tontonan utama. Dan tak hanya dalam perkelahian. Ketika Jaka disiksa Belanda, dengan jelas ditunjukkan bagaimana besi panjang itu berturut-turut mencoblos mata kiri kemudian kanan, dan bagaimana darah memancar deras. Lalu, ketika transplantasi mata, ditunjukkan pula bagaimana si guru dengan pisau dari bilah bambu mengambil itu biji mata. Hebat, memang, tipuan teknik yang disuguhkan. Tapi untuk apa? Ada hal-hal yang sesungguhnya tak perlu digambarkan terus-terang di layar putih. Penonton, bagaimanapun memiliki imajinasi sendiri yang seharusnya dihargai. Kita agaknya telah lupa, bahwa kesatria Gatutkaca yang hanya berwujud selembar belulang sapi itu, tokoh yang suka memuntir kepala raksasa, lawannya. Dan pada layar ki dalang, si raksasa tetap utuh. Toh, penonton bertepuk, dan kagum akan kesaktian Gatutkaca yang ganas itu. Dalam imajinasi mereka, darah menggenang, raksasa mengerang sekarat, kehilangan kepala. Betapa indahnya. Dan yang lebih mencemaskan, apabila nanti terbukti bahwa pertunjukan yang mempertontonkan kekerasan demi kekerasan secara realistis, ternyata mempunyai pengaruh besar terhadap terjadinya kejahatan yang sadistis. Sebuah penelitian baru-baru ini di Amerika Serikat oleh National Institute of Mental Health menyimpulkan: para remaja dan anak-anak penonton film kekerasan di televisi, mendapat dorongan yang kuat untuk mempraktekkan yang dilihatnya. Kita getol memberantas adegan ranjang, tapi kita membiarkan darah, penyiksaan, pembunuhan dan perkelahian keras yang cenderung berlebihan. Mau apa? Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus