JAKA SEMBUNG
Sutradara: Sisworo Gautama,
Pemain: W.D. Mochhr, Dicky Zulkarnaen, Barry Prima, Eva Arnaz,
Dana Christina,
Produksi: PT Rapi Film.
FILM Indonesia semakin pintar. Ia bisa membuat orang terbang ke
langit. Ia membikin badai di tengah laut, seperti dalam film
Ratu Pantai Selantan. Dan kini, dengan bermunculannya film
action, perkelahian dalam film pun semakin seru. Darah muncrat,
tangan putus, kepala pecah -- semuanya seperti benar-benar
terjadi.
Jaka Sembung adalah jenis film action itu. Diangkat dari komik
karya Jair, agaknya sutradara memang ingin menggambarkan
kecakapan trik alias tipuan dalam adegan kekerasan yang dalam
gambar memang bisa leluasa dilukiskan. Misalnya, bagaimana tokoh
Ki Item -- kebetulan mewakili golongan hitam -- yang memiliki
aji Rawa Rontek selalu hidup kembali walau tubuhnya dilumatkan.
Tak ada salahnya tentu saja, membuat film dengan mempertaruhkan
tipuan teknik sebagai daya tarik utama. Soalnya ialah seberapa
padu unsur-unsur film yang lain -- akting pemeran tangan
sutradara, cerita dan skenario, antara lain --mendukung taruhan
utama ini.
Kisah Jaka Sembung itu sendiri cukup menarik. Seorang pemuda
jagoan yang diharapkan rakyat membela mereka dari penindasan
penjajah Belanda dan antek-anteknya. Dialah semangat dan otak
perlawanan itu.
Karenanya Belanda dengan segala daya berusaha membunuhnya.
Hadiah uang dalam jumlah besar mengundang golongan hitam mencoba
menaklukkan si Jaka.
Tentu, semuanya keok berhadapan dengannya. Satu lawan tangguh,
Ki Item, toh akhirnya pun melayang jiwanya, setelah Jaka
mendapat bantuan dari gurunya.
Gurunya itu juga yang mengembalikan daya penglihatan si Jaka --
setelah ia disiksa Belanda, ditusuk kedua matanya hingga buta --
dengan satu transplantasi mata milik kekasih Jaka yang barusan
mati ditembak Belanda. Memang bukan transplantasi dengan
alat-alat kedokteran kini, tapi dengan daya tenaga dalam, dengan
kekuatan supranatural.
Dari satu cerita yang mempunyai banyak kemungkinan cara
penyuguhan dan mempunyai banyak fokus untuk dipilih, rupanya
celah diniatkan oleh skenario dan sutradara memfokuskan Jaka
Sembung pada perkelahian fisik. Tidak penting benar yang disebut
perkembangan watak peran utama, perkembangan cerita yang
meyakinkan, konflik antara rakyat dan penjajah, diperhitungkan.
Yang penting ada alasan untuk suatu adegan perkelahian yang
seru.
Maka film ini terasa kering meskipun basah oleh darah. Bahkan
kekerasan yang dijadikan daya tarik utama itu, sebagai adegan
film sebenarnya kurang memikat. Jurus-jurus silat Jaka yang
sakti itu tak berbentuk, tidak enak ditonton, miskin variasi
gerakan. Satu-satunya daya tarik ialah perkelahian Jaka dengan
Ki Item yang selalu tubuhnya utuh kembali, bila terbacok putus.
TAPI dengan begitu layar putih menjadi merah. Darah memuncrat ke
mana-mana, daging tersobek menjadl tontonan utama. Dan tak hanya
dalam perkelahian. Ketika Jaka disiksa Belanda, dengan jelas
ditunjukkan bagaimana besi panjang itu berturut-turut mencoblos
mata kiri kemudian kanan, dan bagaimana darah memancar deras.
Lalu, ketika transplantasi mata, ditunjukkan pula bagaimana si
guru dengan pisau dari bilah bambu mengambil itu biji mata.
Hebat, memang, tipuan teknik yang disuguhkan. Tapi untuk apa?
Ada hal-hal yang sesungguhnya tak perlu digambarkan terus-terang
di layar putih. Penonton, bagaimanapun memiliki imajinasi
sendiri yang seharusnya dihargai. Kita agaknya telah lupa, bahwa
kesatria Gatutkaca yang hanya berwujud selembar belulang sapi
itu, tokoh yang suka memuntir kepala raksasa, lawannya. Dan pada
layar ki dalang, si raksasa tetap utuh. Toh, penonton bertepuk,
dan kagum akan kesaktian Gatutkaca yang ganas itu. Dalam
imajinasi mereka, darah menggenang, raksasa mengerang sekarat,
kehilangan kepala. Betapa indahnya.
Dan yang lebih mencemaskan, apabila nanti terbukti bahwa
pertunjukan yang mempertontonkan kekerasan demi kekerasan secara
realistis, ternyata mempunyai pengaruh besar terhadap terjadinya
kejahatan yang sadistis. Sebuah penelitian baru-baru ini di
Amerika Serikat oleh National Institute of Mental Health
menyimpulkan: para remaja dan anak-anak penonton film kekerasan
di televisi, mendapat dorongan yang kuat untuk mempraktekkan
yang dilihatnya.
Kita getol memberantas adegan ranjang, tapi kita membiarkan
darah, penyiksaan, pembunuhan dan perkelahian keras yang
cenderung berlebihan. Mau apa?
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini