Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bandung - Sudah dua kali Panusunan Simanjuntak, 83 tahun, memenangkan Hadiah Sastra Rancage dalam kurun waktu tujuh tahun. Semua penghargaan itu diraihnya dari karya pada buku pertama dan kedua yang berbahasa ibu. “Sekarang lagi masih bertanya-tanya mau menulis apa lagi,” katanya kepada Tempo, Selasa 11 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pilihan Editor: Guru SMP di Trenggalek Ini Raih Hadiah Sastra Rancage 2025
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mantan jurnalis yang pernah berkarier di sejumlah media massa sejak 1972 itu pada buku pertamanya yang berbahasa Batak, menuangkan 75 puisi dengan judul Bangso nu Jugul Do Hami atau Kami Bangsa yang Gigih setebal 150 halaman. Jumlah puisinya itu menyesuaikan usia Panusunan. Juri memenangkannya sebagai penerima Hadiah Sastra Rancage pada 2018.
Pembuatan karya puisinya diawali dengan judul 'Bona Ni Pinasa' atau Pohon Nangka yang merujuk kepada kampung kelahiran. Puisi itu berbicara tentang kerinduan Panusunan pada pohon nangka yang biasa dipanjat semasa kecil. “Di cabang pohonnya saya duduk memandang ke bawah, melihat ke gunung dan menatap ke langit,” ujarnya. Puisi yang diunggah di akun media sosialnya itu mendapat tanggapan positif hingga dia bersemangat untuk membuat sajak lainnya.
Kerinduan akan kampung halamannya muncul setelah Panusunan pensiun sebagai jurnalis di British Broadcasting Corporation (BBC) Inggris pada 2002 sejak bergabung 1989. Kemudian setelah berpuisi, ia menjajal menulis cerita pendek dengan bahasa ibu, Batak Toba. Sekumpulan cerita pendeknya sejak 2014-2024 itu kemudian dibukukan dengan judul Parhutahuta Do Hami (Kami Orang Kampung). Buku setebal 278 halaman yang berisi 122 cerita pendek dan puisi itu sukses menjadi pemenang Hadiah Sastra Rancage yang diumumkan panitia di Bandung pada akhir Januari 2025.
Pada buku itu Panusunan bercerita tentang banyak hal, seperti burung pipit yang kelaparan karena tanaman padi berkurang, perempuan penenun kain ulos di Simalungun, juga pengalaman ketika pulang kampung bersama cucu. “Semuanya mengalir begitu saja dengan bahasa Batak Toba yang masih menempel di kepala,” katanya.
Sementara ini terlintas di benaknya untuk berkarya sastra Batak lagi. Kemungkinannya Panusunan akan menuliskan ulang bukunya yang berjudul Beragam Cerita dari Perjalanan Kewartawanan ke Mancanegara setebal 254 halaman terbitan 2014 dengan bahasa Batak. Adapun buku lain berjudul Membangun Rasa Percaya Diri yang bercerita sepuluh tahun pertama keberadaan Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) di Bandung terbitan 1988 setebal 205 halaman telah diterjemahkan ke bahasa Inggris.
Panusunan Simanjuntak kelahiran 23 Mei 1942 di Huta Huraba, Sarulla Pahae Jae, Tapanuli Utara, sempat menjadi guru Sekolah Dasar di Tanjungkarang, Lampung, pada 1963 setelah lulus Sekolah Guru Atas Negeri Medan 1962. Dia melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi Publisistik (PTP) Jakarta hingga lulus pada 1970. Kariernya sebagai jurnalis, antara lain di Kantor Berita Nasional Indonesia Jakarta (1972-1974), reporter Radio Arief Rachman Hakim ARH Jakarta, wartawan Indonesia Times, editor koran Ekonomi Neraca, jurnalis dan penyiar radio BBC Siaran Bahasa Indonesia di London.
