Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kisah Perempuan Bergaun Biru

Sebuah film tentang Margaret Thatcher yang kontroversial. Meryl Streep tampil gemilang.

6 Februari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

THE IRON LADY
Sutradara: Phyllida Lloyd
Skenario: Abi Morgan
Pemain: Meryl Streep, Jim Broadbent

Mungkin tak ada yang bisa menandingi Meryl Streep dalam urusan menjadi bunglon. Di mana saja kita melihat namanya, di situ pula kita tak akan menemukan tubuh sang aktris. Alasannya satu: Streep lahir berkali-kali sebagai sosok baru. Dalam film terbaru Phyllida Lloyd (Mamma Mia, 2008), Meryl Streep menyentak kita bukan karena kita mengenal wanita besi terkemuka itu, melainkan karena dia kini tampil sebagai seorang perempuan tua (dengan tata rias luar biasa) yang digerogoti demensia yang menyedihkan.

Phyllida Lloyd membuka film ini dengan sebuah adegan yang mengejutkan. Mantan perdana menteri itu tampak rapuh dan tua-renta tertatih membeli sebotol susu di warung terdekat. Tak seorang pun mengenalnya, meski dia pernah menguasai negeri itu belasan tahun lamanya. Margaret kembali berjalan terbungkuk-bungkuk dan menyediakan teh dan telur untuk sarapan. Sembari mengaduk-aduk teh, dia berbincang dengan suaminya, Denis, mempersoalkan harga susu yang melonjak. Hanya beberapa saat, kita segera paham: Denis sudah lama meninggal. Margaret Thatcher sudah menyentuh masa senja, sebuah periode pedih di mana dia berhalusinasi. Inikah yang kita ingat tentang wanita perkasa itu?

Lloyd melempar kita kembali kepada masa remaja Margaret Roberts, seorang putri pemilik dua buah warung; seorang remaja perempuan kelas menengah bawah yang sadar akan kelas dan berambisi menempuh pendidikan di Universitas Oxford yang prestisius itu. Dia berhasil. Dan bukan hanya itu. Dia juga memperlihatkan kecerdasannya menembus dunia politik, dunia yang didominasi lelaki. Tak langsung berhasil. Tapi seorang pengusaha muda bernama Denis Thatcher terpincut habis-habisan oleh ketegasan dan kemandirian Margaret. Itulah sebabnya ketika Margaret mengatakan, "Aku tak mau menghabiskan hidupku dengan mencuci piring dan menantimu pulang kantor. Ada yang lebih berharga daripada itu", Denis menjawabnya, "Justru karena itu aku ingin menikahimu."

Skenario Abi Morgan sengaja mengajak kita mondar-mandir antara masa lalu Thatcher muda (diperankan oleh Alexandra Roach) dan Denis Thatcher muda (Harry Lloyd) dengan masa kini di mana Meryl Streep berubah total menjadi sang Wanita Besi yang berhasil menjadi perdana menteri perempuan pertama dan bertakhta paling panjang dalam sejarah Inggris. Dari sisi visual, Phyllida Lloyd sengaja memberikan kontras bagaimana sang Perempuan dalam Gaun Biru yang berdiri tegap di antara tumpukan jas abu-abu; bagaimana suara lantangnya menghajar ejekan riuh para koleganya di parlemen karena dia "hanya" seorang perempuan dan seorang putri pemilik warung.

Margaret memang digambarkan sebagai seorang underdog, seorang anggota kaum "pinggiran" yang berhasil duduk di Universitas Oxford dan menduduki takhta tertinggi di Inggris. Tapi sang sutradara dan penulis skenario tampaknya terobsesi dengan penggambaran demensia yang merontokkan citra Margaret selama ini. Setiap kali kita kembali ke masa kini, kita dijejali wajah perempuan tua renta yang letih dan bingung; yang merasa ingin suaminya segera pergi saja dari bayangannya, tapi sekaligus tak ingin dia meninggalkannya. Sesekali mereka berdansa, mengenang masa muda mereka yang belum dihajar oleh kemarahan rakyat dan musuh politik dari partai oposisi. Mereka berpelukan di tempat tidur seperti pasangan tua abadi yang tak terpisahkan sembari melupakan hari demi hari yang mendera kehidupan mereka. Itu semua digambarkan berkali-kali sebagai Margaret yang tak lagi mampu membedakan antara alam nyata dan halusinasi. Bagian inilah yang kemudian menjadi kontroversi. Mereka yang pernah bekerja sama dengan Margaret Thatcher merasa penggambaran keruntuhan kesehatan Margaret sangat insensitif, karena sang tokoh masih hidup. Tak kurang dari Perdana Menteri David Cameron mengkritik penggambaran demensia ini. Sedangkan para pembencinya, generasi tahun 1980-an Inggris, terutama kelas buruh yang memusuhinya, sebaliknya menganggap bagian itu adalah sebuah manipulasi yang membuat Margaret Thatcher seperti seorang perempuan tua yang patut dilihat sebagai manusia biasa, yang memiliki perasaan. Bagi para musuhnya, kaum buruh, Margaret adalah manusia tanpa hati.

Tapi Margaret adalah pemimpin yang yakin akan keputusannya. Dia keras hati dan keras kepala. Bukan hanya soal jatah susu anak sekolah yang dia hapus, yang membuat dia dibenci sebagai seorang menteri pendidikan. Di masa kepemimpinannya sebagai perdana menteri, dia berambisi mengembalikan kejayaan Inggris. Keputusannya melakukan privatisasi; sikapnya yang menekan kaum buruh dan sikapnya yang tegas soal pajak membuat dia semakin tidak populer. Tapi Margaret berhasil menjungkirbalikkan ekonomi Inggris. Dalam film, puncak keberhasilan Margaret ditampilkan ketika dia berkeras menyerbu dan merebut Falkland kembali.

Merancang sebuah biopik memang bukan perkara mudah. Sosok kontroversial seperti Margaret Thatcher mempunyai pemuja dan pembenci. Para sineas tentu harus jujur pada diri sendiri, bagian mana yang paling menarik untuk ditampilkan. Phyllida Lloyd dan Abi Morgan memilih memanusiakan Margaret Thatcher. Ini pilihan yang penuh risiko. Dan pilihan Lloyd serta Morgan belum tentu menarik bagi penonton, karena kita terus-menerus bertanya apa yang terjadi dengan anak-anak Margaret dan bagaimana pula hubungan Margaret dengan keluarga kerajaan.

Terlepas dari kontroversi itu, Meryl Streep tampil mengagumkan sebagai perempuan yang tangguh, yang nyaris tanpa hati memaki koleganya sendiri, Geoffrey Howe, di depan rapat kabinet. Dia kemudian menjelma seperti seorang nenek di rumah tangga biasa yang berkeras mencuci cangkir di bak cuci dapurnya. Pada usianya yang ke-63, tampaknya belum ada yang bisa mematahkan kemampuan Meryl Streep.

Leila S. Chudori


Batang Hidung pun Dipoles-poles

Beberapa kali kamera menyorot wajah "Margaret Thatcher" yang dipenuhi keriput dan gelambir di dagu dalam jarak dekat. Jejak Meryl Streep sama sekali tak tampak. Juga saat Margaret yang sepuh berjalan terbungkuk-bungkuk.

Untuk urusan ini, acungan jempol pantas diberikan kepada Mark Coulier dan J. Roy Helland, penata make-up. Dengan kemampuannya sebagai desainer make-up prostetik, Coulier mengubah wajah Streep. Dibantu asistennya, Barrie Gower, perlu waktu empat hari baginya untuk menciptakan bentuk hidung yang persis dengan hidung Margaret. Beberapa kali dia harus "merevisi" batang hidung tiruan itu. Untuk menciptakan wajah Margaret Thatcher versi tua, Coulier menggunakan semacam topeng tipis yang bentuknya disesuaikan dengan wajah Margaret di usianya sekarang, 86 tahun.

Selain topeng itu harus nyaman dikenakan, keakuratan bentuk memang menjadi perhatian utama Streep. "Berulang kali Meryl mengingatkan kami agar tidak menggunakan make-up prostetik yang terlalu berat dan sedikit make-up," katanya.

Tampilan Streep kian sempurna dengan sentuhan make-up penata rias J. Roy Helland. Helland, yang sudah lama menjadi penata rias pribadi Streep, merias wajah sang aktris sejak pukul enam pagi. Prosesnya memakan waktu sekitar dua setengah jam. Hasilnya, tampilan Streep yang dipoles sebagai Margaret Thatcher dengan sedikit make-up dan sebaris gigi depan palsu itu memang kelihatan sangat meyakinkan.

Padahal Phyllida Lloyd sempat cemas. "Saya awalnya takut efek make-up prostetik itu membuat wajah Meryl nantinya malah menyerupai makhluk dalam film Harry Potter. Ternyata hasilnya menakjubkan," ujarnya. Keajaiban make-up prostetik dan tentu saja akting Streep yang mumpuni membuat Lloyd cukup mencari aktris pemeran Margaret muda (diperankan Alexandra Roach). Padahal sebelumnya, untuk menggambarkan sepak terjang Margaret sepanjang 40 tahun hidupnya, Lloyd berencana menggunakan tiga pemain.

"Kami bekerja sangat keras, tapi tak ada seorang pun yang bekerja lebih keras ketimbang Meryl," kata Helland. Streep memang tak sekadar berganti wujud. Dia juga memberikan roh pada karakter Margaret. Suara, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh Streep benar-benar mirip Margaret. Ketika juru rias sibuk "memermak" wajahnya, Streep asyik mendengarkan rekaman pidato dan wawancara Margaret.

Proses peniruan itu tidak berlangsung secara instan. Selama satu tahun, aktris peraih Oscar lewat perannya di film Kramer vs Kramer (1979) dan Sophie’s Choice (1982) itu sibuk melakukan riset tentang segala hal yang berhubungan dengan Margaret—dari kebiasaan dia sehari-hari, cara berbusana, cara berjalan, sampai cara dia berbicara. Streep juga mengamati arsip berisi foto-foto dan potongan-potongan berita (footage) si Wanita Besi.

Dari semua itu, kata Streep, hal tersulit adalah meniru cara Margaret Thatcher berpidato. "Beliau mampu berpidato panjang tanpa berhenti sejenak untuk bernapas. Bahkan, dengan berbagai pengalaman saya berlatih drama, saya tetap kesulitan," ujarnya seperti dikutip Daily Mail. Namun, berkat latihan keras, kesulitan itu pun dapat diatasinya. Tidak aneh bila banyak kritikus film dunia memprediksi Streep bakal berkibar di penghargaan Oscar 2012.

Nunuy Nurhayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus