ENTAH kegilaan apa yang mendorong Silvia Plath ingin menjajal
alat jahanam itu. "Diiringi bunyi 'wi-wi-wi-wi' yang
berkepanjangan dan kelap-kelip cahaya biru yang tidak
putus-putusnya, aku dirajam di sana," ujarnya membeberkan
pengalaman. "Setiap sentakan yang dihasilkan menghantamku bagai
hendak meremukkan tiap keping tulang tubuhku. Bagai hendak
menyadap tiap tetes darahku. Aku terheran-heran sendiri: barang
keparat apa yang sedang kucoba ini."
Alat itu bernama Electro-Convulsive Therapy (ECT), lebih populer
dengan sebutan shock therapy atau shock treatment. Apa pun
namanya, cara penyembuhan melalui kejutan atau kejangan arus
listrik itu memerindingkan banyak orang. Tapi justru itulah
sebabnya, mungkin, Plath yang penyair itu mencoba menjajalnya.
Dan kesan yang diberikannya akan mendorong anda berkata:
amit-amit!
Kalau mau tahu secara mendalam, ada dua buku yang dapat dibaca.
Pertama karangan Ken Kesey yang berjudul One Flew Over the
Cuckoo's Nest -- yang filmnya mungkin sempat anda tonton. Yang
kedua karangan Plath sendiri, Bell Jar. "Kedua pengarang
menggambarkan terapi kejutan secara membangkitkan bulu kuduk,"
tulis John Langone dalam majalah Discover Januari kemarin.
Menurut Langone, belakangan Plath sendiri bunuh diri -- tanpa
memperinci sebab musababnya. Mungkinkah karena terapi kejutan
itu.
Sasaran ECT atau sang kejutan adalah otak. Arus listrik
disalurkan ke bagian tertentu tubuh lewat alat peka yang
berpusat di sebuah kursi listrik. Dan "dengan semua itu
berlangsunglah dehumanisasi di dalam penyembuhan penderita
saraf," tulis Langone.
Langone tidak sendirian. Sudah di tahun kemarin ketakutan
mewabah di California Bulan November, orang-orang di Berkeley
mengadakan satu referendum yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Hasilnya: tuntutan hukuman sampai dengan enam tahun penjara atau
denda US$ 500 bagi pelanggar. Ini diungkapkan Langone yang
menulis berdasar laporan reporter Glenn Garelik.
Para pendukung referendum berharap, suara antiterapi kejutan
akan merambat ke negara-negara bagian AS lainnya dan melahirkan
dukungan secara nasional. Namun para pejabat rumah sakit Herrick
-- satu-satunya RS di Berkeley yang memiliki alat itu -- memberi
tanggapan dengan nada menyesalkan. "Itu berarti menolak
penyembuhan yang bagi sejumlah pasien merupakan satu-satunya
harapan untuk menanggulangi depresi yang melumpuhkan," kata
seorang di antara mereka.
Dr. Malcolm Duncan, di rumah sakit itu, juga menuding
kisah-kisah horor psikiatri sebagai biang keroknya. Berkata
direktur Bagian Pasien Psikiatri itu: "Saya khawatir tantangan
orang-orang itu kurang dipikir secara rasional."
Memang "Kecuali pengaruh tekanannya yang buruk, ECT adalah
terapi paling efektif untuk jenis-jenis depresi tertentu," tulis
Langone sendiri. Di samping itu kemampuan teknik manusia untuk
menangani ECT, menurut si penulis, semakin meningkat -- sehingga
jumlah dan intensitas pengaruh sampingan makin pula menurun.
Namun posisi Asosiasi Psikiatri AS masih goyah -- kendati mereka
berulang-ulang mencoba meyakinkan bahwa "ECT, yang berada di
bawah pengawasan ketat, adalah cara yang baik dan berhasil
seperti yang dibuktikan sejumlah kasus." Kasus-kasus itu umumnya
terdiri dari apa yang diklasifikasikan sebagai penyakit yang
sangat mengganggu. Yaitu: "Sekelompok penyakit yang ditandai
gangguan-gangguan perasaan yang datang terus-menerus. Misalnya:
depresi berat dan kegiatan mental yang kelewat keranjingan."
TANPA terapi kejutan, konon lebih banyak orang yang menderita
depresi akan melakukan bunuh diri. "Karena (tanpa itu) akan
diperlukan berminggu-minggu percobaan dengan berbagai jenis obat
-- untuk menemukan obat antidepresi yang paling sesuai bagi
seorang pasien bertentu," tulis Langone pula. "Dan membutuhkan
selusin minggu lagi untuk menanti hasilnya." Pasien lain,
katanya, mungkin malah akan menjadi lebih tertekan, sehingga
gagal menerima pengobatan dan penyembuhan.
Umumnya para dokter memilih ECT karena efek sampingnya yang
lebih kecil ketimbang yang diterima sebagai akibat yang
menyertai pengobatan biasa: halusinasi, kegirangan yang
berlebihan, gangguan pada jantung dan sirkulasi darah, kejang
urat, dan daya tahan rendah terhadap penyakit. Dan akhirnya yang
paling penting: para pasien dengan segera dapat kembali bekerja,
tidak usah pusing-pusing karena pengaruh obat, dan menikmati
kehidupan yang normal. Bukankah ECT tu hanya berlangsung
sebentar?
Asosiasi psikiatri AS (APA) pada 1978 sempat menyelenggarakan
sebuah survei. Hasilnya: dari 92% psikiatris yang menggunakan
ECT, dilaporkan tidak seorang pun yang pasiennya terus-menerus
tidak mampu melakukan pekerjaan setelah usai menerima ikhtiar
penyembuhan.
Penggunaan arus listrik sendiri, untuk menanggulangi penyakit
saraf bukan hal baru. Konon sudah sejak zaman raja-diraja
Romawi. Ketika itu digunakan sejenis alat yang sebenarnya
mengandung arus listrik -- ditempelkan ke pelipis. Di Eropa,
pada abad XVIII, iistrik dari pembangkit tenaga engkol
disampirkan ke berbagai bagian tubuh untuk mengobati "penyakit
saraf organis." Di dalamnya termasuk penyakit bermurung-murung
(melankoli), kebutaan temporer, bahkan "kesurupan". Barangkali
juga "sakit heran-heran," seperti yang dijadikan bahan iklan
seorang sinshe di Jakarta lewat radio swasta.
Satu abad kemudian, kejutan listrik juga digunakan untuk
menanggulangi berbagai penyakit lain, termasuk penyakit gila.
Pada 1853 seorang dokter menulis: "Tidak satu pun penyakit saraf
berbahaya yang dapat terobati sampai dicobanya cara pengobatan
dengan listrik."
Sebagian terapi kejutan yang rasional timbul dari suatu
observasi. Yaitu bahwa "gejala-gejala schizophrenic tiba-tiba
lenyap setelah kejangan-kejangan yang datang mendadak, yang
mirip-mirip penyakit ayan," tulis Langone. Para dokter mulai
memberikan suntikan kepada pasien, seperti camphor dalam minyak
zaitun, atau insulin dengan dosis yang besar, yang dapat
menyebabkan munculnya "shock insulin" -- coma yang ditimbulkan
oleh rendahnya kadar gula dalam darah.
Pada 1938, ahli penyakit saraf Italia Ugo Cerletti berusaha
menemukan cara yang lebih dapat diandalkan. Ia mengadakan sebuah
eksperimen terhadap seorang gila yang hidup menggelandang. Si
gila bercelotehan di dalam "bahasa yang membikin bingung.
"Cerletti memberinya sengatan listrik 80 volt ke kepalanya
selama 0,2 detik -- dan itu membuat otot-ototnya kaku. Orang
malang itu tertelentang di tempat tidur tapi tanpa kehilangan
kcsadaran. Tiba-tiba, ia menyanyi sekeras-kerasnya, lantas diam.
Cerletti mengenang peristiwa itu dengan kata-kata: "Sungguh,
kami yang menangani eksperimen itu berada dalam tekanan perasaan
yang berat. Kami mengira akan menanggung risiko yang besar. Tapi
satu hal yang jelas, kami memasang voltase yang sangat rendah."
Lalu uji coba itu dihentikan? Ya. Tapi hanya sebentar -- untuk
memberi waktu istirahat bagi si pasien. Esoknya hal yang sama
diulangi. Dan, "segera setelah itu, si pasien mulai berbicara
dengan jelas. Bualnya lenyap. Dan dengan tenang ia berkata:
'Cukup! Jangan ulang lagi. Benar-benar maut!' " Dan permohonan
itulah yang justru melipatgandakan kegairahan Cerletti untuk
melanjutkan percobaan. Ia kembali menerapkan elektroda.
* * *
Kendati terapi kejutan kadang menimbulkan amukan pasien yang
sampai-sampai bisa bikin kaki patah, cara itu segera menjadi
penyembuhan standar, kata si penulis. Pada survei APA 1965, dari
rumah-rumah sakit umum dan swasta yang membuka unit
psikiatrinya, 90% dilaporkan menggunakan cara itu.
Tetapi seperti lobotomy -- yang di AS sudah ditinggalkan -- dan
terapi biasa (memakai obat-obatan), ECT kadang digunakan tanpa
pembeda-bedaan. Bertahun-tahun para dokter menerapkan cara itu
tanpa memberitahukan kepada pasien risiko-risiko yang mungkin
dialami. Juga tidak meminta izin khusus. Malah tetap dipakai
juga kendati pengaruhnya tidak ada.
KECAMAN-kecaman mengisyaratkan bahwa pemakaian ECT terhadap
pasien di atas 65 tahun tampak meningkat -- konon karena para
dokter takut akan akibat samping dengan penyembuhan melalui
pengobatan biasa. "Bahkan ECT telah disalahgunakan," menurut
Langone kemudian. Pada 1977, badan intelijen AS, CIA, mengakui
bahwa dalam anggaran subsidi 14 tahunnya untuk riset-riset medis
termasuk juga pos untuk terapi kejutan itu. "Dalam usaha
menemukan cara-cara penanganan kebiasaan manusia," itulah alasan
yang mereka kemukakan.
Ted Chabasinski, 44 tahun, menerima terapi kejutan pada usia
enam tahun, dan ialah yang memimpin gerakan referendum yang
diadakan di Berkeley itu. Katanya: "Shock tadinya dimaksudkan
untuk membikin babi pingsan sebelum digotong ke rumah jagal.
Sejak 40 tahun lalu masih juga dipergunakan untuk maksud yang
sama."
Toh hampir tidak ada dokter yang tergugah oleh film atau buku
One Flew Over the Cuckoo's Nest. Tak tergetar oleh praktek
brutal Big Nurse, yang demi kelanggengan jabatan membiarkan
terapi kejutan berlangsung dengan cara-cara yang dilukiskan
kejam. Juga peralatan dan cara-cara yang dilakukan tak
membangkitkan suatu kenangan.
Memang, ada penyempurnaan. Kini sebelum menerima ECT, seorang
pasien disuruh telan dulu obat penenang. Yang disebut
electrolyte jelly kemudian ditempelkan ke jidat, untuk
meningkatkan daya konduksi dan mencegah luka bakar semacam
bando dari plastik dikenakan di kepala untuk merekam elektroda
yang memonitor aktivitas gelombang-gelombang otak.
Unsur-unsur anesthetis kini masuk melalui urat nadi, dan diikuti
oleh muscle relaxant -- kekenduran urat-urat. Oksigen kini
menjalankan fungsinya secara langgeng, suatu tindakan pencegahan
penting. "Karena pernapasan yang terputus-putus sebelumnya
mungkin penyebab utama amnesia dan gangguan pada otak lainnya,"
tulis Langone mencoba menjelaskan.
Arus litrik 70 sampai 175 volt disengatkan selama O,1 - 1,5
detik. Arus itu sampai di otak melalui elektroda pada kedua sisi
kepala (ECT bilateral), atau hanya pada salah satu sisinya (ECT
unilateral). Sebagai akibat, pasien mengalami epilepsi
besar-besaran.
Hampir dalam waktu bersamaan, otot-otot muka menegang. Ini
menunjukkan bahwa ketegangan otot -- tahap dari ayan alias
sawan, umumnya diselubungi otot-otot yang mengendur -- telah
dimulai. Setelah sekitar sepuluh detik, tahap yang lebih aktif
berlangsung -- dan berlanjut selama 30 atau 45 detik.
Kontraksi yang tersentak-sentak dan berganti-ganti dengan
relaksasi itu sukar kelihatan -- kendati jari-jari kaki
mengecil. (Dalam cara-cara yang belum diperbaiki, yang dengan
ngotot dipakai sejumlah spesialis, tidak dilakukan usaha
pengenduran otot pasien. Dalam kasus begini digunakan sejumlah
pembantu untuk memegangi pasien, untuk mencegah patah tulang).
Sawan diikuti oleh koma yang singkat, dan kemudian tidur.
Begitu terbangun, pasien sadar akan waktu, tempat, tanggal, dan
mampu berbincang-bincang dengan jelas. Enam atau 12 kali
penanganan -- biasanya tiga kali seminggu -- merupakan standar
untuk menghandel depresi. "Hasilnya sering dramatis," komentar
yang punya tulisan. "Ditandai oleh kemajuan penyembuhan dalam
sejumlah hari, dalam beberapa minggu -- atau tidak sama sekali."
Namun para pengecam berkeras tentang efek samping yang berderet
panjang. Yang terburuk adalah amnesia dan pengurangan kemampuan
penyimpanan informasi baru. Mereka mengklaim, kendati sejumlah
ingatan bisa muncul kembali, yang lain lenyap sama sekali. Ada
suatu studi yang September tahun kemarin diumumkan dalam
American Journal of Psychiatry. Laporan itu menyatakan, 17 dari
31 orang yang pernah menerima ECT bilateral merasakan akibat
terapi kejutan itu bagi ingatan mereka, lebih jelek dibanding
rata-rata orang seusia.
Seorang pasien, yang pernah menerima satu seri dari enam kali
terapi kejutan, berkata: "Sulit membaca, karena kemampuanku
memusatkan pikiran melemah. Telah kubaca sejumlah besar buku,
tapi tanpa ingatan tentang semuanya."
Toh kebanyakan peneliti dan dokter yang pernah menggunakan ECT
membantah meningkatnya dan lama berlangsungnya efek jelek itu.
Mereka sepakat, pengaruh buruknya sebenarnya sedang-sedang saja,
dan hanya kadang-kadang. Dan bahwa "mengenakan peralatan monitor
pada satu sisi kepala saja, secara hati-hati, dapat mengurangi
risiko secara berarti."
Memang, para anggota survei APA 1978 menemukan bahwa: sementara
46% pasien penderita saraf menderita beberapa jenis kehilangan
ingatan setelah ECT, hanya satu dari seratus orang yang
kehilangan ingatan secara penuh dalam waktu lama. Alexander
Miller dari Pusat Ilmu Kesehatan Universitas Texas, AS, di San
Antonio, berkata: "Para pasien tampil lebih baik dalam tes
ingatan pada saat depresinya lenyap. Hasil baik yang didapat
dari ECT adalah pembuktian fungsi kesadarannya."
ECT unilateral, yang masih belum dapat dianggap sama efektifnya
dengan ECT bilateral, dalam penggunaannya disampirkan pada sisi
kanan otak. Ini karena dari studi-studi ditunjukkan bahwa
belahan kanan memainkan peranan dalam terjadinya depresi,
sementara yang kiri berperanan untuk perasaan senang dan
bahagia. Itulah sebabnya, dalam teori, kata penulis ini,
"tekanan aktivitas saraf yang diberikan pada bagian kanan dapat
mengurangi depresi."
***
Tapi apa yang terjadi ketika sang depresi pergi, secara tepatnya
tidak jelas Ada petunjuk kuat yang mengisyaratkan, bahwa sesudah
menerima kejutan ECT kegiatan normal meninggi dan bukan merosot.
Kesimpulan ini datangnya dari suatu penyelidikan tentang
catecholomine -- neurotransmitter yang membantu peredaran
perasaan (mood).
Berkurangnya salah satu neurotransmitter di dalam otak, yang
disebut norepinephrine, membuat seseorang jatuh ke dalam lubuk
depresi. "Tapi satu menit penanggulangan dengan ECT bisa
meningkatkan jumlah norepinephrine, ditaburkan dalam arus darah
-- dan berkuranglah depresi itu," tulis Langone.
ECT juga mampu mendorong aktivitas apa yang dinamakan tyrosine
hydroxylase, enzim yang ada kaitannya dengan norepinephrine.
Ilmuwan pada Fakultas Kedokteran Universitas Colorado memberikan
berkali-kali sengatan listrik pada tikus-tikus laboratorium. Dan
yang terjadi: mereka menemukan kunci kemampuan antidepressant.
Jelasnya, terapi kejutan itu meningkatkan aktivitas enzim sampai
selama tujuh hari di bagian-bagian otak tikus-tikus malang itu
-- dan selama 24 hari di dalam kelenjar adrenalinnya, pabrik
dari norepinephrine tadi. Sedang pada makhluk manusia, pengaruh
antidepressant ECT itu sering berlangsung sangat lama. Beberapa
di antaranya tidak memerlukan lagi terapi ulang.
Bersama-sama dengan meningkatnya aktivitas neurotransmitter dan
enzim, perubahan-perubahan lain dalam otak yang didorong oleh
terapi kejutan juga dapat berperan dalam penggempuran terhadap
depresi. Terapi itu dapat meningkatkan arus aliran darah ke
otak, dan mampu menembusi rintangan-rintangan yang terpasang
antara darah-dan otak. Dan selanjutnya: memungkinkan unsur-unsur
tertentu dalam darah masuk ke otak secara lebih cepat dan
normal. Beberapa unsur itu bisa berupa antidepressant alamiah.
Hanon Frenk, peneliti Israel, mengisyaratkan: sengatan arus
listrik itu memproduksi peningkatan kimia-kimia mirip morfin
yang mulai ditemukan dalam otak. Kimia-kimia tadi membantu
menangkis depresi.
Bagaimanapun, para spesialis seperti Dr. Jerome Engels dari UCLA
mengisyaratkan bahwa bukan peningkatan kimia mirip morfin itu,
tapi pengaruh kejutan terapi terhadap receptor kimia mirip
morfin, yang menciptakan perbedaan. Dalam tahun-tahun belakangan
ini ia telah menemukan bukti-bukti bahwa sengatan-sengatan
listrik dan segala akibatnya telah mempertinggi kegiatan morfin
di otak tikus-tikus percobaan. Berkata Engels: "Mereka tampaknya
benar-benar bergairah, seolah mereka benar-benar telah disuntik
morfin."
Kenyataan bahwa ECT efektif bagi kasus yang secara hati-hati
diseleksi itu, bagi kebanyakan penganjur menjadi alasan yang
paling pantas dikemukakan. Memang, tidak seorang pun mengklaim
bahwa ECT penyembuh segala penyakit, seperti ditulis Langone. Ia
tidak mampu menangani depresi yang bukan psikotis. Tidak pula
senantiasa bisa mencegah depresi. Dan pengobatan lebih jauh
mungkin masih diperlukan.
Separuh psikiatris survei APA 1978 sendiri beranggapan, shock
therapy bisa digunakan hanya jika cara pengobatan yang lain
gagal. "Terapi kejutan telah mengambil peranan di tempatnya,
kendati kontroversial," tulis Langone akhirnya. Walau ada
tuntutan larangan ECT dari orang-orang Berkeley, penggunaan ECT
dapat didorong lebih jauh. "Suatu kenyataan, untuk banyak orang,
ia tetap pilihan yang bermanfaat." Demikian kesimpulannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini