Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bila kepala disetrum

Cara penyembuhan melalui kejutan atau kejangan arus listrik.(sel)

19 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENTAH kegilaan apa yang mendorong Silvia Plath ingin menjajal alat jahanam itu. "Diiringi bunyi 'wi-wi-wi-wi' yang berkepanjangan dan kelap-kelip cahaya biru yang tidak putus-putusnya, aku dirajam di sana," ujarnya membeberkan pengalaman. "Setiap sentakan yang dihasilkan menghantamku bagai hendak meremukkan tiap keping tulang tubuhku. Bagai hendak menyadap tiap tetes darahku. Aku terheran-heran sendiri: barang keparat apa yang sedang kucoba ini." Alat itu bernama Electro-Convulsive Therapy (ECT), lebih populer dengan sebutan shock therapy atau shock treatment. Apa pun namanya, cara penyembuhan melalui kejutan atau kejangan arus listrik itu memerindingkan banyak orang. Tapi justru itulah sebabnya, mungkin, Plath yang penyair itu mencoba menjajalnya. Dan kesan yang diberikannya akan mendorong anda berkata: amit-amit! Kalau mau tahu secara mendalam, ada dua buku yang dapat dibaca. Pertama karangan Ken Kesey yang berjudul One Flew Over the Cuckoo's Nest -- yang filmnya mungkin sempat anda tonton. Yang kedua karangan Plath sendiri, Bell Jar. "Kedua pengarang menggambarkan terapi kejutan secara membangkitkan bulu kuduk," tulis John Langone dalam majalah Discover Januari kemarin. Menurut Langone, belakangan Plath sendiri bunuh diri -- tanpa memperinci sebab musababnya. Mungkinkah karena terapi kejutan itu. Sasaran ECT atau sang kejutan adalah otak. Arus listrik disalurkan ke bagian tertentu tubuh lewat alat peka yang berpusat di sebuah kursi listrik. Dan "dengan semua itu berlangsunglah dehumanisasi di dalam penyembuhan penderita saraf," tulis Langone. Langone tidak sendirian. Sudah di tahun kemarin ketakutan mewabah di California Bulan November, orang-orang di Berkeley mengadakan satu referendum yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hasilnya: tuntutan hukuman sampai dengan enam tahun penjara atau denda US$ 500 bagi pelanggar. Ini diungkapkan Langone yang menulis berdasar laporan reporter Glenn Garelik. Para pendukung referendum berharap, suara antiterapi kejutan akan merambat ke negara-negara bagian AS lainnya dan melahirkan dukungan secara nasional. Namun para pejabat rumah sakit Herrick -- satu-satunya RS di Berkeley yang memiliki alat itu -- memberi tanggapan dengan nada menyesalkan. "Itu berarti menolak penyembuhan yang bagi sejumlah pasien merupakan satu-satunya harapan untuk menanggulangi depresi yang melumpuhkan," kata seorang di antara mereka. Dr. Malcolm Duncan, di rumah sakit itu, juga menuding kisah-kisah horor psikiatri sebagai biang keroknya. Berkata direktur Bagian Pasien Psikiatri itu: "Saya khawatir tantangan orang-orang itu kurang dipikir secara rasional." Memang "Kecuali pengaruh tekanannya yang buruk, ECT adalah terapi paling efektif untuk jenis-jenis depresi tertentu," tulis Langone sendiri. Di samping itu kemampuan teknik manusia untuk menangani ECT, menurut si penulis, semakin meningkat -- sehingga jumlah dan intensitas pengaruh sampingan makin pula menurun. Namun posisi Asosiasi Psikiatri AS masih goyah -- kendati mereka berulang-ulang mencoba meyakinkan bahwa "ECT, yang berada di bawah pengawasan ketat, adalah cara yang baik dan berhasil seperti yang dibuktikan sejumlah kasus." Kasus-kasus itu umumnya terdiri dari apa yang diklasifikasikan sebagai penyakit yang sangat mengganggu. Yaitu: "Sekelompok penyakit yang ditandai gangguan-gangguan perasaan yang datang terus-menerus. Misalnya: depresi berat dan kegiatan mental yang kelewat keranjingan." TANPA terapi kejutan, konon lebih banyak orang yang menderita depresi akan melakukan bunuh diri. "Karena (tanpa itu) akan diperlukan berminggu-minggu percobaan dengan berbagai jenis obat -- untuk menemukan obat antidepresi yang paling sesuai bagi seorang pasien bertentu," tulis Langone pula. "Dan membutuhkan selusin minggu lagi untuk menanti hasilnya." Pasien lain, katanya, mungkin malah akan menjadi lebih tertekan, sehingga gagal menerima pengobatan dan penyembuhan. Umumnya para dokter memilih ECT karena efek sampingnya yang lebih kecil ketimbang yang diterima sebagai akibat yang menyertai pengobatan biasa: halusinasi, kegirangan yang berlebihan, gangguan pada jantung dan sirkulasi darah, kejang urat, dan daya tahan rendah terhadap penyakit. Dan akhirnya yang paling penting: para pasien dengan segera dapat kembali bekerja, tidak usah pusing-pusing karena pengaruh obat, dan menikmati kehidupan yang normal. Bukankah ECT tu hanya berlangsung sebentar? Asosiasi psikiatri AS (APA) pada 1978 sempat menyelenggarakan sebuah survei. Hasilnya: dari 92% psikiatris yang menggunakan ECT, dilaporkan tidak seorang pun yang pasiennya terus-menerus tidak mampu melakukan pekerjaan setelah usai menerima ikhtiar penyembuhan. Penggunaan arus listrik sendiri, untuk menanggulangi penyakit saraf bukan hal baru. Konon sudah sejak zaman raja-diraja Romawi. Ketika itu digunakan sejenis alat yang sebenarnya mengandung arus listrik -- ditempelkan ke pelipis. Di Eropa, pada abad XVIII, iistrik dari pembangkit tenaga engkol disampirkan ke berbagai bagian tubuh untuk mengobati "penyakit saraf organis." Di dalamnya termasuk penyakit bermurung-murung (melankoli), kebutaan temporer, bahkan "kesurupan". Barangkali juga "sakit heran-heran," seperti yang dijadikan bahan iklan seorang sinshe di Jakarta lewat radio swasta. Satu abad kemudian, kejutan listrik juga digunakan untuk menanggulangi berbagai penyakit lain, termasuk penyakit gila. Pada 1853 seorang dokter menulis: "Tidak satu pun penyakit saraf berbahaya yang dapat terobati sampai dicobanya cara pengobatan dengan listrik." Sebagian terapi kejutan yang rasional timbul dari suatu observasi. Yaitu bahwa "gejala-gejala schizophrenic tiba-tiba lenyap setelah kejangan-kejangan yang datang mendadak, yang mirip-mirip penyakit ayan," tulis Langone. Para dokter mulai memberikan suntikan kepada pasien, seperti camphor dalam minyak zaitun, atau insulin dengan dosis yang besar, yang dapat menyebabkan munculnya "shock insulin" -- coma yang ditimbulkan oleh rendahnya kadar gula dalam darah. Pada 1938, ahli penyakit saraf Italia Ugo Cerletti berusaha menemukan cara yang lebih dapat diandalkan. Ia mengadakan sebuah eksperimen terhadap seorang gila yang hidup menggelandang. Si gila bercelotehan di dalam "bahasa yang membikin bingung. "Cerletti memberinya sengatan listrik 80 volt ke kepalanya selama 0,2 detik -- dan itu membuat otot-ototnya kaku. Orang malang itu tertelentang di tempat tidur tapi tanpa kehilangan kcsadaran. Tiba-tiba, ia menyanyi sekeras-kerasnya, lantas diam. Cerletti mengenang peristiwa itu dengan kata-kata: "Sungguh, kami yang menangani eksperimen itu berada dalam tekanan perasaan yang berat. Kami mengira akan menanggung risiko yang besar. Tapi satu hal yang jelas, kami memasang voltase yang sangat rendah." Lalu uji coba itu dihentikan? Ya. Tapi hanya sebentar -- untuk memberi waktu istirahat bagi si pasien. Esoknya hal yang sama diulangi. Dan, "segera setelah itu, si pasien mulai berbicara dengan jelas. Bualnya lenyap. Dan dengan tenang ia berkata: 'Cukup! Jangan ulang lagi. Benar-benar maut!' " Dan permohonan itulah yang justru melipatgandakan kegairahan Cerletti untuk melanjutkan percobaan. Ia kembali menerapkan elektroda. * * * Kendati terapi kejutan kadang menimbulkan amukan pasien yang sampai-sampai bisa bikin kaki patah, cara itu segera menjadi penyembuhan standar, kata si penulis. Pada survei APA 1965, dari rumah-rumah sakit umum dan swasta yang membuka unit psikiatrinya, 90% dilaporkan menggunakan cara itu. Tetapi seperti lobotomy -- yang di AS sudah ditinggalkan -- dan terapi biasa (memakai obat-obatan), ECT kadang digunakan tanpa pembeda-bedaan. Bertahun-tahun para dokter menerapkan cara itu tanpa memberitahukan kepada pasien risiko-risiko yang mungkin dialami. Juga tidak meminta izin khusus. Malah tetap dipakai juga kendati pengaruhnya tidak ada. KECAMAN-kecaman mengisyaratkan bahwa pemakaian ECT terhadap pasien di atas 65 tahun tampak meningkat -- konon karena para dokter takut akan akibat samping dengan penyembuhan melalui pengobatan biasa. "Bahkan ECT telah disalahgunakan," menurut Langone kemudian. Pada 1977, badan intelijen AS, CIA, mengakui bahwa dalam anggaran subsidi 14 tahunnya untuk riset-riset medis termasuk juga pos untuk terapi kejutan itu. "Dalam usaha menemukan cara-cara penanganan kebiasaan manusia," itulah alasan yang mereka kemukakan. Ted Chabasinski, 44 tahun, menerima terapi kejutan pada usia enam tahun, dan ialah yang memimpin gerakan referendum yang diadakan di Berkeley itu. Katanya: "Shock tadinya dimaksudkan untuk membikin babi pingsan sebelum digotong ke rumah jagal. Sejak 40 tahun lalu masih juga dipergunakan untuk maksud yang sama." Toh hampir tidak ada dokter yang tergugah oleh film atau buku One Flew Over the Cuckoo's Nest. Tak tergetar oleh praktek brutal Big Nurse, yang demi kelanggengan jabatan membiarkan terapi kejutan berlangsung dengan cara-cara yang dilukiskan kejam. Juga peralatan dan cara-cara yang dilakukan tak membangkitkan suatu kenangan. Memang, ada penyempurnaan. Kini sebelum menerima ECT, seorang pasien disuruh telan dulu obat penenang. Yang disebut electrolyte jelly kemudian ditempelkan ke jidat, untuk meningkatkan daya konduksi dan mencegah luka bakar semacam bando dari plastik dikenakan di kepala untuk merekam elektroda yang memonitor aktivitas gelombang-gelombang otak. Unsur-unsur anesthetis kini masuk melalui urat nadi, dan diikuti oleh muscle relaxant -- kekenduran urat-urat. Oksigen kini menjalankan fungsinya secara langgeng, suatu tindakan pencegahan penting. "Karena pernapasan yang terputus-putus sebelumnya mungkin penyebab utama amnesia dan gangguan pada otak lainnya," tulis Langone mencoba menjelaskan. Arus litrik 70 sampai 175 volt disengatkan selama O,1 - 1,5 detik. Arus itu sampai di otak melalui elektroda pada kedua sisi kepala (ECT bilateral), atau hanya pada salah satu sisinya (ECT unilateral). Sebagai akibat, pasien mengalami epilepsi besar-besaran. Hampir dalam waktu bersamaan, otot-otot muka menegang. Ini menunjukkan bahwa ketegangan otot -- tahap dari ayan alias sawan, umumnya diselubungi otot-otot yang mengendur -- telah dimulai. Setelah sekitar sepuluh detik, tahap yang lebih aktif berlangsung -- dan berlanjut selama 30 atau 45 detik. Kontraksi yang tersentak-sentak dan berganti-ganti dengan relaksasi itu sukar kelihatan -- kendati jari-jari kaki mengecil. (Dalam cara-cara yang belum diperbaiki, yang dengan ngotot dipakai sejumlah spesialis, tidak dilakukan usaha pengenduran otot pasien. Dalam kasus begini digunakan sejumlah pembantu untuk memegangi pasien, untuk mencegah patah tulang). Sawan diikuti oleh koma yang singkat, dan kemudian tidur. Begitu terbangun, pasien sadar akan waktu, tempat, tanggal, dan mampu berbincang-bincang dengan jelas. Enam atau 12 kali penanganan -- biasanya tiga kali seminggu -- merupakan standar untuk menghandel depresi. "Hasilnya sering dramatis," komentar yang punya tulisan. "Ditandai oleh kemajuan penyembuhan dalam sejumlah hari, dalam beberapa minggu -- atau tidak sama sekali." Namun para pengecam berkeras tentang efek samping yang berderet panjang. Yang terburuk adalah amnesia dan pengurangan kemampuan penyimpanan informasi baru. Mereka mengklaim, kendati sejumlah ingatan bisa muncul kembali, yang lain lenyap sama sekali. Ada suatu studi yang September tahun kemarin diumumkan dalam American Journal of Psychiatry. Laporan itu menyatakan, 17 dari 31 orang yang pernah menerima ECT bilateral merasakan akibat terapi kejutan itu bagi ingatan mereka, lebih jelek dibanding rata-rata orang seusia. Seorang pasien, yang pernah menerima satu seri dari enam kali terapi kejutan, berkata: "Sulit membaca, karena kemampuanku memusatkan pikiran melemah. Telah kubaca sejumlah besar buku, tapi tanpa ingatan tentang semuanya." Toh kebanyakan peneliti dan dokter yang pernah menggunakan ECT membantah meningkatnya dan lama berlangsungnya efek jelek itu. Mereka sepakat, pengaruh buruknya sebenarnya sedang-sedang saja, dan hanya kadang-kadang. Dan bahwa "mengenakan peralatan monitor pada satu sisi kepala saja, secara hati-hati, dapat mengurangi risiko secara berarti." Memang, para anggota survei APA 1978 menemukan bahwa: sementara 46% pasien penderita saraf menderita beberapa jenis kehilangan ingatan setelah ECT, hanya satu dari seratus orang yang kehilangan ingatan secara penuh dalam waktu lama. Alexander Miller dari Pusat Ilmu Kesehatan Universitas Texas, AS, di San Antonio, berkata: "Para pasien tampil lebih baik dalam tes ingatan pada saat depresinya lenyap. Hasil baik yang didapat dari ECT adalah pembuktian fungsi kesadarannya." ECT unilateral, yang masih belum dapat dianggap sama efektifnya dengan ECT bilateral, dalam penggunaannya disampirkan pada sisi kanan otak. Ini karena dari studi-studi ditunjukkan bahwa belahan kanan memainkan peranan dalam terjadinya depresi, sementara yang kiri berperanan untuk perasaan senang dan bahagia. Itulah sebabnya, dalam teori, kata penulis ini, "tekanan aktivitas saraf yang diberikan pada bagian kanan dapat mengurangi depresi." *** Tapi apa yang terjadi ketika sang depresi pergi, secara tepatnya tidak jelas Ada petunjuk kuat yang mengisyaratkan, bahwa sesudah menerima kejutan ECT kegiatan normal meninggi dan bukan merosot. Kesimpulan ini datangnya dari suatu penyelidikan tentang catecholomine -- neurotransmitter yang membantu peredaran perasaan (mood). Berkurangnya salah satu neurotransmitter di dalam otak, yang disebut norepinephrine, membuat seseorang jatuh ke dalam lubuk depresi. "Tapi satu menit penanggulangan dengan ECT bisa meningkatkan jumlah norepinephrine, ditaburkan dalam arus darah -- dan berkuranglah depresi itu," tulis Langone. ECT juga mampu mendorong aktivitas apa yang dinamakan tyrosine hydroxylase, enzim yang ada kaitannya dengan norepinephrine. Ilmuwan pada Fakultas Kedokteran Universitas Colorado memberikan berkali-kali sengatan listrik pada tikus-tikus laboratorium. Dan yang terjadi: mereka menemukan kunci kemampuan antidepressant. Jelasnya, terapi kejutan itu meningkatkan aktivitas enzim sampai selama tujuh hari di bagian-bagian otak tikus-tikus malang itu -- dan selama 24 hari di dalam kelenjar adrenalinnya, pabrik dari norepinephrine tadi. Sedang pada makhluk manusia, pengaruh antidepressant ECT itu sering berlangsung sangat lama. Beberapa di antaranya tidak memerlukan lagi terapi ulang. Bersama-sama dengan meningkatnya aktivitas neurotransmitter dan enzim, perubahan-perubahan lain dalam otak yang didorong oleh terapi kejutan juga dapat berperan dalam penggempuran terhadap depresi. Terapi itu dapat meningkatkan arus aliran darah ke otak, dan mampu menembusi rintangan-rintangan yang terpasang antara darah-dan otak. Dan selanjutnya: memungkinkan unsur-unsur tertentu dalam darah masuk ke otak secara lebih cepat dan normal. Beberapa unsur itu bisa berupa antidepressant alamiah. Hanon Frenk, peneliti Israel, mengisyaratkan: sengatan arus listrik itu memproduksi peningkatan kimia-kimia mirip morfin yang mulai ditemukan dalam otak. Kimia-kimia tadi membantu menangkis depresi. Bagaimanapun, para spesialis seperti Dr. Jerome Engels dari UCLA mengisyaratkan bahwa bukan peningkatan kimia mirip morfin itu, tapi pengaruh kejutan terapi terhadap receptor kimia mirip morfin, yang menciptakan perbedaan. Dalam tahun-tahun belakangan ini ia telah menemukan bukti-bukti bahwa sengatan-sengatan listrik dan segala akibatnya telah mempertinggi kegiatan morfin di otak tikus-tikus percobaan. Berkata Engels: "Mereka tampaknya benar-benar bergairah, seolah mereka benar-benar telah disuntik morfin." Kenyataan bahwa ECT efektif bagi kasus yang secara hati-hati diseleksi itu, bagi kebanyakan penganjur menjadi alasan yang paling pantas dikemukakan. Memang, tidak seorang pun mengklaim bahwa ECT penyembuh segala penyakit, seperti ditulis Langone. Ia tidak mampu menangani depresi yang bukan psikotis. Tidak pula senantiasa bisa mencegah depresi. Dan pengobatan lebih jauh mungkin masih diperlukan. Separuh psikiatris survei APA 1978 sendiri beranggapan, shock therapy bisa digunakan hanya jika cara pengobatan yang lain gagal. "Terapi kejutan telah mengambil peranan di tempatnya, kendati kontroversial," tulis Langone akhirnya. Walau ada tuntutan larangan ECT dari orang-orang Berkeley, penggunaan ECT dapat didorong lebih jauh. "Suatu kenyataan, untuk banyak orang, ia tetap pilihan yang bermanfaat." Demikian kesimpulannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus