SEBUAH truk tampak menuangkan pasir muatannya di tepi suatu
lapangan parkir mobil. Seorang wanita bercadar dan bergaun hitam
bersimpuh dekat tumpukan pasir tadi. Lalu terdengar suara
letusan bedil. Dan wanita tersebut terhuyung rebah.
Itulah awal film The Death of a Princess (Kematian Seorang
Putri) yang menghebohkan. Produksi jaringan televisi swasta
Inggris --Associated Television (ATV) -- itu telah membangkitkan
amarah pemerintah Arab Saudi. Bahkan karena peredarannya yang
tak bisa dicegah, Dutabesar Inggris untuk Saudi, James Craig,
sudah dimintanya supaya keluar saja, sementara Arab Saudi
menunda pengangkatan dubesnya untuk Inggris. Dan ditinjaunya
kembali hubungan ekonomi kedua negara.
The Death of a Princess dianggap telah mencemoohkan hukum Islam,
dan tradisi keluarga Kerajaan Saudi. Putri Misha'al, cucu
Pangeran Muhammad bin Abdul Aziz, saudara tertua Raja Khaled
ditampilkan hidup terkekang dikelilingi dayang-dayang. Putri
Misha'al diperankan bintang film Mesir, Suzane Abou Taleb
Sebagian besar shooting film ini dilakukan di Mesir pula.
Tidak Benar
Sekalipun sudah menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya,
Putri Misha'al dilukiskan sebagai wanita pemburu cinta. Ia
diam-diam sering pergi berfoya-foya ke padang pasir dengan
mengendarai mobil mewah. Untuk menambah dramatisnya film,
terdapat segi kasak-kusuk masyarakat Arab yang mempergunjingkan
keluarga kerajaan. Sedang perempuan yang ditembak seperti tampak
pada awal kisah, menurut film tersebut, bukanlah sang putri,
melainkan seorang budak. Pangeran Muhammad telah menukarnya pada
malam hari sebelum penembakan dilakukan.
Banyak pengungkapan dalam film itu dianggap tidak benar.
Keluarga Kerajaan Saudi amat tersinggung ketika kehidupan
putri-putri mereka dilukiskan sebagai manusia pemalas. Seolah
mereka menghabiskan waktu sepanjang hari di depan layar pesawat
video tape, dan mendengarkan musik pop.
Menurut versi Kerajaan Saudi film ini terlalu berkhayal. Putri
Misha'al memang dituduh berzina (tiga kali) dengan lelaki bukan
suaminya, Musleh al Sha'er, kemanakan Dubes Saudi di Lebanon.
Karena skandalnya terbongkar ia mencoba melarikan diri dari
Saudi dengan menyamar sebagai lelaki. Tapi ia tertangkap di
bandar udara Jeddah. Ia kemudian ditembak, dan kekasihnya Musleh
al Sha'er dipancung bulan Juli 1977.
The Deatb of a Princess, menurut Antony Thomas, 39 tahun,
sutradaranya, memang dibuat dengan mendramatiskan skandal
kehidupan Putri Misha'al. Thomas tergoda memfilmkannya ketika
didengarnya Putri Misha'al menyabung nyawa tidak semata-mata
karena tuntutan cinta dan nafsu, tapi juga dilandasi sikap untuk
melunakkan tradisi kolot kerajaan.
Thomas terbang ke Saudi mewawancarai beberapa sumber, termasuk
bekas dayang Putri Misha'al, seorang wanita berkebangsaan
Jerman. Ia juga pergi ke Mesir, dan Lebanon melakukan riset.
Sekalipun filmnya diangkat dari peristiwa yang sungguh-sungguh
terjadi, Thomas mengakui beberapa adegannya adalah khayalan
belaka. Sengaja ia melakukannya dalam usaha mengungkapkan
kembali tindakan Putri Misha'al yang tampaknya akan mempengaruhi
pandangan keluarga kerajaan. "Fakta dalam soal ini adalah hal
kedua," kata Thomas.
Thomas, sutradara penganut aliran Faction, mencoba mengungkapkan
kembali ide dan latar belakang lahirnya fakta semula. Cara
membuat film seperti ini -- mengaburkan batas antara fakta dan
khayalan -- memang banyak dikecam. "Tapi kalau saya tahu film
putri ini akan menimbulkan banyak kesulitan saya sudah
melemparkannya ke batu bata panas," kata Thomas menyesalinya.
Tapi beberapa kelurga orang Palestina yang tinggal di kemah
pengungsi di Beirut merasa senasib dengan penggambaran film
tersebut. Hidup Putri Misha'al yang terkungkung di istana,
menurut mereka, adalah ibarat hidup mereka yang terpaut di kamp.
Bahwa sang putri meninggalkan suaminya, itu mereka anggap suatu
keberanian. Dan suatu caranya untuk menyatakan apa gunanya
kehidupan terkungkung.
Bukan sekali ini Thomas menemui kesulitan. Di tahun 1969 Thomas
pernah diinterogasi kepolisian Afrika Selatan. The Gold Run,
filmnya, dituduh memutar-balikkan fakta kehidupan buruh asing
yang berupah tinggi di negara itu.
Setelah peristiwa tersebut, Thomas yang kelahiran Wales,
Inggris, tapi dibesarkan di Afrika Selatan, bersumpah tak mau
menginjak Afrika Selatan. Tapi beberapa tahun kemudian ia
kembali ke sana membuat film The African Experience. Di situ ia
kembali melukiskan perbedaan menyolok kehidupan buruh kulit
putih yang mendapat upah tinggi, dengan buruh kulit hitam
bergaji rendah. Tentu saja penguasa setempat gusar.
The Death of a Princess, menurut Thomas, dibuat tidak dengan
pamrih menceritakan seluruh aspek kehidupan dunia Arab. "la
hanya sebuah kepingan dari kehidupan dunia Arab yang dikerjakan
dengan suatu ketrampilan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini