NAMA guru disinggung-singgung persis menjelang Hari Pendidikan
Nasional 2 Mei yang lalu. Bukan oleh kalangan pendidikan, tapi
oleh Dewan Juri Festival Film Indonesia di Semarang yang
berakhir Ahad terakhir bulan kemarin Kata mereka guru, dalam
film Indonesia, dianggap sebagai orang asing. Bahkan sebagai
orang yang tak dikehendaki murid.
Dalam film Gita Cinta dari SM misalnya, seorang guru olahraga
dijadikan bahan ejekan: celananya robek waktu sedang mengajar
olahraga. Juga kerja guru "dibelokkan", dalam film Mencari
Cinta: guru hanya berkhotbah tentang pacaran saja.
Toh sebetulnya belum begitu jelas apa yang dikehendaki Dewan
Juri. Untunglah Toeti Heraty Noerhadi, 46 tahun, ketuanya,
menerangkan kepada TEMPO bahwa sebenarnya tidak hanya guru yang
menjadi masalah. Juga jabatan lain oleh para juri dinilai lemah
penggambarannya dalam film kita. "Kalau kemudian guru menjadi
menonjol, itu karena banyaknya film tentang remaja," tambah
dosen filsafat Fakultas Sastra UI itu.
Menurut Toeti, para pembuat film belum siap dengan
konsekuensi-konsekuensi film bertema remaja. Dia sebut dunia
remaja adalah dunia rumah, rekreasi, teman-teman dan sekolah.
Nah, yang menyangkut sekolah misalnya, penggambarannya dalam
film belum pas benar. Di situ tak digambarkan bagaimana guru
mengajar -- atau sebenarnya lebih persis tak dikesankan adanya
pemahaman terhadap dunia seorang guru Guru baru hanya dijadikan
pelengkap alias embel-embel.
Tapi bukankah sering dikatakan bahwa guru memang tak begitu
dipandang penting oleh murid sekarang. Sehingga gambaran dalam
film Indonesia malah "lebih melihat kenyataan", daripada
harapan?
Kelainan Jiwa
Betapapun, sehari sebelum FFI dibuka, di Yogya terjadi peristiwa
pembacokan kepala sekolah oleh seorang muridnya. H.A., siswa
kelas terakhir SMP YUB (Yayasan Universitas Buruh), protes
karena tak diizinkan mengikuti EBTA (Evaluasi Belajar Tingkat
Akhir). H.A. yang pindahan dari Taman Dewasa, perguruan Taman
Siswa, memang dikenal sebagai murid bandel. Pernah mengantarkan
teman kelasnya, hingga si teman itu terpaksa keluar dari SMP YUB
karena takut. Absensinya pun tercatat hanya 50% -- meski Oengki
Soekirno, wali kelasnya di Taman Dewasa dulu, agah kaget
mendengar peristiwa itu, karena dulu ia "hanya dikenal sebagai
pemalas, tapi tak brutal."
H.A, 19 tahun, anak seorang pensiunan pegawai AURI, konon memang
menderita kelainan jiwa -- paling tidak pernah diperiksakan ke
psikiater. Kini ia ditahan polisi.
Di sebuah SMA swasta di Magelang terjadi pula peristiwa serupa.
Akhir April di sekolah itu diumumkan hasil EBTA H, 20 tahun,
ternyata tak tercantum sebagai murid yang lulus. Ia ngamuk.
Kepala Sekolah dipukul dan ditendang. Setelah dibujuk-bujuk oleh
teman dan guru-guru yang lain, ia pun meninggalkan sekolah
--dengan marah. Padahal tak hanya dia yang tak berhasil 8 teman
lain pun bernasib serupa, tapi mereka tak marah.
Lalu di Denpasar, di SMAN II, awal Mei, I.G.A. ternyata
satu-satunya anak di kelas akhir dari 230 murid yang tak lulus
EBTA ia juga berang. Hampir saja memukul kepala sekolahnya.
Untung keamanan OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) di situ
seorang petinju kelas bantam dari sebuah klub di sana. Ia
berhasil menggagalkan pemukulan, bahkan sempat menyarangkan
tinjunya kepada l.G.A.
Si anak, putra seorang pengusaha yang telah janda, diinterogasi
kepolisian -- tapi tak ditahan. Dia memang dikenal
teman-temannya sebagai tukang bikin huru-hara. Padahal
sekolahnya cukup terkenal, bahkan di Harpenas yang lalu kepala
sekolahnya mendapat bintang 'Karya Satya Kelas III' dari
pemerintah.
Belum lagi lepas dari ingatan peristiwa perkelahian massal
siswa SMAN IX dengan XI di Jakarta awal April lalu. Peristiwa
itu ternyata tak cukup diselesaikan para guru sendiri --
terpaksa mendatangkan pihak kepolisian.
Lantas, memang disayangkan kalau gambaran guru dalam film kita
mengabaikan fungsi guru. Bukannya ini akan mempunyai pengaruh
buruk, seperti yang dikatakan Toeti Heraty, tapi "perwatakan
yang kita harap tak tergambarkan." Jelasnya, kerja guru --
seperti juga kerja yang lain-lain -- tak digambarkan dengan baik
"Nilai kerja dalam kehidupan kita sepertinya tak dihargai," kata
Toeti pula. Guru hanya dikenal karena dia dipanggil "pak atau bu
guru," tapi apa fungsinya, tak jelas.
Jadi memang tak ada kesimpulan, bahwa film Indonesia sengaja
mengejek guru. Yang diharap, supaya peran guru lebih diberi
darah-daging, dan "bukannya hanya kerangka yang bergerak tanpa
tercermin fungsinya."
Toh, cepat-cepat Toeti mengatakan pula "Tak berarti film kita
harus menampilkan seorang guru yang penuh petuah atau
indoktrinasi." Iya tak di film tak di kehidupan nyata, seorang
yang penuh petuah dan indoktrinasi memang membosankan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini