PERAWAN DESA
Sutradara : Frank Rorimpandey
Skenario : Putu Wijaya Pemain : Yatty Surachman, Maruli
Sitompul, Rae Sita dan Dady Jaya.
SUM, penjual telur, mendadak rubuh di halaman rumah seorang
langganannya. Tubuhnya kusut dan kainnya berlumur darah. Kepada
keluarga langganannya itu, ia mengadu bahwa ia telah diperkosa.
Tapi setelah Sum (Yatty Surachman) mendapat perawatan dan
diamankan polisi, ia membuat pengakuan yang mengejutkan dalam
suatu pertemuan pers. Laporannya semula kepada polisi bahwa ia
telah diperkosa dikatakannya tidak benar. "Saya tidak diperkosa,
saya tidak diculik," lanjut Sum dengan bibir gemetar.
Benarkah Sum tidak diperkosa? Menurut pemaparan film Perawan
Desa, memang ia diperkosa 4 pemuda berandal, pedagang ganja, di
atas jip. Karena seorang di antara pemerkosanya anak seorang
pejabat, muncul usaha untuk menggelapkan laporan Sum. Komisaris
Murtono (Dady Jaya), kenalan baik ayah (pejabat) salah seorang
pemerkosa, bertindak sebagai pelakunya.
Tapi usaha Murtono menggelapkan 3 barang bukti (kain berlumur
darah), dan menyelewengkan laporan Sum, terbongkar di
pengadilan. Sum bahkan kemudian berbalik mengaku benar ia telah
di perkosa. Sedang saksi yang diajukan akhirnya mengaku ia
ditekan polisi untuk membuat kesaksian palsu. Murtono lalu
dimutasikan.
Dan keempat pemerkosanya dengan mudah ditampilkan, dan
'dihukum' film tersebut. Keempatnya, seperti dalam kebanyakan
film melodrama, terlalu berat ketika mobil mereka menabrak truk
dalam usaha melarikan diri. Sum sendiri bebas, dan jadi
jururawat.
Kurang Sreg
Perawan Desa diangkat dari peristiwa pemerkosaan atas diri Sum
Kuning yang benar terjadi tahun 1970 di Yogya. Perbedaannya
terletak pada cara menyelusur, dan menyelesaikan pemerkosanya.
Pada peristiwa sesungguhnya sangat sulit dicari pemerkosanya.
Pun peristiwanya kemudian berakhir dengan samar, sekalipun
akhirnya terdengar pemerkosanya tertangkap, dan dihukum. Hanya
di film itulah tokoh hitam dan putih diletakkan berseberangan
dengan jelas.
Kritik tajam? Rasanya bukan. Putu Wijaya mengaku ia mengerjakan
skenarionya dengan hati-hati. Di beberapa adegan ia tampak harus
melakukan kompromi dengan situasi. Maklum sampai kini pun
beberapa penguasa di Yogya masih tetap risi dengan peristiwa
tersebut. Kendati demikian kebenaran toh harus dikemukakan
sekalipun tidak dalam takaran maksimal.
Mungkin karena tekanan iklim itu, pemaparan kembali tragedi Sum
tampak pucat, dan tak memiliki alur kuat. Derita Sum, kekesalan
orang tuanya, dan kegusaran orang-orang yang mencintainya,
tampak kurang utuh merangkai setiap peristiwa.
Selain memiliki cacat teknis, film tersebut juga cacat ilustrasi
musiknya. Rasanya kurang sreg dalam sebuah film muncul sekaligus
musik tradisi (gamelan), dan musik pop (balada). Tapi film ini,
yang terpilih sebagai film terbaik Festival Film Indonesia di
Semarang (22-27 April), memang kuat pada menit-menit pertama.
Diraihnya 4 Citra (untuk film terbaik, skenario, penyutradaraan
dan editing).
Ia dimulai dengan gambar extreme close up mata Sum. Pada adegan
itu terdengar suara percakapan. Tanyajawab beberapa orang
memperdebatkan kesangsian benarkah Sum diprkosa.
Gambar mata Sum ini kemudian dirangkai dengan potret dirinya
ketika masih kecil sampai menginjak dewasa. Di situ juga
terdengar tanya jawab yang memperkenalkan latar belakang
kehidupan Sum. Ketika kecil namanya adalah Sumirah. Adalah
karena berkulit kuning ia kemudian dipanggil sebagai Sum Kuning.
Sayang sesudah itu Sun ditampilkan sutradara dengan ruwet.
Ceritanya berkembang demikian kompleks hingga agak repot untuk
menyelesaikannya.
Eddy Herwanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini