Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Dari kisah sum

Sutradara: frank rorimpandey skenario: putu wijaya pemain: yaty surachman. maruli sitompul. rae sita, dady jaya. resensi oleh: eddy herwanto. (fl)

17 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERAWAN DESA Sutradara : Frank Rorimpandey Skenario : Putu Wijaya Pemain : Yatty Surachman, Maruli Sitompul, Rae Sita dan Dady Jaya. SUM, penjual telur, mendadak rubuh di halaman rumah seorang langganannya. Tubuhnya kusut dan kainnya berlumur darah. Kepada keluarga langganannya itu, ia mengadu bahwa ia telah diperkosa. Tapi setelah Sum (Yatty Surachman) mendapat perawatan dan diamankan polisi, ia membuat pengakuan yang mengejutkan dalam suatu pertemuan pers. Laporannya semula kepada polisi bahwa ia telah diperkosa dikatakannya tidak benar. "Saya tidak diperkosa, saya tidak diculik," lanjut Sum dengan bibir gemetar. Benarkah Sum tidak diperkosa? Menurut pemaparan film Perawan Desa, memang ia diperkosa 4 pemuda berandal, pedagang ganja, di atas jip. Karena seorang di antara pemerkosanya anak seorang pejabat, muncul usaha untuk menggelapkan laporan Sum. Komisaris Murtono (Dady Jaya), kenalan baik ayah (pejabat) salah seorang pemerkosa, bertindak sebagai pelakunya. Tapi usaha Murtono menggelapkan 3 barang bukti (kain berlumur darah), dan menyelewengkan laporan Sum, terbongkar di pengadilan. Sum bahkan kemudian berbalik mengaku benar ia telah di perkosa. Sedang saksi yang diajukan akhirnya mengaku ia ditekan polisi untuk membuat kesaksian palsu. Murtono lalu dimutasikan. Dan keempat pemerkosanya dengan mudah ditampilkan, dan 'dihukum' film tersebut. Keempatnya, seperti dalam kebanyakan film melodrama, terlalu berat ketika mobil mereka menabrak truk dalam usaha melarikan diri. Sum sendiri bebas, dan jadi jururawat. Kurang Sreg Perawan Desa diangkat dari peristiwa pemerkosaan atas diri Sum Kuning yang benar terjadi tahun 1970 di Yogya. Perbedaannya terletak pada cara menyelusur, dan menyelesaikan pemerkosanya. Pada peristiwa sesungguhnya sangat sulit dicari pemerkosanya. Pun peristiwanya kemudian berakhir dengan samar, sekalipun akhirnya terdengar pemerkosanya tertangkap, dan dihukum. Hanya di film itulah tokoh hitam dan putih diletakkan berseberangan dengan jelas. Kritik tajam? Rasanya bukan. Putu Wijaya mengaku ia mengerjakan skenarionya dengan hati-hati. Di beberapa adegan ia tampak harus melakukan kompromi dengan situasi. Maklum sampai kini pun beberapa penguasa di Yogya masih tetap risi dengan peristiwa tersebut. Kendati demikian kebenaran toh harus dikemukakan sekalipun tidak dalam takaran maksimal. Mungkin karena tekanan iklim itu, pemaparan kembali tragedi Sum tampak pucat, dan tak memiliki alur kuat. Derita Sum, kekesalan orang tuanya, dan kegusaran orang-orang yang mencintainya, tampak kurang utuh merangkai setiap peristiwa. Selain memiliki cacat teknis, film tersebut juga cacat ilustrasi musiknya. Rasanya kurang sreg dalam sebuah film muncul sekaligus musik tradisi (gamelan), dan musik pop (balada). Tapi film ini, yang terpilih sebagai film terbaik Festival Film Indonesia di Semarang (22-27 April), memang kuat pada menit-menit pertama. Diraihnya 4 Citra (untuk film terbaik, skenario, penyutradaraan dan editing). Ia dimulai dengan gambar extreme close up mata Sum. Pada adegan itu terdengar suara percakapan. Tanyajawab beberapa orang memperdebatkan kesangsian benarkah Sum diprkosa. Gambar mata Sum ini kemudian dirangkai dengan potret dirinya ketika masih kecil sampai menginjak dewasa. Di situ juga terdengar tanya jawab yang memperkenalkan latar belakang kehidupan Sum. Ketika kecil namanya adalah Sumirah. Adalah karena berkulit kuning ia kemudian dipanggil sebagai Sum Kuning. Sayang sesudah itu Sun ditampilkan sutradara dengan ruwet. Ceritanya berkembang demikian kompleks hingga agak repot untuk menyelesaikannya. Eddy Herwanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus