Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Pak Guru, Benarkah Diejek ?

Guru di singgung-singgung oleh dewan juri ffi di semarang. dalam film indonesia guru dianggap sebagai orang asing. penggambarannya tak mengesankan pemahaman terhadap dunia seorang guru.

17 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMA guru disinggung-singgung persis menjelang Hari Pendidikan Nasional 2 Mei yang lalu. Bukan oleh kalangan pendidikan, tapi oleh Dewan Juri Festival Film Indonesia di Semarang yang berakhir Ahad terakhir bulan kemarin Kata mereka guru, dalam film Indonesia, dianggap sebagai orang asing. Bahkan sebagai orang yang tak dikehendaki murid. Dalam film Gita Cinta dari SM misalnya, seorang guru olahraga dijadikan bahan ejekan: celananya robek waktu sedang mengajar olahraga. Juga kerja guru "dibelokkan", dalam film Mencari Cinta: guru hanya berkhotbah tentang pacaran saja. Toh sebetulnya belum begitu jelas apa yang dikehendaki Dewan Juri. Untunglah Toeti Heraty Noerhadi, 46 tahun, ketuanya, menerangkan kepada TEMPO bahwa sebenarnya tidak hanya guru yang menjadi masalah. Juga jabatan lain oleh para juri dinilai lemah penggambarannya dalam film kita. "Kalau kemudian guru menjadi menonjol, itu karena banyaknya film tentang remaja," tambah dosen filsafat Fakultas Sastra UI itu. Menurut Toeti, para pembuat film belum siap dengan konsekuensi-konsekuensi film bertema remaja. Dia sebut dunia remaja adalah dunia rumah, rekreasi, teman-teman dan sekolah. Nah, yang menyangkut sekolah misalnya, penggambarannya dalam film belum pas benar. Di situ tak digambarkan bagaimana guru mengajar -- atau sebenarnya lebih persis tak dikesankan adanya pemahaman terhadap dunia seorang guru Guru baru hanya dijadikan pelengkap alias embel-embel. Tapi bukankah sering dikatakan bahwa guru memang tak begitu dipandang penting oleh murid sekarang. Sehingga gambaran dalam film Indonesia malah "lebih melihat kenyataan", daripada harapan? Kelainan Jiwa Betapapun, sehari sebelum FFI dibuka, di Yogya terjadi peristiwa pembacokan kepala sekolah oleh seorang muridnya. H.A., siswa kelas terakhir SMP YUB (Yayasan Universitas Buruh), protes karena tak diizinkan mengikuti EBTA (Evaluasi Belajar Tingkat Akhir). H.A. yang pindahan dari Taman Dewasa, perguruan Taman Siswa, memang dikenal sebagai murid bandel. Pernah mengantarkan teman kelasnya, hingga si teman itu terpaksa keluar dari SMP YUB karena takut. Absensinya pun tercatat hanya 50% -- meski Oengki Soekirno, wali kelasnya di Taman Dewasa dulu, agah kaget mendengar peristiwa itu, karena dulu ia "hanya dikenal sebagai pemalas, tapi tak brutal." H.A, 19 tahun, anak seorang pensiunan pegawai AURI, konon memang menderita kelainan jiwa -- paling tidak pernah diperiksakan ke psikiater. Kini ia ditahan polisi. Di sebuah SMA swasta di Magelang terjadi pula peristiwa serupa. Akhir April di sekolah itu diumumkan hasil EBTA H, 20 tahun, ternyata tak tercantum sebagai murid yang lulus. Ia ngamuk. Kepala Sekolah dipukul dan ditendang. Setelah dibujuk-bujuk oleh teman dan guru-guru yang lain, ia pun meninggalkan sekolah --dengan marah. Padahal tak hanya dia yang tak berhasil 8 teman lain pun bernasib serupa, tapi mereka tak marah. Lalu di Denpasar, di SMAN II, awal Mei, I.G.A. ternyata satu-satunya anak di kelas akhir dari 230 murid yang tak lulus EBTA ia juga berang. Hampir saja memukul kepala sekolahnya. Untung keamanan OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) di situ seorang petinju kelas bantam dari sebuah klub di sana. Ia berhasil menggagalkan pemukulan, bahkan sempat menyarangkan tinjunya kepada l.G.A. Si anak, putra seorang pengusaha yang telah janda, diinterogasi kepolisian -- tapi tak ditahan. Dia memang dikenal teman-temannya sebagai tukang bikin huru-hara. Padahal sekolahnya cukup terkenal, bahkan di Harpenas yang lalu kepala sekolahnya mendapat bintang 'Karya Satya Kelas III' dari pemerintah. Belum lagi lepas dari ingatan peristiwa perkelahian massal siswa SMAN IX dengan XI di Jakarta awal April lalu. Peristiwa itu ternyata tak cukup diselesaikan para guru sendiri -- terpaksa mendatangkan pihak kepolisian. Lantas, memang disayangkan kalau gambaran guru dalam film kita mengabaikan fungsi guru. Bukannya ini akan mempunyai pengaruh buruk, seperti yang dikatakan Toeti Heraty, tapi "perwatakan yang kita harap tak tergambarkan." Jelasnya, kerja guru -- seperti juga kerja yang lain-lain -- tak digambarkan dengan baik "Nilai kerja dalam kehidupan kita sepertinya tak dihargai," kata Toeti pula. Guru hanya dikenal karena dia dipanggil "pak atau bu guru," tapi apa fungsinya, tak jelas. Jadi memang tak ada kesimpulan, bahwa film Indonesia sengaja mengejek guru. Yang diharap, supaya peran guru lebih diberi darah-daging, dan "bukannya hanya kerangka yang bergerak tanpa tercermin fungsinya." Toh, cepat-cepat Toeti mengatakan pula "Tak berarti film kita harus menampilkan seorang guru yang penuh petuah atau indoktrinasi." Iya tak di film tak di kehidupan nyata, seorang yang penuh petuah dan indoktrinasi memang membosankan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus