Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Kisah Seksualitas Masyarakat Jawa

Seks tidak berhenti sebagai sarana hedonistik aristokrat keraton Jawa. Seks bagian dari strategi politik dan ideologis buat mengekalkan kekuasaan raja.

9 Maret 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seks Para Pangeran, Tradisi, dan Ritualisasi Hedonisme Jawa Penulis : Otto Sukatno C.R. Penerbit : Bentang Budaya, Yogyakarta Cetakan : Pertama, November 2002 Tebal : xi + 279 halaman SEKSUALITAS, dalam kehidupan kita, merupakan hal yang selalu menarik dibicarakan. Iklan di televisi dan berbagai media massa mengekspos segala pernik-pernik seks. Buku-buku seks yang serius dan buku-buku porno yang dicetak buram tanpa penerbit laris di pasar kaki lima. Buku yang ditulis Otto Sukatno C.R., sastrawan dan ahli kejawen dari Yogyakarta, menyingkap pernik-pernik dunia seks dalam masyarakat Jawa. Seks tidak saja sarana reproduksi (untuk mendapatkan keturunan) atau sarana rekreasi (sebagai pemenuhan kebutuhan biologis). Seksualitas ditampilkan dalam bentuk simulasi simbol, ritualisasi hedonistik, dan sarana perwujudan berbagai kepentingan dan kewibawaan politik (kerajaan). Dalam ranah biologis, masyarakat Jawa biasanya lebih suka menarik soal seksualitas ini dalam ruang domestik yang sangat pribadi dan sakral. Melalui domestifikasi, seks yang dianggap "porno" di ruang publik jadi bebas di ruang domestik. Secara struktural, konsepsi ini mewujud dalam pembagian spasial rumah Jawa: ada ruang siti hinggil (tempat duduk—ruang tamu) dan peturon (kamar tidur). Sebagai representasi kepentingan biologis, seks bagi masyarakat Jawa telah mengalami ritualisasi amat dahsyat. Kita, misalnya, mengenal budaya katuranggan, yaitu tanda-tanda fisik pada sosok perempuan sebagai sarana penyingkap karakter seks perempuan. Budaya katuranggan ini (sebetulnya) merupakan ekspresi seni bercinta orang Jawa yang dikaitkan dengan faktor eksternal: waktu, tempat, dan watak, pantulan bentuk genetis terhadap tubuh yang menjadi obyek seksual. Tradisi Jawa melahirkan ilmu pétung, ilmu tentang "waktu seksual" (waktu baik-buruk untuk melaksanakan kegiatan seks), "letak dan cita rasa perempuan" (tempat-tempat sensitif di tubuh perempuan dan kenikmatan seks berdasar pada bentuk genetis perempuan), dan "tata krama seksual" termasuk juga pose-pose yang dapat melahirkan kenikmatan dalam hubungan seks. Ritualisasi seksual kadang ditempatkan dalam ruang-ruang yang berbau mistis, yakni simbol-simbol seksual digunakan sebagai penanda dan pemaknaan terhadap berbagai konsep theologis. Ini bisa dilihat, misalnya, dalam Serat Wirid Hidayat Jati, yang menjelaskan konsep makrifat dan wihdah al-wujud dengan persetubuhan laki-laki-perempuan. Di luar kepentingan hedonistik, terutama di kalangan Jawa ningrat, seks juga menjadi bagian integral dari strategi politik para raja. Di sini, seks terkait dengan kepentingan makro—sosial, ekonomi, ataupun budaya—yang mendukung kebesaran kekuasaan dan status quo raja. Dalam konteks ini, terjadilah "perkawinan politik". Misalnya, usai peperangan, raja yang menang biasanya menikahi putri raja yang kalah, sebagai salah satu strategi penjinakan politik. Strategi macam ini pernah dilakukan oleh raja-raja Mataram. Buku ini dengan menarik telah berhasil memperlihatkan pada kita kompleksitas ruang seksual masyarakat Jawa. Lewat naskah-naskah klasik, seperti Serat Centhini, Serat Cemporet, dan Wirid Hidayat Jati, serta beberapa buku primbon Jawa, Otto telah menelisik berbagai pernik yang menyangkut dunia seksualitas masyarakat Jawa, terutama kalangan keluarga keraton. Dari penyingkapan yang dilakukan Otto ini, terlihat betapa perempuan, secara seksual, selalu saja menjadi obyek, tidak saja dalam konteks biologis tapi juga politik dan ideologis dari sistem kekuasaan, baik personal maupun institusional. Budaya katuranggan, yang keseluruhan obyeknya mengacu pada perempuan, dan perkawinan politik antar-kerajaan yang sering dilakukan usai pertempuran, menjadi bukti klaim ini. Dalam domestifikasi seks, yang dominan tampak juga posisi subordinat perempuan dalam relasi seksual. Dari konteks itu, kajian Otto ini sebenarnya tidak saja memperlihatkan tradisi dan ritualisasi hedonisme masyarakat Jawa, terutama kalangan ningratnya. Secara implisit ia juga memperlihatkan betapa perempuan, dengan segala kecantikannya, dalam struktur kekuasaan (Jawa) selalu saja dijadikan ikon untuk mempertegas kehebatan dan derajat raja. Semuanya itu (mungkin) kita bisa menudingnya sebagai imbas dari konstruksi masyarakat Jawa yang patriarkal. Islah Gusmian, Alumni Pascasarjana IAIN Yogyakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus