Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
THE MERCHANT OF VENICE
Sutradara: Michael Radford Skenario: Michael Radford, berdasarkan drama karya William Shakespeare Pemain: Al Pacino (Shylock), Jeremy Irons (Antonio), Joseph Fiennes (Bassanio), Lynn Collins (Portia) Produksi: Sony Pictures Classics
Venesia, 1596.
Di antara birunya air sungai, di antara kilat keemasan jubah para pedagang Venesia, dan di antara warna merah topi para warga Yahudi itu, tersebutlah sebuah drama komedi (dan tragedi) .
Demikianlah Michael Radford memulai drama William Shakespeare yang paling kontroversial ini.
Di masanya, William Shakespeare menciptakan The Merchant of Venice (1594-1596) sebagai salah satu dari tiga buah drama komedinya yang paling awal, sesuai dengan tradisi panggung Elizabethan. Seperti Rosalind dalam komedi As You Like It dan Viola dalam Twelfth Night, Shakespeare menciptakan tokoh Portia dalam The Merchant of Venice sebagai wanita yang cerdas, cantik, mandiri, dan menyamar sebagai lelaki (sesuatu yang dengan mudah dilakukan di atas panggung teater Elizabethan karena, di masa itu, tokoh perempuan lazim diperankan oleh lelaki-lelaki muda berwajah cantikRed).
Elemen inilah yang menyebabkan, menurut saya, drama komedi Shakespeare lazimnya akan sulit dipindahkan ke hadapan kamera karena drama komedi Shakespeare selalu melibatkan komedi salah kaprah, kesalahpahaman gender, atau penyamaran perempuan menjadi lelaki.
Tetapi, kali ini Michael Radford melalui tantangan itu dengan berani!
Syahdan, Bassanio (Joseph Fiennes) tengah dirundung cinta pada Portia, seorang gadis jelita dan cendekia yang akan diwarisi sejumlah harta jika ia segera menikah. Ayah Portia sudah menyiapkan semacam "perang tanding" bagi para pelamar Portia, seperti halnya Dewi Kunti dulu diperebutkan para pelamarnya melalui sebuah "pertandingan". Namun, "perang tanding" ini dibentuk sang ayah yang telah berpulang melalui teka-teki untuk menunjukkan bagaimana bijaknya (atau bodohnya) calon itu. Di manakah lukisan wajah Portia; di kotak emas, perak, atau tembaga?
Bassanio yang tak berharta kemudian meminta pinjaman kepada sahabatnya, saudagar Venesia terkemuka dan kawannya sejati, Antonio (Jeremy Irons). Maklum, mengunjungi puri Portia tentu butuh dana dan jubah mewah. Malang, ketiga kapal Antonio tengah berlayar ke timur jauh, maka "neither have I money, nor commodity". Karena itu, Antonio bersedia meminjam uang pada kreditor Yahudi terkenal Shylock (Al Pacino dalam penampilannya yang dahsyat): 3.000 ducats. Seorang kreditor yang pada awal film ini pernah diludahi oleh Antonio, karena dia jijik pada lintah darat yang meminjamkan uang dengan bunga yang menindas. Shylock, didasari oleh dendam pada diskriminasi terhadap kaum Yahudi, memberi sebuah proposal sinting: dia akan meminjamkan uang 3.000 ducats kepada Bassanio; jika dalam tiga bulan tepat uang itu tak dikembalikan beserta bunganya, dia boleh memotong daging Antonio seberat uang itu. Antonio menyanggupinya! Di saat dramatik seperti ini, tanpa sepengetahuan ayahnya, ada putri tunggal Shylock, Jessica (Zuleikha Robinson).
Sampai di sini, para pembaca harus ingat: William Shakespeare menciptakan drama ini sebagai sebuah komedi pada abad yang penuh prasangka terhadap semua ras dan agama di luar ras Aria dan agama Nasrani. Tidak aneh jika teks drama ini bukan hanya memberi kesan yang sangat merendahkan kaum Yahudi ("Call the Jew to the court" atau "What say you, Jew?" yang menunjukkan Shylock tak pernah dipanggil dengan namanya, melainkan dengan sebutan dari kaumnya), tetapi juga bahkan pada orang dari Benua Afrika (saat pangeran Maroko melamar Portia dan membuka kalimatnya dengan, "mislike me not for my complexion/The shadowed livery of the burnished sun").
Karena itu, di dunia teater modern, terutama setelah Perang Dunia II dan terjadinya horor holocaust, drama ini kemudian dituduh sebagai drama yang mengandung unsur anti-Semit karena ketokohan Shylock yang digambarkan sebagai kreditor yang buruk hati dan lalim dan juga karena teks drama itumeski penuh dengan puisi dan tokoh-tokoh yang menarikmenampilkan elemen rasialisme mengikuti masanya.
Itulah sebabnya Michael Radford (dikenal dengan karyanya yang puitis Il Postino) kemudian berani menjungkirbalikkan drama ini, dari sebuah drama komedi yang menampilkan sosok Antonio, sang saudagar yang melankolik, dan Portia, putri yang cerdas dan cantik, menjadi drama sosial yang lebih menampilkan sosok Shylock, sang rentenir Yahudi yang dianiaya dan ditindas karena prasangka.
Radford sengaja membuka sebuah adegan yang menggebrak: Venesia pada tahun 1598, ketika sungai-sungai yang penuh kabut dipenuhi para pedagang Venesia, sementara kaum Yahudi diwajibkan mengenakan topi merah (untuk memperlihatkan identitas mereka) dan juga dikenai jam malam. Radford juga memberi sebuah konteks sosial yang pentingyang tidak disajikan oleh William Shakespeare dalam teks dramanyabahwa di masa itu kaum Yahudi tak diperkenankan bekerja, sehingga diam-diam mereka mencari nafkah menjadi lintah darat. Adegan Antonio meludahi wajah Shylock pada detik pertama film ini sudah menunjukkan sikap Radford: kaum Yahudi dianiaya. Karena itu, kegarangan Shylock pada adegan-adegan berikutnya nanti memiliki alasan yang jelas dan dimaklumi penonton.
Harus diakui, di masanya, drama ini memang lebih mementingkan unsur komedi penampilan Portia. Setelah Bassanio berhasil memenangi pertandingan (dan hati) sang gadis, mereka menikah dan sekaligus menerima kabar buruk bahwa kapal-kapal Antonio mengalami problem di jalan. Antonio tak mampu membayar utangnya tepat waktu, dan karena itu perjanjian untuk memotong daging Antonio tentu akan segera ditagih Shylock. Portia, bersama kawan baiknya Nerrisa, kemudian menyamar sebagai seorang hakim muda (lelaki) dalam "pengadilan" Antonio. Inilah unsur komedi gaya Shakespeare. Penonton Elizabethan, bahkan dalam dunia teater kontemporer, lazimnya menikmati menyaksikan bagaimana Portiadalam kostum hakim lelakimenguasai panggung, mengeluarkan pengetahuannya yang luar biasa tentang hukum Venesia. Dia mengakui bahwa perjanjian itu memang berbunyi "a pound of flesh"yang kemudian membuat Shylock nyengir dan sudah bersiap mengasah pisaunya dengan penuh semangat. Entah bagaimana, adegan yang seolah terasa gelap ini disajikan oleh Shakespeare dengan enteng dan penuh humor (dan lazimnya adegan pengadilan, inilah yang lazimnya penuh ger-geran penonton, termasuk ketika drama ini dipentaskan di Taman Ismail Marzuki 30 tahun silam).
Tetapi unsur komedi ini memang sudah sejak awal dihapus oleh Radford. Bagi Radford, Shylock adalah pedagang Yahudi yang tertindas. Bukan saja dia diludahi oleh para pedagang Venesia, tetapi putrinya, Jessica, dilarikan oleh Gratiano, seorang pemuda Nasrani yang kemudian mengawininya dan membuat putrinya berpindah keimanan. "If you pick us, do we not bleed?" (Jika kalian melukai saya, bukankah kami juga berdarah?) kata Shylock kepada pada pedagang Venesia untuk mempertanyakan apa bedanya kaum Yahudi dengan kaum Nasrani.
Para pedagang Venesia lainnya mempertanyakan maksud keji Shylock yang bersemangat memotong tubuh Antonio. "It will feed my revenge. He hath disgraced me..." (Perbuatan ini akan memenuhi kesumatku. Dia telah menghina saya.)
Radford menekankan, selama ini kita asyik dengan humor hitam Portia; dengan kejenakaan permainan cross-gender gaya Portia yang kemudian mempermainkan dan menguji cinta Bassanio. Karena keasyikan itu, kita sering melupakan perasaan Shylock sebagai manusia, sebagai ayah yang ditinggalkan putrinya.
Satu hal lain yang penting, Shakespeare juga tak bersedia secara terbuka menjelajahi "kesendirian" Antonio. Radford membuka cakrawala itu. Pada adegan awal, Antonio dan Bassanio berciuman dengan penuh hasrat. Rasa kasih Antonio pada Bassanio adalah ekspresi hubungan homoseks yang ditekan dan diekspresikan melalui pengorbanannya untuk menjadikan dirinya sebagai jaminan pinjaman.
Untuk segala keberanian penjungkirbalikan drama ini, Radford memang luar biasa. Tentu saja penampilan Al Pacino meniupkan roh yang dahsyat, bukan karena dia tampil sebagai rentenir garang, tetapi justru pada saat-saat dia merasa seperti orang kalah dan menangis pilu saat Jessica meninggalkannya. Atau pada saat dia merasa diperdaya oleh hakim Portia. Lebih lagi saat dia "dihukum" untuk mengubah keimanannya menjadi kaum Nasrani.
Seluruh film ini tampak seperti rangkaian lukisan Renaissance yang penuh warna merah, dan toh dipenuhi kabut dan kekelaman. Topi, jubah, topeng ala Venesia, dan gemerlap air sungai yang tak meninggalkan elemen puitik itu.
Seluruh keindahan karya Shakespeare memang terletak pada dua hal: kualitas akting dan penafsiran teks. Meski Radford terpaksa membuang banyak adegantermasuk adegan percintaan antara Jessica dan Lorenzo yang saling berpantun dengan lirik terkemuka: "On such a night as this...." (pada malam seperti ini.....)dia berhasil menyajikan semua unsur itu: kualitas akting para aktor yang prima dan penafsiran teks yang liberal. Michael Radford bahkan melakukan pekerjaannya sebagai sutradara yang sulit dilakukan sineas lain (kecuali Akira Kurosawa dalam Throne of Blood dan Ran, serta Kenneth Brannagh dalam Henry V): dia berhasil menjelajahi berbagai kemungkinan yang sangat luas dalam drama ini melalui tafsir kamera.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo