Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berita Tempo Plus

Menggugat Tagihan Belum Jelas

Pajak atas sebagian hasil produksi minyak digugat di PTUN. Aturannya masih dipelajari.

6 Juni 2005 | 00.00 WIB

Menggugat Tagihan Belum Jelas
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALIH-alih menambah tebal pendapatan negara, malah gugatan yang datang ke kantor pajak. Inilah yang terjadi pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Badan dan Orang Asing II, yang beralamat di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Tersebutlah Seaunion Ltd., kontraktor minyak asing yang mengelola lapangan pengeboran minyak Limau_Niru di Sumatera Selatan, menggugat tagihan pajak yang dikeluarkan kantor itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Kontraktor Amerika itu menolak membayar tagihan yang berbentuk surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB) senilai US$ 5,2 juta (plus bunga menjadi US$ 6,91 juta). Sebab, pajak itu dikenakan pada uplift, bagian dari produksi minyak yang diperoleh, yang menurut mereka bukanlah pendapatan. Seaunion, yang mengambil alih Limau dari kontraktor asing lainnya, Hutsky, pada 1966, menggarap lapangan itu hingga 2003.

Seaunion merupakan kontraktor sumur tua Pertamina dengan teknologi pengurasan tahap lanjut (enhanced oil recovery). Perusahaan ini mengikat kontrak dengan Pertamina dalam bentuk joint operating body, sejenis kesepakatan kontrak bagi hasil.

Sekarang kok sampai ke PTUN? "Masalahnya bukan pada pajaknya, melainkan penetapan obyek pajaknya," kata Yan Mustafa Amir, kuasa hukum Seaunion. Jadi, yang digugat adalah keputusan atau penetapan pejabat (beschikking). Keputusan hakim PTUN nantinya adalah perintah pencabutan keputusan. Untuk sampai pada pencabutan, tentu saja penggugat harus membuktikan dalilnya bahwa keputusan itu tak memiliki dasar hukum.

"Tak satu pun aturan pajak yang menyebut uplift obyek pajak," kata Yan, yakin. Pemasukan uplift sebagai obyek pajak adalah penafsiran aparat pajak atas beberapa pasal dalam Undang-Undang No. 17/2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 7/1983 tentang Pajak Penghasilan. Audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sepanjang 1991_2001 atas lapangan Limau juga tak pernah menyebut uplift obyek pajak. Hanya pada audit 2002 disebutkan, karena statusnya (uplift sebagai obyek pajak), maka "masih perlu pembahasan lebih lanjut".

Selisih bermula ketika, pada 2 Juli 2004, KPP Badan dan Orang Asing II menerbitkan surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB) atas pajak penghasilan (PPh) dan PPh badan untuk tahun 2001 dan 2002 atas uplift yang diterima Seaunion. Pada 16 September, datang surat teguran pada Seaunion agar segera melunasi pembayaran pajak tersebut.

Teguran itu kemudian dibalas oleh Seaunion dalam bentuk surat keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak. Menurut mereka, uplift bukanlah komponen pendapatan. Menanggapi keberatan itu, KPP Badan dan Orang Asing II kemudian melayangkan surat ralat. Tapi mereka tetap meminta Seaunion membayar tagihan tersebut. Seaunion tetap menolak.

KPP Badan dan Orang Asing II kemudian menerbitkan surat paksa dan memerintahkan juru sita menyita beberapa barang Seaunion, pada Desember 2004. Tak lama kemudian, mereka juga memerintahkan JP Morgan Chase Bank memblokir rekening Seaunion. Puncaknya, pada 31 Januari 2005, mereka menerbitkan 14 surat kurang bayar pajak penghasilan dan badan. Masing-masing untuk tagihan sepanjang tujuh tahun, terhitung sejak 1995 sampai 2003.

Menurut Seaunion, pajak sepanjang tahun itu sudah dibayar. Mereka menganggap tagihan itu sebagai pengenaan double tax. Beberapa kali sempat terjadi negosiasi. Namun, kantor pajak yakin ada penghasilan yang belum dibayar pajaknya—yaitu uplift tadi. Menurut kantor pajak, uplift yang diterima kontraktor adalah pendapatan.

Merasa tak punya harapan, April lalu Seaunion resmi menggugat KPP Badan dan Orang Asing II ke PTUN. Mereka menuntut pembatalan penarikan pajak uplift itu. "Semoga ini bisa jadi yurisprudensi untuk kontraktor minyak yang lain," kata Yan. Pekan lalu, persidangan telah memasuki tahap pembuktian. Majelis hakim PTUN yang diketuai Kadar Slamet sempat membuat putusan sela yang menyatakan majelis berwenang mengadili permohonan gugatan itu.

Bantahan kuasa hukum KPP Badan dan Orang Asing II, yang dipimpin R. Fendi Dharma Saputra, yang menyatakan gugatan Seaunion adalah sengketa pajak yang harus diselesaikan di pengadilan pajak, ditolak. Majelis juga memerintahkan pencabutan atas pemblokiran rekening Seaunion oleh tergugat, pertengahan Mei lalu.

Sebenarnya, apa yang dimaksud uplift, dan dari mana munculnya? Untuk memahaminya, harus dengan merunut kontrak. Dalam kontrak enhanced oil recovery disebutkan, Pertamina memiliki andil separuh modal usaha, meskipun faktanya mereka tidak menyerahkan duit sama sekali. Artinya jelas, seluruh risiko penambangan minyak ditanggung kontraktor.

Dalam penambangan, kontraktor harus mampu memproduksi minyak di atas batas minimum (primary oil) dalam satu bulan produksi. Batas itu adalah non-shareable oil atau jatah minyak yang tidak bisa dibagi—sepenuhnya milik Pertamina. Bila produksi tak mencapai target tersebut, kekurangannya menjadi utang pada produksi bulan berikutnya. Kecuali bila ada situasi force majeure, misalnya bencana alam.

Hanya kelebihan produksi di atas batas minimal inilah, atau yang disebut incremental oil, yang dibagi. Taksiran pembagiannya kira-kira 65 persen untuk Pertamina, 35 persen untuk kontraktor. Dari jatah Pertamina itulah kemudian muncul uplift, yakni sejenis kompensasi Pertamina pada kontraktor karena sudah memenuhi kewajibannya. Ini kerap juga ditafsirkan sebagai dana talangan risiko dari Pertamina atas risiko kontraktor selama produksi.

Kompensasi ini pun hanya diambil dari perhitungan biaya modal (capital cost) dan biaya non-modal (non-capital cost). Adapun, misalnya, biaya pengembangan produksi tidak diperhitungkan. Kompensasi uplift ini dibayar dalam bentuk minyak. Dengan pembagian yang rumit ini, ditambah risiko penambangan yang berat, amat susah meraih keuntungan.

Menurut praktisi perminyakan, Chaidir Riswan, dengan bentuk kerja sama semacam itu hanya sekitar 20 persen usaha penambangan yang bisa untung. "Uplift itu mungkin saja pendapatan bagi kontraktor yang untung, tapi prakteknya lebih banyak yang buntung," kata Chaidir. Pemajakan atas uplift, menurut Chaidir, harus hati-hati, jangan sampai merusak minat kontraktor melakukan eksplorasi.

Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo mengatakan sedang mempelajari gugatan Seaunion. "Harus dipelajari dulu, karena banyak kasus yang masuk PTUN," kata Hadi kepada Tempo, pekan lalu. Ia menolak berbicara banyak karena mengaku ada sisi kerahasiaan yang harus dijaga oleh Direktorat Jenderal Pajak. Anehnya, menyangkut status uplift sebagai obyek pajak, Hadi tak tegas menjawab. "Sedang kita pelajari," katanya.

Direktur Peraturan Pajak, Herry Sumadjito, mengakui selama ini memberlakukan pajak penghasilan dengan tarif umum pada para kontraktor minyak. Belakangan mereka mencoba melakukan penarikan tarif khusus dalam rangka diversifikasi obyek pajak. "Uplift ini baru (upaya) yang pertama," katanya. Sampai kini, ia mengakui, pihaknya masih terus mempelajari bisa-tidaknya pemajakan atas uplift.

Jika masih dipelajari, kok buru-buru memungut pajak atas uplift? Bukankah pada saat ini peran kontraktor minyak justru dibutuhkan? Pada 2008, target produksi minyak Indonesia dipatok mencapai 1,3 juta barel per hari. Saat ini kapasitas produksi masih di bawah 1 juta barel per hari. "Peluang untuk menggenjot produksi justru ada di lapangan-lapangan tua," kata Chairil. Sayangnya, peminatnya amat sedikit.

Arif A. Kuswardono, Agricelli

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus