Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Elmaut selalu menggelayuti imaji editor tua itu. Sehari-hari pikirannya tertuju pada kematian. Ia berobsesi mengisi lembar sastra yang diasuhnya dengan serial obituari para penulis besar. Ia ingin membuat kontemplasi ajal dengan sebuah siraman rohani. Tapi, apa yang kemudian ia lakukan ketika melihat batok kepala seorang pemuda yang mengirim eulogi tentang tewasnya Fredico Garcia Lorca, penyair Spanyol, pecah di seprai tempat tidurnya, dihajar intel rezim Salazar?
Penonton film Jakarta beruntung menyaksikan Pereira Declares (Sostiene Pereira). Film karya Roberto Faenza ini menunjukkan kepada kita bagaimana seorang yang apolitis mengambil pilihan penuh risiko. Inilah film terakhir aktor gaek Italia, Marcello Mastroianni, sebelum akhir hayatnya. Mastroianni, yang melejit pada tahun 1960-an lewat La Dolce Vita garapan Federico Fellini ini, pada 1995, dikasting sebagai Pereira, redaktur kebudayaan harian Lisboapada zaman rezim Salazar. Sebuah sosok yang diangkat Faenza dari novel Antonio Tabucchi.
Tabucchi adalah pengarang Italia yang memiliki minat pada sejarah politik Portugal. Novelnya Requiem (1990) berkisah tentang pengembaraan roh penyair legendaris Portugal, Fernando Pessoa. Pada 1993, sebagai solidaritas atas terbunuhnya penyair Aljazair, Tahar Djaout, Tabucchi bersama Gunter Grass, Toni Morrison, dan Octavio Paz mendirikan International Parliament Writer. Dan organisasi ini pada Agustus 1999 ikut menyokong referendum Timor Timur. ''Jika militer Yugoslavia harus ditarik dari Kosovo, juga militer Indonesia dari Timor Timur," katanya.
Cerita tentang Pereira adalah sebuah kisah keberpihakan hati kecil seseorang di tengah gebalau politik yang berubah. Kita dilemparkan ke suasana Portugal pada musim panas 1938. Saat itu fasisme merayapi Eropa. Di Portugal, diktator Antonio Salazar mulai tertular. Di situlah Pereira sehari-hari mengabdikan diri pada sastra. Hidupnya tenang. Tapi, di kemudian hari, korannya yang cenderung pro-Salazar itu mulai kena teror, teleponnya mulai disadap, patroli militer hilir-mudik di kota. Puncaknya, sebuah pembunuhan terjadi di depan matanya. Lelaki saleh ini mentestimonikan pembunuhan itu di harian pimpinannya.
Keberhasilan film ini justru karena ia tak tergoda menampilkan klise teror dan penindasan. Sepanjang film kita hanya menyaksikan bagaimana Mastroianni mendemonstrasikan sosok tua yang sakit-sakitan, hidup seorang diri, dan memiliki kebiasaan berbicara dengan foto almarhum istrinya. Ia tahan mengetik di kamar yang sumpek, kusam, penuh tumpukan buku, dan menggerahkan karena kipas angin tak jalan. Tapi justru dari potret kesepian itu, kita dapat merasakan gairah hitam gerak fasisme. Pada akhir kisah, kamera menyorot ia mencukur kumis, menyampirkan jas, dan berjalan tergesa-gesa di antara hilir-mudik pejalan kaki untuk melarikan diri ke Prancis. Kita tahu, tanpa penjelasan, nasibnya berakhir tragis. Testimoni itu sebuah pengorbanan yang kudus.
Agaknya, Faenza menyukai cara penuturan tak langsung. Sebuah film lain adalah The Lost Love (L'amante Perduto). Ini bukan film politik, melainkan percintaan. Tapi kita kemudian berpikir politik karena film ini mengambil seting Yerusalem. Kamera menampilkan suasana Tembok Ratapan sampai Lembah Gaza. Syahdan, suami-istri Yahudi, Adam dan Esya, pindah dari London ke Tel Aviv karena trauma kematian anak laki-lakinya. Esya mencintai Gabriel, seorang Prancis Yahudi, dan begitu mengkhawatirkan ia mengikuti pendidikan militer. Adapun Davi, anak perempuan mereka, menyukai Naim, bocah Palestinayang kakaknya terlibat intifadah. Mereka bagai menemukan cinta yang hilang.
Ada beberapa sindiran tentang pandangan stereotip Israel terhadap Palestina. Misalnya, seorang nenek Yahudi baik hati yang selalu khawatir Naim membawa bom dan selalu menyuruhnya mandi. "Betapapun kita mandi berkali-kali, Yahudi selalu melihat kita kotor," demikian gerutu Naim. Faenza juga tak segan menggambarkan tentara Israel di setiap sudut umum Tel Aviv. Konon, kecondongan Faenza pada Palestina lebih dari novel aslinya (The Lover), yang ditulis sastrawan Israel, Abraham B. Yehoshua. Sebuah film yang mengambil sikap tak selalu heroik dan pretensius.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo