Sebuah festival penting untuk para komponis Asia Pasifik telah berlangsung di Yogyakarta dan Solo pada 2-9 September. Namun, banyak komponis yang tidak mengetahuinya.
Kesalahannya bukan dalam perencanaan, melainkan pada tidak adanya kesinambungan antara rencana dan pelaksanaannya. Tiba-tiba ada kebingungan menghadapi hal-hal yang bukan utama. Dan seperti biasa, masalah dana dijadikan kambing hitam.
Asian Composers' League (ACL), yang berdiri sejak 1973, merupakan kebangkitan kembali harga diri musik Asia Pasifik, sekalipun lembaga ini nonpolitik, nonpemerintah, nonrasial, dan bersifat nonprofit.
Bahwa ACL memercayakan penyelenggaraan konferensi-festival yang ke-20 kepada Asosiasi Komponis Indonesia, dan Direktorat Jenderal Kebudayaan mendukungnya secara maksimal, semua itu sesungguhnya merupakan kesempatan luar biasa bagi peranan musik kita di Asia Pasifik. Apalagi tema yang diajukan Indonesia adalah tema "Maha-Swara", yang niatnya membahas sisi spiritual bunyi, yang selama ini terabaikan, dan mempertanyakan tentang apa yang bisa disumbangkan komponis dalam menghadapi kecenderungan yang semakin menjauhkan manusia dari kemanusiaan. Tema ini merupakan kemajuan yang tidak kecil artinya bagi ACL, yang selama ini hanya berputar-putar di sekitar dikotomi musik Timur-Barat.
Sayang, tema yang begitu penting artinya dalam menyongsong datangnya milenium ketiga ini tenggelam begitu saja karena panitia pelaksananya asyik sendiri dengan pola pikir standar sebagai laiknya di zaman Orde Baru.
Menyediakan hotel mewah dan kit mahal untuk para delegasi lebih dipentingkan daripada menyiapkan buku acara yang tidak hanya memuat acara dan jadwalnya, tapi juga berfungsi sebagai dokumen berharga tentang peta kekuatan musik Indonesia.
Membuat desain cendera mata dalam bentuk notasi musik "kunci-G", seolah-olah ACL itu sekadar kumpulan ABG (anak baru gede), menghias T-shirt dengan gambar Yunani (bukan Asmat, misalnya), dan mencetak folder dengan latar partitur Beethoven (ngapain?) lebih diutamakan, sampai-sampai mencetak ijazah yang menggelikan untuk peserta seminar—karena penerimanya kebanyakan komponis andal.
Sedangkan pemberitahuan kepada para komponis tentang akan adanya peristiwa sepenting itu nyaris tidak ada atau dalam keadaan terburu-buru. Akibatnya, komponis Indonesia sendiri banyak yang tidak tahu-menahu tentang acara tersebut.
Komponis yang masih beruntung misalnya Fahmi Alatas (dengan karyanya untuk klarinet tunggal) dan Dody Satya Eko Gustidiman (komposisinya untuk satu piano lima pemain). Keduanya memenangi Yoshiro Irino Prize, yang selalu mencari komponis muda yang menonjol dari negara penyelenggara Festival ACL. Yasudah, komponis dari Solo, untung berkeras kepala terhadap panitia yang lupa mencantumkan namanya dalam acara, sehingga akhirnya mendapat jatah waktu untuk mementaskan karyanya dengan alat-alat aneh buatannya sendiri dan ternyata menarik perhatian The Japan Federation of Composers, yang langsung mengundangnya berpentas tahun depan di Yokohama.
Keterlibatan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Solo, Gondang Hari pimpinan Irwansyah Harahap, Batavia Madrigal Singers pimpinan Avip Priatna, dan pementasan Kunti Pinilih karya koreografer Elly D. Luthan bersama komponis Subono, juga keterlibatan lain-lainnya yang tidak disebut dalam buku acara, ikut menyelamatkan kita di mata acara ini.
Seribu satu kesulitan yang dihadapi Indonesia mestinya tidak perlu terjadi kalau saja kita mau berendah hati, realistis, dan punya rasa kebersamaan yang tinggi.
Slamet A. Sjukur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini