SAUDARA Baramuli tidak lagi pantas menjabat Ketua Dewan Pertimbangan Agung. Dugaan kuat keterlibatannya dalam kasus Bank Bali mesti diusut tuntas aparat. Begitu kira-kira salah satu bunyi rancangan kesimpulan yang tengah disiapkan Panitia Khusus (Pansus) Penyelidikan Kasus Bank Bali DPR. Menurut Wakil Ketua Pansus, Erwin Syahril, sampai akhir pekan kemarin, rekomendasi itu sudah mendapat dukungan lebih dari setengah jumlah anggotanya.
Jika palu wakil rakyat itu jadi diketuk Rabu pekan ini—batas akhir masa kerja Pansus—mosi itu memang senada dengan opini publik. Mayoritas responden jajak pendapat TEMPO, misalnya, meyakini Ketua Dewan Pertimbangan Agung itu sebagai dalang Baligate. Karena itu, ia mesti segera dipecat. Polling sebuah stasiun radio swasta di Ibu Kota menganugerahinya gelar "orang paling dibenci minggu ini". Jumat kemarin, setelah diperiksa Pansus, pejabat tinggi negara yang mestinya amat terhormat itu bahkan dilempari botol Aqua bekas, puntung rokok, plus umpatan, "Maling duit rakyat!"
Tapi, namanya juga Baramuli, ia tetap bergeming. Di depan sidang Pansus, mantan anggota DPR (selama 20 tahun) kelahiran Pinrang, Sulawesi Selatan, ini masih coba-coba menunjukkan superioritasnya. Sapaan "Saudara Baramuli" yang digunakan oleh anggota dewan dibalasnya dengan panggilan "Adik-Adik". Setelah itu, di hadapan wartawan, ia malah mengobral gertak. Ia berkoar-koar agar seluruh bangsa menghancurkan Kwik Kian Gie, tokoh PDI Perjuangan yang gencar membongkar Baligate—karena ia tuding telah memolitikkan kasus Bank Bali.
Padahal, bukti demi bukti keterlibatannya terus berhamburan. Pansus, kata Erwin, sudah menggenggam sejumlah dokumen dan kesaksian soal sepak terjang Bung Naldi—demikian Baramuli dipanggil—dalam skandal yang diduga juga melibatkan kalangan dekat istana kepresidenan ini. "Yang paling parah adalah soal penyalahgunaan kekuasaan," kata Erwin. Pendapat yang sama diutarakan Thomas Suyatno, anggota Pansus. "Baramuli sudah mengintervensi kebijakan perbankan," katanya.
Bukti paling telak yang sudah dikantongi Pansus adalah surat Naldi kepada Presiden Habibie tertanggal 25 Januari 1999. Isinya tak hanya menunjukkan betapa berkuasanya dia, tapi sekaligus membongkar kegemarannya mengintervensi isi perut lembaga lain—yang sama sekali bukan kewenangannya. Surat itu bahkan berbentuk surat pribadi bercap Baramuli, tidak dibuat di atas kop DPA, tapi isinya merambah jauh ke wilayah eksekutif.
Coba saja lihat. Melalui surat itu, ia dengan lantang mengusulkan pergeseran dua jabatan penting dan "basah" di lingkungan Departemen Keuangan, lengkap dengan nama penggantinya. Yang dibidik adalah Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Glenn Yusuf dan Direktur Jenderal Pajak Anshari Ritonga (dalam surat tertulis "Jajuli"), yang dinilainya tidak bersih. Pertimbangannya tak jauh-jauh dari seputar urusan fulus. Disebut-sebut soal kredit macet senilai Rp 160 triliun yang kini dikelola BPPN dan sekitar Rp 70 triliun penghasilan pajak yang ditangani Direktorat Jenderal Pajak.
Pentolan kaukus Iramasuka Nusantara—mesin suara Golkar di kawasan timur Republik—ini mengusulkan figur yang dinilainya "bersih dan jujur" sebagai pengganti, yaitu Wakil Ketua BPPN Pande Lubis dan Direktur Pemeriksaan Pajak Djazoeli Sadhani. Padahal, sebagaimana terungkap kemudian dalam hasil audit PricewaterhouseCoopers (PwC), Pande justru terbukti menjadi salah satu operator kunci dalam mengegolkan pencairan klaim si Jempol—logo khas Bank Bali. "Pande itu jelas kaki tangan Baramuli," Thomas menegaskan.
Surat itu ditutup dengan kalimat bernada instruksi. "Agar supaya penggantian pejabat ini dapat direalisir secepatnya," tulis Baramuli. Keaslian surat itu diakui Baramuli. Toh, ia berdalih, "Isi surat itu adalah bagian dari tugas sebagai Ketua DPA untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden." Cuma, Naldi mungkin agak hilang ingatan kalau surat itu tidak ditekennya sebagai Ketua DPA.
Karena itulah baik Erwin maupun Thomas terang-terangan menyimpulkan ambisi Baramuli dan kelompoknya untuk mengangkangi semua potensi ekonomi nasional. "Sekarang ini, BUMN kan sudah berada di bawah kendali jaringannya," kata Thomas kepada TEMPO. Artinya, ditambah kontrol atas pajak dan kredit macet, lengkap sudah cengkeraman komplotan itu pada pundi-pundi nasional.
Di mata Erwin, surat itu juga merupakan langkah awal dari sepak terjang Baramuli selanjutnya dalam Baligate. Naldi menekennya hanya dua minggu sebelum pertemuan di lantai 40 Hotel Mulia pada 11 Februari. Sebagaimana dilukiskan Catatan Penting Rudy Ramli, di saat itulah Naldi mengatur-atur Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin untuk memuluskan tagihan Bank Bali. Ihwal pertemuan ini—bak kor—ramai-ramai disangkal para aktor. Firman Soetjahja, bekas Wakil Direktur Utama Bank Bali, ikut pula membantah.
Tapi Thomas menyatakan Baramuli tak akan bisa berkelit. Data autentik kehadirannya dalam pertemuan itu sudah ada di tangan mereka. Rapat dengar pendapat dengan Komisi VIII DPR, Senin pekan lalu, juga telak-telak menelanjangi perselingkuhan Baramuli dan Pande. Saat itu, Menteri Keuangan Bambang Subianto mengaku mendapat "tekanan" dari Baramuli untuk memecat Glenn dan menggantinya dengan Pande. Hal ini juga dikonfirmasikan dokumen audit PwC. Baramuli masih saja berkilah. Dengan entengnya ia bilang saat itu cuma menanyakan kebenaran kabar rencana pemecatan Glenn.
Berbagai fakta yang terungkap kemudian justru makin menebalkan garis hubung manuver Baramuli dengan istana. Salah satunya, misalnya, datang dari pengakuan Glenn dalam dengar pendapat itu. Ketua BPPN itu membongkar sebuah pertemuan penting di Sekretariat Negara, 30 Juli lalu. Glenn hadir atas undangan Menteri-Sekretaris Negara Muladi. Saat itu, Baramuli terang-terangan mengajaknya "main mata" dalam pertemuan yang rupanya merupakan rangkaian rapat Tim Sukses itu (lihat Jejak Konspirasi Tim Sukses).
Dari Senayan, berbagai temuan masih terus muncul. Adalah Menteri Bambang yang kembali membuat pengakuan dalam salah satu sidang tertutup Pansus. Kali ini, soalnya menyangkut pertemuan di Patra Kuningan—kediaman Habibie—pada 16 Agustus silam. Rapat yang berlangsung sejak pukul 19.00 itu dihadiri Bambang, Tanri, Muladi, dan Syahril Sabirin. Agendanya soal pengembalian dana jarahan Bank Bali. Saat itu, menurut kesaksian Bambang, ia mendengar sendiri laporan Tanri kepada Habibie bahwa seluruh transfer balik dana si Jempol akan dituntaskan dua hari kemudian, 18 Agustus. Menurut seorang petinggi Golkar, yang dilaporkan Tanri itu tak lain dana sejumlah Rp 200 miliar yang sempat mengelontor masuk ke kas Tim Sukses.
Saat dicecar anggota Pansus, Tanri dan Syahril, yang semula mati-matian menyangkal telah menghadiri pertemuan itu, akhirnya mengaku juga. Tanri tetap membantah membicarakan soal transfer dana. Tapi dari mulut Syahril malah meluncur sebuah pengakuan menarik. Perintah pengembalian dana si Jempol ternyata datang langsung dari sang RI Satu: Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie.
Ini bisa bermakna gawat. Bisa saja pengakuan ini mengindikasikan keterlibatan Habibie dan tim suksesnya, setidaknya confirmed bahwa duit sempat nyelonong mampir ke kas Tim Sukses Beringin. Jika pernyataan ini benar adanya, Baramuli lagi-lagi terbukti berbohong. Sebelumnya, dengan gagah ia menyatakan telah menasihati Setya Novanto untuk mengembalikan dana Rp 546 miliar itu.
Yang juga telak adalah ketersangkutan Baramuli dengan PT Indowood Rimba Pratama. Perusahaan kayu lapis milik Kim Johanes Mulia ini, menurut hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan, terbukti menerima transfer sejumlah Rp 5 miliar melalui Bank BNI Cabang Rasuna Said dari rekening bos Grup Mulia, Joko Soegiarto Tjandra, si raja perkantoran.
Dalam sidang Pansus pada Kamis kemarin, Kim, pengusaha yang kerap punya urusan dengan bisnis ilegal itu, terang-terangan mengakui bahwa Indowood adalah perusahaan hasil kongsinya bersama Baramuli. "Saudara Kim Johanes Mulia memiliki saham mayoritas bersama Bapak A.A. Baramuli di beberapa perusahaan, antara lain Poleko Group dan Indowood," demikian bunyi kesimpulan rapat Pansus itu.
Lalu, kurang apa lagi? Segunung bukti, sejumlah kesaksian, dan serunya saling tuding para aktor cuma menunjuk ke satu arah: lingkaran kekuasaan. Tapi, dihadapkan dengan segepok indikasi kuat ini, para pejabat dan politisi yang terlibat makin tampak seperti badut politik yang sedang lintang-pukang menyembunyikan hidungnya. Setelah mosi diketuk DPR, babak berikutnya ada di tangan aparat penyidik dan peradilan. Vonis mesti dijatuhkan, tanpa pandang bulu.
Karaniya Dharmasaputra, Wens Manggut, Arief Kuswardono, Mustafa Ismail, Agus Hidayat, Rubi Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini