Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kisah Sang Penguasa dan Pengusaha

Hubungan Kim Johanes Mulia dan A.A. Baramuli sudah berlangsung lama. Tidak aneh kalau dalam kasus Bank Bali mereka begitu kompak.

19 September 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BINTANG Baligate'' pekan ini adalah duet Kim Johanes Mulia dan Baramuli. Seorang pengusaha dan seorang pejabat senior. Yang satu berwajah kelimis, putih, dan dengan tutur kata yang santun. Yang lain pejabat senior, tokoh Golkar, Ketua DPA yang dikenal suka bicara sekenanya. Responden jajak pendapat TEMPO bahkan menuding sang pejabat sebagai "aktor intelektual" Baligate. Nama keduanya mencuat dari skandal Bank Bali setelah Rudy Ramli di hadapan Panitia Khusus penyelidikan kasus itu di DPR, pekan lalu, membuka peran Kim dan Baramuli. Kim, yang bernama asli Jiauw Kim Seng, "membantu" Rudy menyempurnakan surat bantahan yang sudah dikonsep pengacara Rudy, Adnan Buyung Nasution. Sedangkan Baramuli adalah orang yang mengantar "surat gelap" itu ke Presiden Habibie setelah sebelumnya dikirim Kim melalui seorang pesuruh. Baik Kim maupun Baramuli kepada DPR pekan lalu mengakui bahwa mereka telah saling mengenal sebelumnya. Perkenalan keduanya berawal ketika kasus Kanindotex pecah pada 1994. Ketika itu Kim terjerat kasus ekspor fiktif—dari kredit murah yang dikucurkan pemerintah untuk tujuan membantu meningkatkan ekspor. Dengan me-mark up volume produk tekstil ekspornya, Kim melalui perusahaannya, PT Detta Marine, berhasil menangguk uang negara US$ 84,5 juta atau sekitar Rp 175 miliar, dengan bunga super-ringan 3,5 persen. Untuk melicinkan jalan sulap-sulapan ekspor fiktif itu, Kim bekerja sama dengan Robby Tjahjadi, pemilik Kanindotex. Adalah perusahaan tekstil itulah yang menyediakan tekstil yang dipakai Kim untuk ekspor "pura-pura" tersebut. Menurut bekas anggota DPR asal Golkar, Bambang Warih Koesoema, Kim juga punya andil saham di Kanindotex melalui PT Mayatex Dian—perusahaan yang menjadi cikal-bakal Kanindotex. Robby sendiri pada saat yang sama sedang ketanggor kredit macet segede gajah. Menurut Bambang Warih ketika itu, utang Robby mencapai Rp 1,5 triliun. Tapi angka itu dikoreksi Robby menjadi hanya Rp 480 miliar. Nah, ketika masalah kredit macet itu dibesarkan oleh Bambang Warih di DPR, Baramuli, yang ketika itu juga anggota DPR asal Golkar, memberi perlindungan kepada Robby. "Saya melihat, kalau Roby diisukan terus, bisnisnya bisa macet," kata Baramuli ketika Robby melakukan dengar pendapat dengan DPR. Menurut Bambang Warih, bahkan rencana mengundang Robby ke DPR ketika itu pun diatur oleh Baramuli. "Saya berkali-kali dipanggil Baramuli. Dia mencoba menjelaskan bahwa dalam kasus Kanindotex itu Robby tidak bersalah. Tentu saja saya tidak menggubrisnya," kata Bambang. Rupanya, dalam kasus Kanindo dan eksport fiktif inilah Kim diperkenalkan Robby kepada Baramuli. Tidak terlalu jelas apakah Naldi—begitu Baramuli biasa disapa—mendapat bagian fulus. Tapi yang pasti kemesraan antara keduanya berlanjut terus setelah kasus ini redup. Keduanya, misalnya, berkongsi dalam PT Indowood Prima Pratama, perusahaan yang bergerak dalam industri kayu lapis. Perusahaan itulah yang mendapat cipratan dana Bank Bali Rp 5 miliar. Baramuli membantah bahwa ia punya andil di situ. Tapi Kim Johanes dalam penjelasannya kepada Pansus DPR, pekan lalu, justru membenarkan. Bukti ke arah keterlibatan Baramuli di perusahaan itu memang sudah di depan mata. Seorang sumber TEMPO yang dekat dengan Kim menyebutkan bahwa dalam rapat internal PT Indowood pada 14 Juli 1999 di Desa Marina, Jalan Raya Bogor, Edy Baramuli, komisaris dan wakil keluarga Baramuli di Indowood, ternyata hadir. Lalu, dalam pertemuan pada 5 Juli 1999 di Pulau Obi, Maluku, untuk survei kehutanan di sana, Edy juga hadir. Artinya, sulit dipercaya kalau Baramuli mengaku tidak punya apa-apa di Indowood. Adalah Kim juga yang menyelamatkan beberapa perusahaan Baramuli di bawah bendera Grup Poleko ketika perusahaan itu sekarat didera kredit macet. Kim sendiri kepada TEMPO mengaku memang membeli beberapa perusahaan Baramuli. Sayang, ia tidak mau merinci perusahaan apa saja yang diambilnya. Tapi Baramuli tampaknya memang ingin menghapus semua kenangan—juga ingatannya—kepada Kim. "Barangkali sudah satu tahun saya tidak lihat manusia itu. (Saat ini) tidak ada Cina boleh masuk ke rumah saya," kata Baramuli kepada Rubi Kurniawan dari TEMPO. Naldi tentu saja tidak sedang membenci Kim. Ia cuma ingin melupakannya. Untuk sementara waktu, setidaknya sampai ia benar-benar selamat dari jerat kasus Baligate ini. Arif Zulkifli, Setiyardi, Agus S.R., Wens Manggut

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus