BERBEDAKAH "seni rupa Asia"? Seorang kritikus Jepang terkemuka, Hideki Nakamura, menjawab "ya". Dan dengan itu, disertai sebuah argumen yang layak direnungkan, ia mengantarkan pameran Seni Rupa Baru Asia Tenggara 1992, yang dalam bulan ini dibuka di Museum Seni Rupa Fukuoka, Jepang -- sebuah peristiwa yang jarang terjadi di Asia Tenggara sendiri. Seni rupa Asia Tenggara ditampilkan tentu saja karena ini termasuk dalam acara Festival Kesenian ASEAN, yang berlang sung di lima kota di Jepang. Ada 17 pelukis -- tiga di antaranya dari Indonesia -- yang dipilih karyanya untuk dipasang. Hampir separuh adalah "instalasi" yang tiga dimensional, menjangkau ruang, terbebas dari kanvas. Dari sini tampaknya tesis Hideki Nakamura tentang ciri "Asia" mendapatkan dukungannya. Berbeda dengan ciri seni rupa modern Eropa, kata Nakamura, seni rupa Asia umumnya seperti dalam ruang yang tak berbentuk dan tak berbatas, tanpa sebuah sentrum yang menetap. Seni rupa Eropa modern, sebaliknya, berdasarkan premis bahwa sebuah karya membentuk suatu sistem yang jelas, tak terdorong ke sana-kemari, yang tersusun di sekeliling sebuah unsur sentral, dari mana ia mencoba membebaskan diri. Entah, sejauh mana Nakamura melihat ciri Eropa itu sebagai ekspresi lain dari pemikiran Eropa yang, seperti dikatakan oleh kaum "postmodernis", bersifat "logosentris". Juga kurang jelas, berdasarkan apa tesis Nakamura tentang ciri seni rupa Asia itu. Mungkin karena lukisan tradisional di Bali, Cina, dan Jepang menunjukkan tak adanya suatu pusat yang tetap, dan ruang di sana cenderung menjangkau yang tak terbatas: alam makro, bagi para pelukis tradisional, lebih terasa kuasanya, dan sentrum realitas tak pernah ditentukan bahkan oleh pelukisnya sendiri. Namun saya tak melihat apa yang dilihat oleh Nakamura sebagai "bahaya" dalam ciri Asia itu: adanya perasaan terserak-serak dan bahkan stagnasi, juga kurangnya ketegangan dan dinamisme. Toh Nakamura melihat, dalam generasi pelukis Asia Tenggara yang karya-karyanya selama dua pekan dipamerkan di Fukuoka ini, "bahaya" itu bisa diatasi. Dalam pengamatan Nakamura, karya mereka menghancurkan ancaman stagnasi itu dari dalam, seraya menciptakan suatu situasi dinamis. Meskipun tak semuanya begitu. Karya Supachai Satsara, 24 tahun, dari Muangthai, On The Road To 'NICS' (1991), tak mengesankan sebagai sesuatu yang melepaskan diri dari stagnasi. Idenya dengan segera mudah ditangkap, sebab sebuah klise: kritik kepada proses industrialisasi yang tak manusiawi. Simbolsimbolnya (sepeda sebagai "perjalanan", barang bekas sebagai "pencemaran") tak pula segar, dan jika ada kekuatan dari karya ini adalah semangatnya sebagai kritik sosial. Kritik sosial bahkan sebenarnya lebih dominan sebagai ciri pameran ini. Paling menonjol ialah karya Tan Chin Kuan, 26 tahun, dari Malaysia, Tragic of Blue Night (1991): kanvas, papan, kain, yang dilukis dengan akrilik, sebuah lukisan 3 x 4 meter, ditambah dengan "kaki": suasana sosial-politik Malaysia digambarkan di sana. Kelebihan karya Tan Chin Kuan ini ialah bahwa ia menunjukkan energi, yang muncrat dalam kemarahan dan keberanian, dalam goresan kuas yang kasar, kaku, primitif, dengan warna biru yang dominan. Nada kritik sosial juga bisa didapatkan dalam karya Zulkifli B. Yusoff, 36 tahun, dari Malaysia: Power (1991) menghadirkan sebuah kursi yang dihadap dan dikelilingi oleh perabot-perabot ruwet kekuasaan. Yang menarik dari karya Zulkifli, dan sebagaimana dari karya dua pelukis Indonesia dalam pameran ini, yakni Dadang Christanto dan Heri Dono, ialah bahwa komentar sosial itu menunjukkan karakteristik yang dikemukakan Nakamura sebagai kelanjutan ciri Asia: dalam karya-karya itu, akumulasi renik-renik detail diperbanyak dan diduplikasi, tanpa dibatasi oleh suatu keseluruhan yang utuh. Kesan yang timbul ialah bahwa karya itu tak pernah selesai. "Keseluruhan itu merupakan keseluruhan sementara," kata Nakamura. Detail yang diduplikasi tampak dalam karya Dadang Christanto, 35 tahun, yang pernah belajar di Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Yogya: Bola Golf dan Birokrasi. Bola Golf (1991) membentang di tembok, berupa tempelan kayu yang memakai unsur dua dimensional wayang, dan kanvas yang melukiskan rakyat yang digusur oleh raksasa ketamakan. Birokrasi (199192) menampilkan rautan kayu berupa sederet wajah yang menjilat ramai-ramai. Dadang secara sadar meng gunakan tradisi, tanpa terjebak dalam stagnasi. Persoalannya ialah, kritik sosialnya "wantah", belum masak, dan berbeda dengan sifat "mentah" karya Tan Chin Kuan, protes Dadang terasa manis. Dalam hal itu ia lebih mendekati Zulkifli: ada kekuatan teknik, tapi gregetnya agak artifisial. Karya Heri Dono, 32 tahun, Wayang Legenda (1988), lebih mempunyai passi, humor, orisinalitas, bukan saja teknik. Instalasi ini, berupa layar dengan sejumlah besar wayang yang grotesk, merupakan salah satu karya terkuat dalam pameran. Heri Dono juga tampil dengan Badman (1991), boneka-boneka yang digantung, dua Hoping to Hear from You Soon (1992). Yang terakhir ini, dengan menggunakan proyektor video, kanvas, sosok, dengan humor dan ironi, mengambil adegan dari hidup tepi jalan seharihari: dua siluet orang di balik tenda warung kaki lima malam hari. Dari karya-karya itu, memang terasa: tendensi dalam seni rupa Asia Tenggara ialah kemelimpahruahan. Kontrol serta keseimbangan bisa-bisa seperti tak perlu. Kontrol dan keseimbangan umumnya memang dijadikan ciri karya klasik, dan orang bisa menampiknya. Tapi selama kesenian adalah usaha menghayati realitas (atau ilusi tentang realitas) secara lebih intens, kita membutuhkan sesuatu yang intensif, tak cuma ekstensif. Nakamura menganjurkan agar para pelukis Asia Tenggara menengok ke gerakan minimalis. Di sini Nakamura agaknya kembali ke suatu hal yang Jepang, di mana kekosongan, ketiadaan ornamen, dataran yang monokromatis, merupakan cerminan kematangan, disiplin, dan juga intensitas dalam seni, teater, dan arsitektur mereka. Tetapi benarkah "konsolidasi" dan "kondensasi" diperlukan sebagai proses kearah matangnya ucapan keindahan? Betulkah dibutuhkan kontrol dan keseimbangan? Kontrol dan keseimbangan umumnya memang dijadikan ciri karya klasik, dan orang bisa menampiknya. Tapi selama kesenian adalah usaha menghayati relitas (atau ilusi tentang realitas) secara lebih intens, kita membutuhkan sesewatu yang intensif, tak cuma ekstensif, dan rasanya -- betapapun Nakamura meletakan ciri Eropa sebagai model -- ada benarnya mengharapkan para pelukis Asia Tenggara melihat alternatif lain setelah kemelimpahruahan. Bukan kebetulan bila Nakamura memuji karya Teguh Ostenrik, 42 tahun, pelukis Indonesia lulusan sekolah tinggi seni rupa Hochschule der Kunste, Berlin. "Karyakarya Teguh Ostenrik terakhir telah mencapai tingkat lukisan yang dengan jelas membentuk suatu keseluruhan yang padu," tulis Nakamura. Memang, dengan demikian karya itu tidak sepenuhnya berciri Asia, seperti yang dimaksudkan Nakamura. Tetapi, seperti tampak dalam The Shadow of Eagle (1991), kanvas yang dikuasai biru gelap, kematangan, dan intensitas masih bisa bergabung dengan tendensi kemelimpah-ruahan. Tenaga yang sama tampak dalam karya-karya dari Filipina. Pertautan dengan Eropa di negeri itu lebih mendalam ketimbang di wilayah Asia Tenggara lain, dan suasana kebebasan imajinatif sudah lama tertanam. Hasilnya mengesankan. Karya Edson Armenta, 43 tahun, "Mandaragit No. 1", semacam patung bambu dan kayu, menampikan kekuatan teknik, inspirasi, dan juga memadukan kesadaran akan kesatuan dan kekayaan detail. Instalasi Roberto G. Villanueva, 45 tahun, "Dreamweaver",(1991), dari bambu dan kayu, yang cuma diwakili dengan foto (karena harus diletakkan di luar ruang), sekaligus sederhana, puitis tetapi imajinatif. Maka kemudian soalnya: perlu benarkah ciri Asia atau tidak? Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini