USAI makan jauh malam di lesehan Malioboro, mendadak seorang kawan menabrak saya dengan pertanyaan: "Mas, ini ada kasus pembebasan tanah yang tidak fair. Tolong sampeyan laporkan ke pimpinan Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama!" "Lho kok ke NU atau Muhammadiyah?" saya balik bertanya. "Lho ke mana? Ke HMI? PMII? IMM? Takmir dan Remaja Masjid? Unit Kerohanian Kampus? Pesantren?" "Kasus tanah ada petugasnya sendiri!" "Ke Pak Camat atau Kodim?" tanyanya lagi. "Ya, tidak tahu. Pokoknya urusan Muhammadiyah dan NU itu lain. Wong organisasi keagamaan kok disuruh mengurusi tanah." "Kalau agama tidak mengurusi tanah dan kelakuan manusia atas tanah, lantas siapa khalifah Allah di bidang tanah dan manusia? Lantas apa yang diurusi oleh agama?" "Ya, mengurusi fikih, iman, takwa, membangun mesjid,...." "Masjid dibangun terus, manusianya tidak." Ia meledek. "Masjid dipel, dielus-elus, perilaku manusianya tidak. Quran dilomba-lombakan bacaannya, tapi kalau dilaksanakan, diwaspadai." "Siapa bilang?" bantah saya tak kalah keras. "Buktinya, organisasi keagamaan diam saja terhadap korupsi, penindasan, fasisme, penyelewengan hukum, dan sangat banyak kebrengsekan manusia." Aduh dungunya ini orang! "Ini dunia modern, Bung!" saya hampir membentak. "Ada pembagian kerja. Ada penataan tugas-tugas. Ada distribusi kepemimpinan. Ada pilah-pilah manajemen. Organisasi keagamaan bukan gerakan politik, sehingga tak harus mengurusi penindasan dan fasisme. NU dan Muhammadiyah bukan lembaga hukum negara, sehingga jangan ikut campur masalah korupsi. Ada jatahnya sendiri-sendiri." "Lalu, jatah tugas organisasi keagamaan itu apa?" "Ya, masalah agama." "Masalah agama itu apa?" "Pokoknya yang bukan halhal yang sudah diurus negara, wakil rakyat, politisi, kaum intelektual, dokter, insinyur, pemborong, bank, perusahaan, koran, televisi, seniman, rentenir, perampok, pemulung, penggusur, dan lain sebagainya." "Kalau ada orang kelaparan, termasuk urusan NU dan Muhammadiyah atau tidak?" tanyanya lagi. "Kan sudah ada Dinas Sosial dan dermawan. Lagi pula apa urusan saya sehingga Anda membawa soalsoal ini kepada saya?" "Lho! Apa Anda bukan manusia? Dan lagi, kalau orang terbelit utang, apa tidak layak kalau mengeluh kepada Majlis Syuriah, Majlis Tanfidziyah, Majlis Tarjih, Majlis Tabligh, atau khususnya Majlis Ekonomi NU dan Muhammadiyah?" Ya Rabbi ya Karim, Ya Rahman ya Rahim! -- Naif dan bodoh. Sungguh naif, bodoh, tolol, pengung .... "Kalau ada orang dicurangi dalam kasus politik," lanjut nya, dan air ludahnya terus muncrat, "kalau ada orang ditidakadili dalam kasus ekonomi, kalau ada orang disihir dalam kasus kebudayaan, kalau ada orang digencet mafia hukum, kalau ada orang kesepian, sakit keras, butuh modal, disiksa keadaan menganggur, apakah mereka tidak pantas untuk mengeluh kepada para pengurus organisasi keagamaan? Alangkah eksklusif dan sadistisnya Tuhan kalau menurunkan agama tidak untuk mengasuh manusia dalam berbagai jenis penderitaan semacam itu?" Masyaallah. Hampir saja saya lontarkan sihir agar suara si bangsat ini melorot ke bawah bokongnya. "He, Bung!" kata saya melotot, "Anda pernah makan sekolahan atau tidak? Atau sekolah Anda dulu mbayar jagung, ya? Apa tidak pernah punya guru atau kenalan yang tidak terlalu goblok sehingga bisa mengajari Anda untuk membedakan antara persoalan agama dan negara, politik, hukum, perekonomian, tanah, kesenian, klenik, dan jidat sampeyan itu? Membedakan antara urusan gubernur, pangdam, kapolsek, kejaksaan, dan ulama?" Teman saya itu mendadak tertawa cekikikan sambil berkata, "Guru saya hanya menunjukkan bahwa yang kita miliki memang hanya Majlis Ulama, bukan Majlis Umat. Hanya Nahdlatul Ulama, bukan Nahdlatul Ummah. Hanya perhimpunan ulama, bukan perhimpunan umat. Pusat kepentingan ada pada ulama, bukan pada umat."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini