HARI-hari ini suhu udara di Mesir melejit sampai 43C. Tetapi bukan hanya karena itu Presiden Hosni Mubarak merasa gerah. Setelah enam tahun berkuasa, bekas panglima angkatan udara yang dilantik menjadi presiden pada 6 Oktober 1981 ini tampak gelisah menghadapi perangai rakyatnya sendiri. Terutama berkaitan dengan referendum Senin pekan ini, yang akan menentukan kepemimpinan masa enam tahun berikutnya. Hampir separuh dari 14 juta pemilih lebih suka tinggal di rumah ketimbang merubung kotak suara. Inilah pangkal soalnya. Apatisme, seperti terjadi pada pemilihan parlemen April lalu, -- hanya diikuti 50% pemilih sungguh menghantui Mubarak. Sampai-sampai dalam pidato di televisi ia mengimbau warga Mesir, "Datanglah ke kotak suara, pilihlah ya atau tidak. Pokoknya, pilih." Mubarak, 59 tahun, sudah tak bisa menyembunyikan rasa waswasnya -- suatu hal yang mestinya tak perlu, karena ia calon tunggal untuk kursi presiden. Toh sejak sebulan lalu, pemerintah menggebu-gebu membangkitkan gairah para pemilih. Kampanye dilakukan melalui rapat umum, poster-poster dan slogan, berikut sebuah deklarasi berbunyi Nabha Mubaraq (Kami Menghendaki Mubarak), yang dikumandangkan organisasi buruh, petani, dan pekerja profesional. Dalam pidato di televisi, Mubarak menuduh kekuatan-kekuatan asing berusaha menciptakan suasana ketidakpercayaan atas demokrasi di negeri ini. Tampaknya, ia perlu kambing hitam. Mungkin Mubarak marah rakyat tidak peduli. Ia tampaknya tidak mengira bahwa yang dibutuhkan adalah pemilu bebas rahasia, bukan referendum yang sudah direncanakan hasil akhirnya. Toh siapa pun tahu bahwa yang akan dilantik tanggal 12 bulan ini adalah Mubarak sendiri. Sesudah itu tidak akan ada perombakan kabinet -- ini sudah diisyaratkan Mubarak. Perdana Menteri Atef Sedki diharapkan akan tetap pada posisinya, selebihnya datar tanpa riak. Kecuali partai terlarang Persaudaraan Muslim, yang orang-orangnya pada pemilu April lalu memenangkan 60 dari 100 kursi oposisi (bagian dari 458 anggota parlemen). Atau kenyataan bahwa Mendagri Zaki Badr bersikap keras terhadap kelompok sempalan. Contohnya, seseorang yang diduga pentolan dari kelompok Survivors of Hell telah ditembak mati dan pengikutnya disekap. Di samping subversi, masalah lebih besar yang harus dihadapi Mubarak adalah krisis ekonomi. Laju pertumbuhan 12 bulan terakhir (sampai Juni) hanya2%, tidak lagi 5% seperti pada 1985. Sementara pertambahan penduduknya yang kini sudah melampaui 50 juta - 3% per tahun. Mei lalu Mubarak menggedor IMF, sehingga Mesir dibolehkan menunda pembayaran sebagian utang luar negerinya, yang berjumlah US$ 40 milyar. Imbalannya, antara lain berupa devaluasi pound Mesir, sudah dilaksanakan -- tanpa jelas berapa persen, dalam suasana nilai tukar yang semrawut. Dan kini beban itu kian bertambah dengan pembangunan jalur kereta bawah tanah (lihat Metro Karo). Yang hampir bisa dipastikan, Mubarak tidak akan menarik subsidi untuk BBM, roti, atau sewa listrik -- satu tindakan yang kalau dilakukan bisa memancing keresahan sosial. Subsidi itu sendiri adalah salah satu penyebab defisit yang 5,6 milyar pound Mesir (US$ 2,5 milyar). Suka atau tidak Mesir berada di tepi jurang krisis ekonomi, satu hal yang menurut Persaudaraan Muslim hanya bisa dihadapi asalkan pemerintah memberlakukan syariat Islam di seluruh negeri. Usul itu tidak segera dijawab Mubarak. Ia mencoba meredam suara-suara mereka dengan mencabut serial film Dallas di televisi dan melarang penyuguhan alkohol di atas pesawat Egypt Air. Mohamad Cholid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini