Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Iwan Fals belakangan menekuni olahraga bela diri karate.
Musikus ini konsisten melontarkan kritik lewat lagu-lagunya.
Iwan Fals terus berkarya dan menciptakan lagu hingga sekarang.
LIMA belas menit sebelum latihan rutin dimulai, Virgiawan Liestanto sudah bersiap di sudut dojo karate yang berada di pekarangan rumahnya. Laki-laki 61 tahun yang lebih tenar dengan nama Iwan Fals ini sudah mengenakan karategi—baju karateka—lengkap dengan sabuk hitam yang terikat pada pinggangnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak lama berselang, anak-anak dari berbagai usia mulai datang. Sebagian besar dari mereka masih bersabuk putih atau tingkat pemula. Sebagai pembuka, para karateka berlari mengitari gelanggang latihan. Kemudian beberapa gerakan dilakukan sebagai bentuk peregangan tubuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah itu, mereka membuat barisan di tengah gelanggang. Dari sudut, Iwan berjalan dan berdiri di depan mereka. Dia kemudian membungkukkan badan sebagai tanda penghormatan. Gerakan itu diikuti para peserta latihan. Sore itu, sang musikus dan para karateka lain menghabiskan waktu dengan berbagai macam gerakan dan tubuh yang berkeringat.
Saat berbincang dengan Tempo sekitar satu jam sebelum latihan, Iwan menunjuk sebuah bingkai bertulisan "20 Filosofi Karate Gichin Funakoshi" yang terpasang di dinding gelanggang. "Itu, yang nomor 11, karate seperti air mendidih. Jika kamu tidak memanaskannya secara teratur, ia akan menjadi dingin,” katanya di rumahnya di Jalan Raya Leuwinanggung Nomor 19, Leuwinanggung, Kecamatan Tapos, Depok, Jawa Barat, Selasa, 21 Maret lalu.
Iwan Fals bersama murid-muridnya dalam sesi latihan karate di Leuwinanggung, Tapos, Depok, Jawa Barat, 21 Maret 2023. Tempo/Hilman Fathurrahman W
Sore itu, kebanyakan yang berlatih karate di rumah Iwan adalah karyawan PT Tiga Rambu—perusahaan yang ia dirikan dan bergerak di bidang hiburan. Ada juga warga sekitar rumah Iwan. Latihan digelar seminggu dua kali, yakni Selasa dan Jumat, mulai pukul 16.00 sampai 18.00.
Menurut Iwan, latihan rutin karate itu menjadi ajang silaturahmi. Iwan mengatakan setiap peserta mempunyai porsi masing-masing sesuai dengan tingkatan sabuk. Misalnya peserta bersabuk putih wajib mengetahui teknik dasar karate, yaitu kata atau jurus. "Itu wajib tahu. Yang kuning tambah satu lagi, yang hijau satu lagi,” ujarnya. Namun, Iwan menambahkan, yang paling penting dalam latihan adalah gerak. "Targetnya kesehatan, buat cari keringat.”
Sejak kecil pria yang lahir di Jakarta pada 3 September 1961 ini memang menaruh minat pada olahraga, khususnya bela diri karate. Kedua orang tuanya pun memberikan dukungan penuh. Ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar, ibunya selalu mendorongnya untuk mengikuti berbagai macam kejuaraan.
Tidak hanya didukung orang tua, hobinya berolahraga bela diri itu tak lepas dari kegemarannya membaca komik silat. Iwan kecil menikmati beragam komik silat, dari karya Asmaraman Sukowati atau Kho Ping Hoo hingga Si Buta dari Gua Hantu karya Ganes T.H. "Ya, tiba-tiba begitu saja. Akhirnya mentok-mentok karate," tuturnya.
Bagi Iwan, karate adalah kesadaran tubuh untuk bergerak setiap hari. Karena bukan atlet profesional, Iwan memaknai filosofi karate sebagai laku sehari-hari dan merefleksikannya untuk melatih kepribadian hingga kejujuran.
Iwan juga mempraktikkan laku karate kepada murid-murid yang berlatih bersama. "Kemudian kewajiban saya sebagai rokudan ya saya penuhi juga. Kasihan murid-murid kalau kita tidak bisa kasih contoh. Terutama soal penguasaan diri, kepribadian, kejujuran. Masing-masing tafsirnya macam-macam, lah."
Rutinitas di dunia hiburan dengan waktu yang tidak menentu mengharuskan Iwan merawat tubuhnya. Pada titik ini, karate menjadi semacam ruang bagi dia untuk melakukan gerak-gerak sebagai proses penyadaran tubuh. "Kalau badan mulai capek, pegal-pegal, saya tahu gerak, ya, saya gerak sendiri,” ujarnya.
Apalagi, Iwan menambahkan, rutinitasnya dalam dunia entertaimen tidak pasti seperti orang kantoran. “Jika tidak mempunyai disiplin waktu untuk melakukan gerak, ya, repot juga ini,” katanya.
•••
INGATAN 34 tahun silam tentang pelarangan konser belum pupus dari kepala Iwan Fals. Di kamar 267 Hotel Sanjaja, Palembang, Sumatera Selatan, kabar buruk menyentaknya. Manajer artis Airo Stupa, perusahaan pengelola pertunjukan musik di kota itu, Azmi Alqamar, mengabarkan bahwa konser yang akan digelar di Stadion Garuda Palembang pada Kamis, 9 Maret 1989, dilarang polisi. Iwan, yang kala itu baru berumur 28 tahun, sontak terpukul. “Musik saya dibatalin, saya oleng. Gelisah,” ucapnya, mengenang.
Iwan menjelaskan, pelarangan itu berkaitan dengan lagu-lagunya yang sarat kritik. “Itu dulu gara-gara dianggap menghina kepala negara,” ujarnya. Lagu-lagu yang dianggap menghina kepala negara adalah “Mbak Tini”, “Demokrasi Nasi”, dan “Pola Sederhana”. Belakangan, ketiga lagu yang pertama kali dinyanyikan pada April 1984 itu tak beredar lagi.
lIwan Fals bersama istrinya, Rosanna, dan anaknya, Galang Rambu Anarki, di rumahnya, Tebet, Jakarta, 1984. Dok. Tempo/A. Lookman
Iwan mengaku heran lagu yang tak dilarang di Jakarta itu justru dipermasalahkan di Palembang. Iwan yang mengaku hidup dari musik pun benar-benar terusik. “Gelisah, dong, hidup saya di musik,” tuturnya. Bagi dia, pengalaman itu menakutkan.
Pelarangan konser itu kemudian menyeret Iwan ke kantor polisi setempat. Dia ditahan selama dua minggu. Sedangkan istrinya, Yos Rosanna, kembali ke Jakarta dengan berurai air mata.
Setelah dua pekan menjalani hidup di bui, Iwan diperbolehkan pulang ke Jakarta dan dihukum wajib lapor. Iwan menuturkan, pelarangan konser itu membuatnya jatuh. Yang mengganggu Iwan adalah pikiran bagaimana menghidupi anak dan istrinya di tengah harga barang-barang yang mahal saat itu. “Tapi saya bilang, ya sudahlah, risiko,” ucapnya. “Saya enggak mau menyalahkan siapa pun.”
Kesadaran Iwan terbit setelah dia mengenal W.S. Rendra, penyair dan dramawan berjulukan Si Burung Merak. Perkawanan keduanya terjalin ketika Iwan didera masalah berupa pembatalan konser di 100 kota. Pembatalan itu terjadi saat Iwan sudah berada di Palembang, satu di antara 100 kota yang masuk daftar tur konser.
Lelaki bertubuh semampai dengan berewok dan kumis putih ini kemudian menuturkan lika-liku perjalanan kariernya di dunia musik hingga hari ini. Iwan mengungkapkan, perjalanan yang dia lalui tak selalu mulus. Dia beberapa kali masuk lubang, menabrak cadas, dan hampir tersungkur ke jurang yang menenggelamkan namanya sebagai musikus. Dia pernah resah, gelisah, dan patah hati.
Namun Iwan terus melangkah. Dia meyakini musik sebagai jalan hidupnya. Dia pun gigih dan pantang menyerah bergulat dengan lirik, gitar, dan harmonika hingga namanya melambung sebagai musikus kelas “dewa” di Tanah Air.
Pada usianya kini yang telah memasuki kepala enam, Iwan mengaku lebih banyak merenung, terutama menjaga pikiran dan hati tetap bersih. “Ternyata yang paling penting bagaimana kabar diri kita sendiri. Jeroan kita, otot kita,” katanya.
Bagi dia, cara mengendalikan emosi dalam diri menjadi hal penting dan mendesak saat ini. “Bahkan mau ketemu anak, istri, keluarga, atau teman butuh batin dan pikiran sehat,” ucapnya.
Karena itulah ia kemudian banyak berolahraga dengan tujuan menjaga tubuh dan mental tetap fit. Menurut dia, aktivitas itu berguna untuk merawat jantung, hati, dan pikiran. “Itu maksud saya pentingnya melihat diri saat ini,” ujarnya.
Ingatan Iwan kembali melayang pada masa-masa yang membuat dirinya begitu terpukul. Kerisauan yang menderanya bukan hanya soal pembatalan konsernya di 100 kota. Ia pun berduka begitu dalam ketika anak sulungnya, Galang Rambu Anarki, meninggal pada 25 April 1997. Galang, yang sempat membentuk grup musik Bunga, meninggal ketika berusia 15 tahun.
Iwan mengungkapkan, pada usianya kini dia juga kerap merenungi capaiannya di jagat musik yang ia rintis sejak belia. Sebelumnya dia selalu bersikap abai. “Dulu saya enggak kepikiran beginian. Mau dari mana masa bodoh, lah,” tutur ayah Galang Rambu Anarki, Annisa Cikal Rambu Bassae, dan Raya Rambu Rabbani ini.
Iwan mengatakan semua capaian itu akan ia ceritakan kepada anak-anaknya. Kesuksesan yang digapainya di bidang musik adalah buah kerja kerasnya sejak muda. “Terima kasih Tuhan sudah memberikan semuanya,” tutur Iwan sambil mengucapkan syukur karena pada usianya kini dia masih dipercaya untuk berkarya.
•••
W.S. Rendra, penyair yang mangkat pada 6 Agustus 2009, menjadi salah satu sosok penting dalam perjalanan karier Iwan Fals sebagai musikus. Iwan bergabung dengan Bengkel Teater pimpinan Rendra. Dia melakoni berbagai aktivitas di kelompok itu, dari membaca buku hingga berdiskusi. Perlahan rasa takutnya pun terobati.
Di Bengkel Teater, Iwan berlatih menabuh gong karena dalam pentas-pentas drama ia menjadi pemain musik. Iwan menjelaskan, latihan itu merupakan persiapan untuk pementasan drama Catatan Harian Penipu. Kisah drama ini diangkat Rendra dari Buku Harian Seorang Penipu karya Alexander Nikolayevich Ostrovsky, dramawan Rusia. Pementasannya berlangsung pada 22-27 Juni 1989 di Gedung Kesenian Jakarta.
Iwan Fals (kanan) dan WS. Rendra di Gedung Olahraga (GOR) Bulungan, 7 Mei 2006. Dok. Tempo/Fransiskus S
Iwan bercerita, dia yang saat itu masih tinggal di kawasan Condet, Jakarta Timur, harus bolak-balik ke Bengkel Teater untuk berlatih. Setiap dinihari ia melintas sendirian menuju tempat latihan di Citayam, Depok. Dari Condet, ia harus tiba pada pukul 03.00 di Citayam. “Kalau telat dimaki-maki. Enggak ada ampun, ha-ha-ha...,” katanya. Walau begitu, Iwan bertahan. “Karena niat saya mau belajar.”
Iwan mengenang, dalam berkesenian, Rendra selalu mengingatkan akan fokus dan detail, juga ketaatan pada hukum alam, aturan hukum diri sendiri, dan hukum sosial serta menghayatinya. “Pokoknya enggak sederhana omongan ini,” tutur musikus yang masuk daftar The Immortals: 25 Artis Indonesia Terbesar Sepanjang Masa majalah Rolling Stone itu.
Menurut Iwan, keterlibatannya di Bengkel Teater boleh dibilang semacam pelarian dari kekecewaannya atas pelarangan tur musiknya di 100 kota. Iwan mengenang berbagai peristiwa itu sebagai zaman peralihan. “Zaman peralihan kan zaman kacau,” ujarnya.
Di mata Iwan, itu adalah fase sebuah zaman, ketika orang hidup dalam kepungan kegelisahan bercampur ketakutan. Bahkan di atas panggung konser pun Iwan selalu merasa cemas akan masa depan Indonesia kala itu. Sebelum mengenal Rendra, dia mengaku termasuk orang berkeinginan tinggi. “Dulu, sebelum kenal dia, masih bang.... bung... woaaa... ke mana-mana. Pengin ini-itu. Banyak cita-cita kayak di Doraemon gitu,” ucapnya.
“Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata,” kata Iwan mengutip penggalan puisi Rendra berjudul “Kesaksian”. Belakangan, syair itu dijadikan lagu dengan judul sama. Iwan menyanyikan lagu itu ketika membentuk grup musik Kantata Takwa bersama, antara lain, Sawung Jabo, Jockie Surjoprajogo, Setiawan Djodi, dan Rendra.
Dari Kantata, lahir lagu-lagu bertema kritik sosial, seperti “Kesaksian”, "Orang-orang Kalah", "Balada Pengangguran", dan “Paman Doblang”. Darah Iwan sebagai musikus pun terus mengalir. Optimisme itu tumbuh ketika ia berada di antara rekan-rekannya, saat Kantata menggelar konser akbar di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, pada 23 Juni 1990.
Iwan Fals dan Setiawan Djody (kiri) saat konser musik "Kantata Takwa" di Parkir Timur Senayan Jakarta, 30 Agustus 2003. Dok. Tempo/Arie Basuki
Perjalanan grup ini kemudian didokumentasikan dalam film dokumenter Kantata Takwa besutan sutradara Erros Djarot dan Gotot Prakosa yang dirilis pada 2008. “Rupanya itu membekas,” ucap Iwan, pelan.
Kecintaan Iwan kepada musik tidak tumbuh begitu saja. Sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama, dia sudah menggilai musik. Kariernya bermula sebagai pengamen di sudut-sudut Jakarta.
Iwan kecil erat dengan gitar. Kadang dia memetik gitar hingga tertidur pulas, lalu air liur meleleh pada gitar yang dipeluknya. “Dikembalikan lagi memori purba saya,” ujar putra pasangan Harsoyo dan Lies Suudijah yang ketika kecil akrab dipanggil Tanto ini.
Sejak bocah Iwan terbiasa memetik gitar dan memainkan nada di harmonika. Dua alat itu juga yang menemaninya melantunkan lagu “Naik-naik ke Puncak Gunung” dan “Bintang Kecil”. Iwan sering menyanyikan lagu itu setiap kali mengikuti acara kemah Pramuka. Kepiawaian memainkan harmonika hidup dalam keluarganya. Menurut dia, salah seorang yang pandai meniup harmonika adalah uyutnya—kakek dari ibunya.
Iwan mengasah bakat bermusiknya itu dengan mencoba berbagai kegilaan. Suatu kali, dia mengambil meja gambar kakaknya. Lalu ia mengikat harmonika di meja dan meniup alat itu sambil memainkan gitar. Salah satu referensinya dalam bermusik adalah Bob Dylan. Selain menggemari karya pemusik kelahiran Amerika Serikat ini, ia menyenangi lagu-lagu musikus dan kelompok musik Indonesia, seperti Benyamin Sueb, God Bless, dan Panbers. Mereka turut memacu insting Iwan sebagai pemusik.
Hingga kini, Iwan mengatakan, ia masih berfokus menyanyikan lagu-lagu lawas yang relevan dengan peristiwa masa kini, seperti “Bento”, “Bongkar”, dan “Kemesraan”. “Banyak bikin lagu baru, cuma lebih fokus ke lagu yang lama-lama,” tuturnya.
Seperti dalam konser di Kota Konawe, Sulawesi Tenggara, pada Jumat, 3 Maret lalu, Iwan menyuguhi penggemarnya lagu “Oemar Bakrie” dan “Pesawat Tempur”. Menurut dia, lagu-lagu itu relevan dengan berbagai peristiwa di Indonesia belakangan ini. Misalnya pandemi Covid-19, kasus Ferdy Sambo, seputar presiden, dan pemilihan umum. “Kan, banyak kejadian itu,” katanya.
Menanggapi pertanyaan apakah dia masih akan menulis lagu tentang berbagai problem itu, Iwan menjawab singkat, “Iya.” Iwan terakhir kali merilis lagu berjudul “Kanjuruhan” pada 5 Oktober tahun lalu. Lagu itu merespons peristiwa tragedi Kanjuruhan yang menewaskan ratusan suporter Arema FC di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, 1 Oktober 2022.
Walau begitu, ada saja tudingan yang datang. Dulu lagu-lagunya dituduh menghina kepala negara dan provokatif, kali ini ia dikritik karena dianggap diam ketika korupsi merajalela dan pelanggaran hukum ugal-ugalan, juga saat muncul kasus polisi menembak polisi. “Gimana, kok, Iwan diam? Saya dianggap pendukung ini, pendukung itu. Padahal dari dulu saya enggak pernah begitu,” ucapnya.
Joko Widodo saat masih menjabat Gubernur DKI Jakarta berpamitan usai berkunjung ke kediaman Iwan Fals di Desa Leuwinanggung, Cimanggis, Depok, Jawa Barat, 3 April 2014. Dok. Tempo/STR/Dian Triyuli Handoko
Iwan mengaku sabar menerima semua lontaran kritik tersebut. Dia senang di zaman ini orang sudah bebas melontarkan kritik. Dia menyebutkan beberapa tokoh publik dan pakar kerap melontarkan kritik terhadap pemerintah. “Saya merasa alhamdulillah, sudah banyak yang bicara. Jadi saya merasa terwakili,” ujarnya.
Hal itu, Iwan menambahkan, berbeda dengan masa lalu. “Orang yang mengkritik langsung bluk... bluk... ditahan segala macam. Sekarang enggak, ada hak jawab,” katanya.
Sejak zaman Presiden Soeharto hingga Joko Widodo, Iwan menyatakan sikapnya tak pernah berubah. Ia tidak merasa terintimidasi untuk bersikap kritis. Sebagai bukti, hingga kini dia masih menyanyikan lagu-lagu berisi kritik terhadap pemerintah.
“Dari zaman Soeharto sampai Jokowi, saya enggak merasa berubah. Saya enggak merasa terintimidasi. Saya sangat menyayangi negeri ini,” kata pria yang dijuluki “Asian Hero” oleh majalah Time itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Ihsan Reliubun berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit dengan judul "Tetap Menggebrak lewat Lagu Kritis"