Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Oceans
Sutradara: Jacques Perrin dan Jacques Cluzaud
Narator: Jacques Perrin (versi bahasa Prancis)
Naskah: Jacques Cluzaud, Christophe Cheysson
MENJELANG film ini berakhir, kata-kata sang narator terasa bergema jauh dan dalam: ”Setiap tarikan napas kita dan setiap tetes yang kita teguk bergantung pada lautan yang sehat. Kini kelangsungan lautan itu bergantung pada kita.”
Kita, manusia. Betapa paradoksal. Lebih dari itu, kesan paripurnanya, betapapun subtil, tak bisa lain kecuali bahwa manusialah predator segalanya.
Tetapi, untuk sampai ke sana, film ini bukan saja mesti disaksikan utuh, melainkan juga diselami penuh perasaan, sebagaimana ketika seekor anjing laut membawa anaknya untuk pertama kali mencemplung ke dalam air—tampak di salah satu momen yang menggetarkan. Betul, semua film mengharuskan penontonnya mengikuti setiap adegan dari pendahuluan hingga penutup, untuk mengetahui akhir ceritanya. Tapi film dokumenter yang menelan hampir US$ 100 juta ini lebih dari sekadar thriller, jika mau disebut, melainkan semacam meditasi. Di sini cerita tak penting, dan memang tidak ada. Impresi akhirlah tujuannya, yakni semacam pencerahan spiritual.
Sejak film dibuka, rangkaian gambar elok seketika menghamparkan pesona yang tak terelakkan: seekor iguana dari Kepulauan Galapagos—jenis yang membuat Charles Darwin mengaku jijik ketika melihatnya lebih dari seabad silam—menjelajahi karang di dasar laut. Ia mencari dan menyantap alga, sebelum dengan ringan bagai balon melayang naik, menuju permukaan air dan kemudian merayap di bebatuan, di antara deburan ombak, dan bergabung dengan kawanannya.
Adegan-adegan lain menyusul. Lihatlah kawanan pelikan menyerbu kerumunan raksasa ikan sardin: satu per satu pelikan itu melesat dari angkasa bagaikan hujan bom, menceburkan diri ke dalam air, mencengkeram ikan dengan paruhnya, lalu kembali ke permukaan untuk menuntaskan santapannya. Atau ikan-ikan paus bongkok yang bergerak sangat pelan, entah gambar sengaja dibuat sebagai slow motion entah memang mereka sedang tak bergegas. Atau seekor hiu putih yang tak mengacuhkan seorang penyelam di sampingnya yang tanpa kerangkeng pelindung—ini meruntuhkan mitos bahwa hiu putih selalu menyerang manusia.
Gambar-gambar yang sedemikian dekat itu mirip kumpulan katalog, sebenarnya, dengan hanya sedikit—sangaaat sedikit—narasi. Secara keseluruhan tak ada kesan seperti kuliah. Barangkali hal ini yang terasa pada March of the Penguins, film dokumenter yang sebenarnya tak kalah memukau, tentang perjalanan tahunan penguin kaisar ke tempat mereka kawin dan beranak-pinak. Cara menggabungkan hasil bidikan kamera di berbagai lokasi yang berbeda (sebab begitu banyak jenis satwa yang diikuti) justru yang terpenting di sini: itulah yang menyebabkan penonton bagai membaca puisi visual nan liris, dengan kandungan pesan yang mencerahkan.
Di situ, film berdurasi 100-an menit ini jelas berbeda dibandingkan dengan dokumenter serupa yang lazim ditayangkan televisi. Sulit, memang, buat mereka yang sudah terbiasa dengan detail narasi seperti di film-film itu. Tapi, lagi-lagi, inilah film yang merupakan wujud sesungguhnya dari adagium bahwa gambar bisa menyampaikan jauh lebih banyak kata. Dan musik garapan Bruno Coulais yang begitu pas seperti membubuhkan semacam ”pukulan pamungkas”. Pesannya jelas: bahwa laut, yang merupakan dua pertiga dari seluruh permukaan bumi, sumber dari semua kehidupan, pengatur iklim, dan pelindung keanekaragaman, kian terdegradasi dan bahkan kelestariannya terancam. Semuanya terjadi berkat ”kemajuan” kehidupan manusia.
Jika dengan semua keajaiban itu kesadaran belum juga timbul, masih ada fakta lain yang bisa menggedor. Lihatlah beberapa nelayan di geladak suatu kapal menarik hiu yang terperangkap jaring, lalu, sejurus kemudian, mereka melemparkan kembali ikan buas itu ke laut... setelah membabat ekor dan semua siripnya. Atau pemandangan mencekam di satu galeri museum: jasad puluhan satwa laut yang telah diawetkan, semuanya sudah punah, memenuhi hampir setiap bidang dan sudut, sebagian digantung dan yang lain di meja penyangga.
Terlalu sering kita melupakan kenyataan bahwa kita sesungguhnya berbagi dunia dengan aneka variasi hidup yang elok, misterius, dan mestinya tak berkesudahan itu. Film ini merupakan dentang lonceng yang mengembalikan ingatan kita.
Purwanto Setiadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo