Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEX AND THE CITY 2
Sutradara: Michael Patrick King
Skenario: Michael Patrick King
Berdasarkan karakter dan cerita Candace Bushnell dan Darren Starr
Pemain: Sarah Jessica Parker, Kim Cattrall, Cynthia Nixon, Kristin Davis, Chris Noth, dan John Corbett
Michael Patrick King….
MENGAPA sutradara ini membuat penonton menjadi jengkel dan perlahan meninggalkan serial yang—di masa sahibul hikayat 1990-an—pernah menjadi ikon televisi itu? Bukankah keempat sekawan New Yorker ini adalah kesayangan kita semua?
Mengangkat serial yang sudah berhasil (dan dikenang begitu banyak pemirsa) ke layar lebar dua tahun lalu saja sudah langkah yang berbahaya, apalagi karena sutradara Michael Patrick King tak lagi melibatkan penciptanya, Candace Bushnell, dan kreator serial versi televisi Darren Starr. Tetapi mungkin karena kita rindu pada ekspresi bebas Samantha (Kim Cattrall); keluhan gaya Carrie (Sarah Jessica Parker) melalui kolom seksnya atau obsesinya terhadap sepatu mewah Manolo Blahnik; karakter Miranda (Cynthia Nixon) sang pengacara bermulut tajam, atau Charlotte (Kristin Davis) yang konservatif dan percaya pada cinta dan kesetiaan.
Tapi, dengan pertumbuhan kerut yang menyelimuti wajah para pemainnya yang sudah menginjak usia 40-an dan 50-an, toh sutradara Michael Patrick King merasa sebuah ”operasi plastik visual” mampu mengais masa emas serial Sex and the City. ”Operasi plastik ” itu berbentuk ratusan baju buatan desainer terkemuka dengan mode yang gila-gilaan, sepatu Manolo Blahnik dan kehidupan mewah di sebuah hotel yang lebih mirip istana di tengah gurun pasir; empat mobil mewah dan empat pelayan khusus yang meladeni keempat cewek ini. Judulnya: mereka mendapat tawaran liburan gratis ke Abu Dhabi karena Samantha ada urusan bisnis humas. Pendeknya, seluruh adegan mirip sebuah pesta orgi mode. Ingat rok Carrie yang luar biasa besar seperti payung terbang yang dikenakan di tengah pasar tradisional Abu Dhabi; atau keempat cewek di tengah gurun pasir saat akan mengendarai punuk unta. Duilah….
Kita bahkan tak perlu memusingkan plot lagi, karena sudah tak penting. Mau tahu problem keempat cewek Sex and the City ini, hingga mereka merasa perlu berlibur ke Abu Dhabi? Coba simak: Carrie jengkel karena sang suami lebih suka tiduran di sofa menyaksikan film klasik hitam-putih daripada berpesta-pora; Charlotte dilanda kekhawatiran suaminya bakal tertarik pada pengasuhnya yang seksi; Miranda memutuskan keluar dari kantor pengacara yang penuh intrik; dan Samantha adalah Samantha yang hidupnya hanya untuk seks. O, berat sekali beban hidup mereka….
Harus diakui, sesekali kita merasa berada di halaman luks sebuah majalah mode dan gaya hidup: penuh warna, keemasan, dan gemerlap. Sungguh tamasya visual yang fantastis. Tapi, sama seperti perasaan kita membaca majalah gaya hidup: setelah membolak-balik halaman mewah itu di ruang tunggu dokter, majalah itu kemudian kita lempar. Selesai. Hampa.
Pengalaman kita bersama Carrie, Samantha, Charlotte, dan Miranda bukan lagi sebuah perjalanan mencari jawab dari pertanyaan ”I cannot help but wonder….” Tapi, sekali lagi, ini adalah pesta orgi baju mewah.
Sutradara Michael Patrick King tidak menyadari dua hal: pertama, serial ini dimulai dari alam imajinasi Candace Bushnell; artinya jika dia membawa empat karakter ini, seharusnya dia juga mengajak serta penciptanya. Kedua, King tidak paham kapan harus berhenti. Film pertama yang beredar tahun lalu memang sukses secara komersial (lebih karena kerinduan penonton pada keempat tokoh ini); tetapi film itu habis dihajar dan diejek karena tak menyajikan cerita apa pun selain parade mode.
Keasyikan dengan diri sendiri dan ”orgi baju mewah” ini mungkin sesekali bisa ditoleransi, karena dalam hidup nyata, bahkan selebritas sebesar mereka pun belum tentu hidupnya semewah itu dari menit ke menit. Tetapi, jika King menyajikan 146 menit yang isinya hanya adegan kemewahan itu tak berkesudahan, akhirnya kita hanya bisa mual (atau lebih parah lagi: bosan dan tertidur).
Michael Patrick King: berhentilah. Kasihani keempat perempuan yang dulu pernah menjadi kesayangan kita semua.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo