DI tangan Marsius Sitohang, 34, sulim berubah jadi pesona. Misalnya, pada pertengahan Maret lalu. Seribu pengunjung terkesima di Pesta Budaya Sumatera Utara di Istana Maimun, Medan. Juga Menteri P dan K Fuad Hassan, terpukau. Dalam pembukaan itu, serentetan keplok menyambut atraksi taganing yang dilantunkan lelaki kelahiran Palipi, Pulau Samosir, di Danau Toba itu. Ia bermain kompak bersama adiknya, Sankawan. "Marsius memiliki kemampuan luar biasa. Virtuoso. Dahsyat, dan laiknya seorang master," puji Rizaldi Siagian, M.A., sarjana musik lulusan Universitas San Diego itu. Ketua Jurusan Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara (USU) itu langsung meminang Marsius. Anak keempat dari 11 bersaudara ini cuma duduk di kelas III SD. Sejak Juli tahun lalu ia dosen luar biasa untuk mata kuliah praktek musik di Jurusan Etnomusikologi USU. Ayah empat anak itu juga andal memainkan berbagai instrumen musik Batak Toba. Di ujung jemarinya, hasapi mampu melahirkan untaian irama menawan. Tiupan sarune dan derap taganing jadi hidup dalam runtunan nada bersimbah warna. "Kecekatan Marsius memainkan stik taganing melebihi Billy Cobham," komentar Ben Pasaribu, staf pengajar Etnomusikologi USU, membanding pria lugu dan polos itu dengan drummer kelas dunia itu. Kenapa Rizaldi mendudukkan Marsius setara kepiawaian seorang master? "Ilmu musik tradisional itu tersimpan dalam pengalaman para praktisi," katanya. "Tanggung jawab kitalah mengangkat sistem musik yang terpendam itu secara ilmiah." Dua perangkat musik yang dikuasai Marsius merupakan dasar musik Batak Toba. Pertama, gondang hasapi. Terdiri dari dua hasapi (lute berdawai dua), dua buah sulim (seruling bambu), sebuah sarune (sejenis oboe berlidah ganda), sebuah garantung, (xilofon), sebuah hesek (idiofon). Perangkat ini dimainkan tujuh orang. Kedua, gondang sabangunan. Terdiri atas taganing (drum chime, gendang berperan sebagai pembawa melodi), lima buah gendang ditambah sebuah gendang besar (gordang) dan sebuah odap (gendang kecil sebagai peningkah), sebuah sarune, empat buah ogung (gong). Peralatan ini pun, tak tanggung-tanggung, membutuhkan delapan pargongsi (pemusik). Gondang hasapi biasanya untuk hiburan. Sedang gondang sabangunan memiliki nilai sakral, seperti dalam upacara adat kematian, perkawinan dan mangokkal holi alias menggali tulang nenek moyang, menyangkut sistem adat Dalihan Na Tolu. Yang dimainkan dalam upacara adat itu meliputi taganing, enam buah gendang (salah satunya gendang besar). Sedangkan odap ditabuh mengiringi tonggo-tonggo (mantra) dalam upacara kepercayaan tradisional Batak Toba. Misalnya upacara permalim. Dalam gondang sabangunan, juga dikenal sekelompok repertoar dasar yang disebut Si Pitu Gondang. Gondang sebagai lagu (dasar) dimulai dengan gondang somba somba. Lalu diikuti gondang mula-mula. Keunikan taganing terletak pada fungsi gendang itu sendiri. Biasa berfungsi sebagai rhythm, pada taganing gendang itu berfungsi sebagai melodi. "Jenis gendang yang berfungsi sebagai melodi, di dunia ini hanya ada empat," kata Ben Pasaribu. Yaitu phoeng mang kok di Muangthai, hsaing qaing di Burma, entenga pada suku Bugunda di Uganda, dan taganing itu. Malah dulu, pemain taganing dan sarune, disejajarkan dengan dewa. Hasapi, atau gitar Batak itu, memiliki keunikan tersendiri. Dalam tangga nada, jelas, ada pengaruh Barat. Misalnya, penyetelan dua dawainya itu. Tapi dalam struktur, pengaruh Barat itu hilang. Terutama dalam pengulangan melodi dan ritme. "Ini sebuah akulturasi unik,' ucap Rizaldi. "Di sinilah kelebihan Marsius memainkan alat itu. Dia bisa menampilkan ornamentasi khas Batak yang kuat." Marsius mengajarkan muik Batak secara lisan. Mahasiswa dituntut melihat, mendengarkan, dan melakukan apa yang diajar Marsius dengan penuh perhatian. Rumondang Siahaan, mahasiswa tingkat IV, mengambil les privat pada Marsius. Dengan membayar Rp 30 ribu, cewek hitam manis itu bertekad menguasai lima lagu, selama empat bulan. "Saya ingin jadi wanita pemain taganing pertama. Orangtua saya juga mendorong," ujar Rumondang. Semangat Marsius, tampaknya, masih tahan uji. Padahal, honor yang diterimanya sebagai Pak Dosen itu cuma Rp 16.000 sebulan. "Untuk tambahan nafkah, kadang-kadang saya juga jadi sopir bis umum," ujar Marsius. Sebelum jadi dosen, dulu dia menarik becak mesin. "Tapi saya tak betah, karena tak sempat main musik. Sekarang saya senang, bisa lebih sering main musik," ujar Marsius yang dibesarkan dalam tradisi grup Opera Batak Tilhang Gultom. Ada yang mengganjal dalam sanubarinya. "Saya heran, kenapa honor saya turun dari Rp 24.000 jadi Rp 16.000 sebulan sejak Januari lalu," katanya memelas. Keluhan itu bukan tak ditanggapi. "Saya pontang-panting memikirkan uang tambahan buat mereka," Rizaldi, ganti mengeluh. Memang, bukan hanya Marsius. Ada ahli musik tradisional lain, Dagar Lubis, 44 tahun, yang bernasib sama. Dosen luar biasa yang mengajarkan musik Mandailing dan Angkola ini hanya mendapat Rp 24.000 sebulan. "Karena tak cukup, saya masih narik becak dayung," kata Dagar. Rektor USU Prof. Yusuf Hanafiah juga belum bisa membantu nasib mereka. Tapi ada janji sejuk. "Penghasilan sejumlah itu memang tak wajar. Kami akan memperjuangkan perbaikan nasib mereka," kata ahli kebidanan dan kandungan itu pada Mukhsin Lubis dari TEMPO. Burhan Piliang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini