SEORANG kawakan yang masih tetap produktif memang dibutuhkan
sekarang. Oesman Effendi, dengan lebih dari 40 buah lukisannya
di ruang pameran TIM 25 s/d 31 Juli - boleh dianggap salah
seorang dan jenis ini.
Belum lama sebelumnya ia telah muncul di Balai Budaya dengan
lukisan-lukisan baru. Kini pun, dengan warna meriah, ia memajang
hasil-hasilnya yang berangkat tahun 1977. Kalau di Balai Budaya
kita mendapat suasana mistik, pameran kali ini memperlihatkan
keterbukaan sikap. Berbagai unsur masuk ke dalam kanvas O.E.,
sehingga kita seperti dihadapkan kepada suasana mencari
Warna-warna yang samar dan begitu halus, sebagaimana terasa di
Balai Budaya dulu, kini menjadi tegas. Bahkan garis terbata-baia
yang melantunkan gerak, pada bcberapa buah kanvas menjadi pasti
dan diam. Tetapi sementara itu jelas sekali timbul bayangan
Picasso. Misalnya pada lukisan yang berjudul Singgalang Enam.
Dengan latar putih kanvas, terbentuk bidang-bidang persegi yang
diberi bentukbentuk statis. Ini bukan kebetulan, karena beberapa
buah kanvas Singgalang Tujuh dan Singgalang Sepuluh misalnya --
merupakan kelanjutan usaha ini. Mungkin sekali O.E. sedang
memperhatikan Picasso, setelah melihat bukit-bukit. Atau ini
hanya merupakan usaha memecahkan diri agar tetap siap untuk
mencari yang lain. Karena tidak hanya Picasso - juga wajah
beberapa pelukis pribumi lain seperti Rusli dan Nashar,
membayang juga pada beberapa buah kanvas, pada Maninjau Delapan
kita melihat pulasan kuas yang spontan tetapi ada perhitungan.
Keahlian mengisi ruang serta kemantapan pulasan kwas ini
mengingatkan kita pada teknik sengatan yang dipakai Rusli untuk
membetot obyeknya. Hanya saja O.E. memang tidak terlampau pelit,
sehingga tidak banyak membiarkan ruang kosong bicara dengan
sendirinya.
O.E. tetap mengontrol seluruh kanvas. Ia tidak berusaha mencari
misteri dari kanvas kosong, tetapi misteri dari getaran-getaran
warna. Sebagaimana terasa pada Puncak Satu yang biu itu. Ini
barangkali juga akibat kesukaannya melukis di tengah suara
musik. O.E. memang sangat musikal dalam kanvas.
Dua buah kanvas dalam ukuran memanjang, Singgalang Satu dan
Singgalang Dua, ditarik dengan garis-garis tebal. Ini lain lagi.
Pada lukisan yang disebut pertama, kita melihat usaha mengolah
warna merah dan coklat dan bulatan-bulatan awan, yang amat
berbeda dengan apa yang tampak pada lukisan Puncak Dua. Puncak
dua barangkali paling dekat dengan diri O.E. di masa lalu.
Garis-garisnya yang tipis, runcing, membangun suara-suara batin
yang berbeda dengan suasana statis pada Singgalang Satu. Puncak
Dua khas O.E.
Di samping pengaruh-pengaruh O.E. makin tekun melukis suasana.
Bentuk tinggal garis sosoknya saja. Ia melihat kehidupan seperti
seorang ahli peta: lebih memperhatikan suasana dalam obyek.
Dengan beberapa haris yang menolong penggambaran bentuk, ia
berusaha menampilkan permukaan sebelah dalam dari yang bernama
Toba, Singgalang atau Ngarai. Ini menyebabkan banyak lukisannya
menyarankan suasana mimpi.
Maninjau Satu adalah contoh yang baik untuk itu. Dengan warna
lembut sekali, O.E. memaparkan alam yang masih segar. Ada
kehidupan di pinggir-pinggir danau yang masih berbau dusun.
Kemudian terasa ada kebesaran Ilahi akibat sapuan-sapuan
vertikal dari kedua sisi kanvas. Lukisan ini seakan melantunkan
kedamaian sorga. Indah, tetapi tidak berusaha menarik-narik
perhatian. Barangkali ini merupakan salah satu lukisan terbaik
dari banyak judul yang segar dalam pameran ini.
Toba Enam juga memotret pemandangan yang hampir sama. Tetapi
suasaan hati pelukisnya sudah berbeda. O.E. ternyata tidak
berusaha memandang obyek dari sudut tertentu. Ia selalu
mengubah-ubah sudut tergantung suasana hati. Kalau tidak, ia
tidak akan mengulang satu obyek sampai sebelas kali.
Satu-satunya lukisan yang memakai warna emas adalah Ngarai
Tujuh. Ini mungkin kecenderungan lain lagi. O.E. sekarang terasa
sibuk dan bahagia. Untung saja kebahagiaannya, meski tidak
menyembunyikan kemeriahan, tidak hanya berhenti pada kemanisan.
Ini yang pantas dicatat.
PW
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini