Judul novel: LHO
Pengarang: Putu wijaya
Penerbit: Balai Pustaka, 1982
Tebal: 163 hal.
Setidaknya ada dua hal yang pantas dicatat dari novel dan cerita
pendek Putu Wijaya. Pertama, penggunaan teknik arus kesadaran
yang sering khas Putu. Dan kedua penciptaan peristiwa-peristiwa
aneh yang tidak jarang menolak akal kita.
Tidak jarang pula Putu menggunakan kedua hal itu bersama-sama
teknik arus kesadaran dipergunakannya untuk menciptakan
peristiwa-peristiwa aneh.
Kalau Putu sudah menjadi sangat njlimet dengan kedua hal itu,
sering karyanya sangat sulit ditangkap sekali baca kalau ia
agak melonggarkan kekhasannya itu, cerita-ceritanya sangat enak,
dan mudah. Tanpa mengurangi mutunya sebagai cerita rekaan.
Cerita-cerita yang dikumpulkannya dalam Gres, misalnya, adalah
contoh cerita-cerita yang tidak njlimet seperti misalnya
Stasiun.
Masih ada satu catatan lagi tentang cerita Putu: pengarang ini
memang salah seorang dl antara beberapa saja pengarang kita yang
benar-benar menguasai bahasanya. Pilihan kata dan susunan
kalimatnya sering begitu bentuk sehingga dengan mudah bisa
ditafsirkan berbagai rupa, tanpa merusak keseluruhan karya.
Dengan penguasaan itu saja mestinya setiap cerita yang ditulis
Putu bisa menarik -- dan Lho adalah salah satunya. Novel ini
bukan puncak karya Putu. Tetapi juga bukan novel yang tidak
pantas dibaca. Dalam membacanya, kita masih merasa ada tangan
Putu di sana, meski karya itu tidak dikerjakannya se-njlimet
Stasiun.
Ceritanya sederhana sekali. Tokohnya si aku yang bersahabat
dekat dengan seorang bernama Zen. Namun si aku adalah tokoh yang
suka berpikiran yang bukan-bukan ia ternyata punya keinginan
membunuh Zen. Dan ketika keinginan itu tiba-tiba saja
dilaksanakannya, di tepi jalan yang ramai, si aku malah menjadi
lemas dan terjatuh. Si aku masuk rumahsakit, dan mendapat
perhatian istimewa dari Zen yang sama sekali tidak mengetahui
niat sahabatnya itu.
Akhirnya niat si aku itu kesampaian juga, setelah hubungan
antara keduanya menjadi sangat rumit -- setidaknya dalam benak
si aku. Zen mati karena didorong si aku ke jalan raya sehingga
terlanggar mobil. "Demikianlah Zen mati. Seorang sahabat sejati.
Seorang yang paling mencintaiku," tulis si aku.
Setelah proses pengadilan selesai, si aku menjadi kacau dan
dibawa ke rumahsakit. Di rumahsakit, ia tidak bisa menahan nafsu
seksnya dan mencoba menggerayangi seorang suster namun tidak
diapa-apakan, malah dianggap buta. Dianggap sebagai orang buta
ternyata lama-lama membosankan. Maka ia pun minggat dari
rumahsakit.
Ia sampai ke sebuah kota kecil. Dan bekerja pada seorang janda
yang mempunyai beberapa buah truk untuk mengangkut barang
usahanya. Si aku bekerja sebagai kenek salah sebuah truk itu.
Dalam pekerjaannya yang baru itu, ia berkenalan dengan Bing,
lelaki yang kemudian menjadi sangat dekat di hatinya. Begitu
dekat sehingga ia mengingatkannya pada Zen bahkan kadang-kadang
merindukannya kalau tidak jumpa agak lama, dan mencurigai
dirinya sendiri barangkali homo.
Dan persahabatan itu rupanya menumbuhkan lagi niat lamanya untuk
membunuh. Pada suatu hari si aku melaksanakan niat itu, tetapi
ternyata Bing terlalu kuat baginya, hingga ia sendiri yang
terpental dan terserempet mobil. Anehnya, Bing malah mengira si
aku mau bunuh diri. Pikiran si aku jadi tambah ruwet ketika si
janda menyodorkan kemungkinan lain: barangkali justru Bing yang
akan membunuh si aku. Dan seterusnya.
SI aku rupanya tidak tahan lagi menahan keanehan-keanehan yang
menimpa dirinya dan ada di sekelilingnya. Ia ingin membuat
pengakuan tentang kematian Zen, tetapi ternyata sekelilingnya
telah menganggapnya sebagai si aku yang lain. Si aku ingin
sekali berdamai dengan sekelilingnya, tetapi ternyata mereka
telah menganggapnya gila. Dan tempat terakhir baginya tentu saja
rumahsakit jiwa.
Lho mudah dibaca ada sesuatu yang urut yang ingin disampaikan
Putu -- sesuatu yang tidak jarang menolak akal kita. Sebenarnya
inti novel ini adalah petualangan pikiran, yang terwujud dalam
si aku, menghadapi bermacam kecenderungan gelap yang mungkin
saja dimiliki manusia lumrah. Si aku adalah pikiran yang
senantiasa bimbang, terombang-ambing antara ya dan tidak, antara
berbuat dan tidak.
Namun si aku bukan Hamlet, sang pangeran yang memiliki
nilai-nilai luhur pahlawan si aku bukan jagoan. Hamlet
pura-pura gila si aku dianggap gila oleh masyarakat justru
ketika ia ingin berdamai dengannya. Pikiran yang terbentur ke
sana terbentur ke mari itulah yang selalu saja terperanjat, dan
yang sering mengucapkan: Lho!
Sapardi Djoko Damono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini