Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Lho, bukan hamlet

Pengarang: putu wijaya jakarta: balai pustaka, 1982 resensi oleh: sapardi djoko damono. (bk)

21 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Judul novel: LHO Pengarang: Putu wijaya Penerbit: Balai Pustaka, 1982 Tebal: 163 hal. Setidaknya ada dua hal yang pantas dicatat dari novel dan cerita pendek Putu Wijaya. Pertama, penggunaan teknik arus kesadaran yang sering khas Putu. Dan kedua penciptaan peristiwa-peristiwa aneh yang tidak jarang menolak akal kita. Tidak jarang pula Putu menggunakan kedua hal itu bersama-sama teknik arus kesadaran dipergunakannya untuk menciptakan peristiwa-peristiwa aneh. Kalau Putu sudah menjadi sangat njlimet dengan kedua hal itu, sering karyanya sangat sulit ditangkap sekali baca kalau ia agak melonggarkan kekhasannya itu, cerita-ceritanya sangat enak, dan mudah. Tanpa mengurangi mutunya sebagai cerita rekaan. Cerita-cerita yang dikumpulkannya dalam Gres, misalnya, adalah contoh cerita-cerita yang tidak njlimet seperti misalnya Stasiun. Masih ada satu catatan lagi tentang cerita Putu: pengarang ini memang salah seorang dl antara beberapa saja pengarang kita yang benar-benar menguasai bahasanya. Pilihan kata dan susunan kalimatnya sering begitu bentuk sehingga dengan mudah bisa ditafsirkan berbagai rupa, tanpa merusak keseluruhan karya. Dengan penguasaan itu saja mestinya setiap cerita yang ditulis Putu bisa menarik -- dan Lho adalah salah satunya. Novel ini bukan puncak karya Putu. Tetapi juga bukan novel yang tidak pantas dibaca. Dalam membacanya, kita masih merasa ada tangan Putu di sana, meski karya itu tidak dikerjakannya se-njlimet Stasiun. Ceritanya sederhana sekali. Tokohnya si aku yang bersahabat dekat dengan seorang bernama Zen. Namun si aku adalah tokoh yang suka berpikiran yang bukan-bukan ia ternyata punya keinginan membunuh Zen. Dan ketika keinginan itu tiba-tiba saja dilaksanakannya, di tepi jalan yang ramai, si aku malah menjadi lemas dan terjatuh. Si aku masuk rumahsakit, dan mendapat perhatian istimewa dari Zen yang sama sekali tidak mengetahui niat sahabatnya itu. Akhirnya niat si aku itu kesampaian juga, setelah hubungan antara keduanya menjadi sangat rumit -- setidaknya dalam benak si aku. Zen mati karena didorong si aku ke jalan raya sehingga terlanggar mobil. "Demikianlah Zen mati. Seorang sahabat sejati. Seorang yang paling mencintaiku," tulis si aku. Setelah proses pengadilan selesai, si aku menjadi kacau dan dibawa ke rumahsakit. Di rumahsakit, ia tidak bisa menahan nafsu seksnya dan mencoba menggerayangi seorang suster namun tidak diapa-apakan, malah dianggap buta. Dianggap sebagai orang buta ternyata lama-lama membosankan. Maka ia pun minggat dari rumahsakit. Ia sampai ke sebuah kota kecil. Dan bekerja pada seorang janda yang mempunyai beberapa buah truk untuk mengangkut barang usahanya. Si aku bekerja sebagai kenek salah sebuah truk itu. Dalam pekerjaannya yang baru itu, ia berkenalan dengan Bing, lelaki yang kemudian menjadi sangat dekat di hatinya. Begitu dekat sehingga ia mengingatkannya pada Zen bahkan kadang-kadang merindukannya kalau tidak jumpa agak lama, dan mencurigai dirinya sendiri barangkali homo. Dan persahabatan itu rupanya menumbuhkan lagi niat lamanya untuk membunuh. Pada suatu hari si aku melaksanakan niat itu, tetapi ternyata Bing terlalu kuat baginya, hingga ia sendiri yang terpental dan terserempet mobil. Anehnya, Bing malah mengira si aku mau bunuh diri. Pikiran si aku jadi tambah ruwet ketika si janda menyodorkan kemungkinan lain: barangkali justru Bing yang akan membunuh si aku. Dan seterusnya. SI aku rupanya tidak tahan lagi menahan keanehan-keanehan yang menimpa dirinya dan ada di sekelilingnya. Ia ingin membuat pengakuan tentang kematian Zen, tetapi ternyata sekelilingnya telah menganggapnya sebagai si aku yang lain. Si aku ingin sekali berdamai dengan sekelilingnya, tetapi ternyata mereka telah menganggapnya gila. Dan tempat terakhir baginya tentu saja rumahsakit jiwa. Lho mudah dibaca ada sesuatu yang urut yang ingin disampaikan Putu -- sesuatu yang tidak jarang menolak akal kita. Sebenarnya inti novel ini adalah petualangan pikiran, yang terwujud dalam si aku, menghadapi bermacam kecenderungan gelap yang mungkin saja dimiliki manusia lumrah. Si aku adalah pikiran yang senantiasa bimbang, terombang-ambing antara ya dan tidak, antara berbuat dan tidak. Namun si aku bukan Hamlet, sang pangeran yang memiliki nilai-nilai luhur pahlawan si aku bukan jagoan. Hamlet pura-pura gila si aku dianggap gila oleh masyarakat justru ketika ia ingin berdamai dengannya. Pikiran yang terbentur ke sana terbentur ke mari itulah yang selalu saja terperanjat, dan yang sering mengucapkan: Lho! Sapardi Djoko Damono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus