DENGAN matatuanya, dari atas pembaringan di Rumah Sakit Sumber
Waras, Tan Tjeng Bok alias Pak Item hampir tak percaya. Berpuluh
tahun lewat, tiba-tiba wanita itu sekarang ada di depan matanya,
awal bulan ini.
"Engkau masih mengenal saya?", tanya wanita tua itu. Dengan
suara lemah terbata-bata, tapi penuh gairah, Pak Item menjawab:
"Ya, ya. Engkau adalah Erni." Matanya berkilat-kilat. Keduanya
berpelukan, berurai airmata. "Akhirnya engkau datang juga," ujar
Tan Tjeng Bok, 83 tahun, aktor tiga zaman itu yang pernah
terkenal sebagai Douglas Fairbanks van Java.
Si Erni adalah Miss Dja alias Devi Dja atau Dewi Dja, kini 68
tahun, yang namanya pernah gemerlapan sebagai primadona grup
sandiwara The Malay Opera Dardanella di masa sebelum perang. Pak
Item adalah bekas salah seorang teman bermainnya di panggung.
Dewi Dja pernah menjadi buah-bibir di kalangan para penggemar
sandiwara di banyak kota di Nusantara. Potretnya sempat menghias
beberapa penerbitan waktu itu. Ia pemain sandiwara, penyanyi dan
penari.
Dewi Dja yang juga pernah dikenal sebagai seniwati di beberapa
kota di Asia, Eropa dan Amerika itu sejak 1951 menjadi warga
negara AS dan menetap di Los Angeles. Ia tiba 5 Agustus lalu di
Jakarta atas undangan Panitia Festival Film Indonesia yang pekan
lalu berlangsung di Jakarta. "Bertemu kembali dengan Pak Item,
saya ingat kembali masa muda. Sekarang kami sudah sama-sama tua.
Heran juga, kenapa bisa tua ya?", ujar Dewi Dja tertawa.
Meskipun rambutnya sudah memutih dan kulit keriput,
gerak-geriknya masih lincah. Suaranya juga tetap mantap, bahkan
tawanya masih keras dan lepas. Giginya juga tetap rapi dan utuh.
"Sejak dulu saya tak pernah suka makan yang manis-manis,
terutama gula-gula," katanya minggu lalu di Hotel Indonesia,
tempatnya menginap di Jakarta.
Banyak orang bertanya apa resep Dewi Dja yang awet muda itu.
Tampaknya mungkin karena justru ia selalu bekerja konsisten
dengan bidangnya dan selalu gembira. Ia mengaku selalu minum
jamu dan menyukai sayuran dan buah-buahan. Di AS kini, ia
menggemari peach, semacam kesemek yang rasanya asem-asem manis.
"Dan sampai sekarang saya suka petis udang," katanya sambil
tertawa. Ia rajin bersenam dan tidak lupa jogging, lari-lari.
Dewi Dja, anak sulung dari tiga bersaudara, lahir 1 Agustus 1914
di Sentul, Yogyakarta, dengan nama Soetidjah. Ayahnya, Satiran
Adiredjo, adalah pendiri stamboel (grup sandiwara). bernama Pak
Adi yang juga dikenal sebagai penabuh gamelan waktu itu. Sang
ayah masih hidup sampai sekarang -- tinggal di Jember. Seorang
adik Dewi Dja yang masih hidup, yaitu Dewi Kusnah (kini tinggal
di Surabaya) menemani Dewi Dja selama kakaknya itu berkunjung ke
mari. "Tapi ada belasan saudara lagi dari pihak ibu tiri saya,"
tutur Dewi Dja. Karena Adiredjo hanyalah orang kebanyakan, dan
kurang mampu, ia tak sempat menyekolahkan anak-anaknya. "Saya
tidak bersekolah. Sekolah desa saja tidak," tambah Dewi Dja.
Dalam grup sandiwara pimpinan ayahnya itulah Soetidjah dan
Kusnah menari dan menyanyi. Dari Yogya, Pak Adi berkeliling Jawa
Timur. Pada suatu hari, mereka bermain di Rogojampi tak jauh
dari Banyuwangi. Pada waktu bersamaan, grup sandiwara yang lain,
Dardanella pimpinan Willy Klimanoff yang sudah terkenal, main di
Banyuwangi.
Tidak lama kemudian Willy Klimanoff melamar Soetidjah. "Ternyata
Klimanoff melihat pertunjukan kami. Katanya ia tertarik pada
saya ketika saya menyanyikan lagu Kopi Soesoe yang ketika itu
memang sedang populer," tutur Dewi Dja. Pak Adi sebenarnya tidak
mengizinkan putrinya menikah dengan orang Rusia kelahiran Penang
itu, kalau saja bukan asisten wedana yang membantu meminangnya.
Soetidjah sendiri, ketika itu 14 tahun, sesungguhnya tertarik
pada kepribadian Klimanoff, yang lebih terkenal dengan panggilan
Piedro, "Dia ramah dan lemahembut," kenang Dewi Dja. Maka
bergabunglah Soetidjah dengan Dardanella, tempat ia kemudian
meniti jenjang karir. Dalam Dardanella pula ia belajar membaca
dan menulis huruf Latin. "Setiap hari ada jam-jam tertentu
Klimanoff mengajar baca-tulis pada anggota rombongannya," kata
Dewi Dja. Anak-anak wayang yang semula main tanpa teks itu, juga
mengenal naskah tertulis dari Piedro.
Dalam kebanyakan cerita-cerita yang dipentaskannya, Piedro
(warganegara Inggris), tak lupa menyelipkan sindiran-sindiran
terhadap pemerintah kolonial Belanda pada saat itu. Misalnya
menceritakan mengenai candi Borobudur yang tak terawat dan
ketika itu tertutup oleh rerumputan dan lumut. Ini menggambarkan
bagaimana pemerintah kolonial berusaha menutup-nutupi kebesaran
kebudayaan bangsa Indonesia.
Ketika mereka mementaskan Si Digoel, pimpinan Dardanella dan
beberapa aktor seniornya dijebloskan dalam penjara. Waktu itu
memang banyak pemimpin pergerakan nasional yang diasingkan ke
Digoel, Irian. Dardanella tidak jera. Mereka mementaskan
beberapa cerita lain yang tak kurang tajamnya, seperti
Perantaian 99.
Ketika itu Dewi Dja belum terkenal, hanya kebagian peranan
pembantu atau sebagai biduan dalam acara-acara selingan antara
babak-babak sandiwara saja.
NAMA Dewi Dja mulai menanjak ketika ia memerankan Sukaesih,
tokoh utama dalam Dokter Samsi karangan Andjar Asmara, sebuah
lakon dengan latar-belakang pergerakan nasional -- dua tahun
sejak Soetidjah bergabung dengan Dardanella. Tokoh Soekaesih
sebenarnya akan diperankan Miss Riboet. Tapi karena pada saatnya
Miss Riboet sakit, Soetidjah tampil menggantikannya. Meskipun
usianya baru 16 tahun, akting Soetidjah cukup meyakinkan. Dan
sejak itulah ia muncul sebagai primadona, terkenal dengan nama
Dewi Dja.
Di zaman itu honorarium anak wayang sangat sedikit. Para pemain
stamboel biasanya hanya seperak atau tiga talen sekali main.
"Itu sudah lumayan, karena ketika itu harga beras sekilo lima
sen," ujar Dewi Dja. Tapi honorarium yang cukup besar diterima
oleh para pemain toneel Dardanella. Tan Tjeng Bok misalnya,
semalam menerima 10 perak, sementara Fifi Young dan Miss Riboet
menerima tujuh perak.
Rombongan Dardanella yang sempat bermain hampir di seluruh
Indonesia itu sudah ratusan kali memainkan lakon Dokter Samsi.
Dewi Dja ingat betul betapa sambutan masyarakat dan pers kala
itu ketika ia bermain di Gedung Thalia di Mangga Besar, Jakarta.
"Koran-koran mengkritik dan memuji. Bahkan banyak yang
menyarankan, agar Dardanella juga memperkenalkan kesenian sampai
ke luar negeri," cerita seniwati serba-bisa itu.
"Ketika keluar dari Indonesia saya sweet seventeen, ketika itu
masih segersegernya," ujar Dewi Dja terkekeh-kekeh. Maka
melawatlah Dardanella ke Hongkong, New Delhi, Karachi, Bagdad,
Basra, Beirut, Kairo, Yerusalem, Athena, Roma. Terus keliling
Negeri Belanda, Swiss, Jerman. Rombongan besar ini terdiri dari
sekitar 150 orang lebih. "Ketika pecah Perang Dunia I, kami
berada di Munich," tutur Dewi Dja.
Selama di luar negeri, nama Dardanella diubah menjadi The Royal
Bali-Java Dance. "Kami lebih mengutamakan tari-tarian daripada
sandiwara, sebab khawatir penonton tidak tahu bahasanya,"
tambahnya.
Meski begitu, ketika di New Delhi mereka sempat memainkan Dokter
Samsi. Bahkan perusahaan film negeri itu, Radha Film Coy, sempat
memfilmkannya. Piedro dan Dewi Dja konon juga sempat menginap di
rumah Mahatma Gandhi, Bapak Republik India itu. Tari-tarian
mereka pun, seperti serimpi (yang mereka pelajari dari kraton
Jawa di Sala dan Yogya) atau tari Bali, di India dianggap
merupakan semacam pembaharuan dari tari-tarian India. Maklum,
agaknya lantaran sumbernya sama.
Di AS, rombongan Royal Bali-Java Dance berkeliling hampir ke
seluruh kota besar dengan sponsor Columbia. "Kami keliling,
tidur di trem saja. Cuma di New York menetap dua minggu," tutur
Dewi Dja.
Perang Dunia II pecah, dan Indonesia diduduki Jepang, rombongan
itu tidak bisa pulang. Setelah perang usai anggota rombongan
tinggal belasan orang, sebab sebagian berusaha pulang. Dan
semangat pun mulai luntur.
Untuk menyambung hidup, Piedro dan Dewi Dja membuka niteclub
Sarong Room di Chicago, yang sayang terbakar habis pada 1946.
Sampai di sini rupanya Piedro benar-benar sudah capek. Ia
meninggal di Chicago pada 1952.
Ketika Sutan Syahrir memimpin delegasi RI untuk memperjuangkan
pengakuan internasional terhadap kemerdekaan Indonesia di PBB
(1947), ia sempat memperkenalkan Dewi Dja sebagai duta
kebudayaan kepada masyarakat AS. Dan namanya pun makin dikenal
di negara itu. Sebab itu tak sulit baginya mendapatkan
kewarganegaraan AS.
Tahun-tahun pertama ditinggal suami," saya sering menangis. Saya
ingin pulang. Rasanya ingin sekali mencari ayah yang saya anggap
telah hilang akibat perang," kata Dewi Dja dengan tenang. Hari
Selasa 17 Agustus lalu, Dewi Dja bersama para artis tua
Tangkiwood hadir di Istana Merdeka, turut merayakan perayaan
kemerdekaan tersebut.
Tapi sepeninggal Piedro, Dardanella masih sempat berkeliling.
Dewi Dja melatih para artis AS menari berbagai macam tarian
daerah Indonesia. "Ketika itu susah sekali, hidup saya sulit.
Tapi waktu itu nama saya besar," tutur Dewi Dja. Untunglah
banyak bintang film yang membantunya. Ia akrab dengan Greta
Garbo, Carry Cooper, Bob Hope, Dorothy Lamour, Bing Crosby. Dewi
Dja juga sempat bermain dalam beberapa film, antara lain The
Moon And Sixpence, riwayat hidup pelukis Prancis Paul Gaugin.
Selain mengisi acara televisi Los Angeles, Dewi Dja juga pernah
membuka usaha menyalurkan para artis terutama yang berdarah
Asia. Dan dalam masa pensiun sejak tiga tahun lalu, ia masih
sempat melatih tari bagi para remaja Indonesia dan AS. Ia juga
menerima semacam dana pensiun dari Union Artists tempatnya
bergabung. "Cukuplah untuk makan," katanya.
TAK lama setelah Piedro meninggal Dewi Dja menikah dengan
seorang pelukis berdarah Indian. Hanya setahun, karena si
pelukis suka mabuk. Ia pun kemudian kawin dengan Ali Assan,
pesilat asal Gresik yang juga menetap di AS. Tapi beberapa tahun
kemudian mereka pun bercerai.
Kini Dewi tinggal di kawasan Mission Hill, sekitar San Fernando
Valley, 22 km utara Los Angeles. Di rumah berkamar tiga di
pinggiran kota itu ia tinggal bersama Ratna Assan, satu-satunya
anak kandung Dewi Dja dari perkawinannya dengan Ali Assan.
Ratna Assan yang kini sering menari di televisi dan niteclub,
pernah bermain bersama Steve McQueen dalam film Papillon. Pada
hari-hari tertentu Dewi Dja masih sempat bermain di Valencia. Di
sana ada California Institute of The Arts, yang juga memberikan
pelajaran tari Jawa dan Bali.
Rumah bekas primadona di kaki Pegunungan San Gabriel itu
tampaknya nyaman. Ada kebun cukup luas di belakang dengan
beberapa tanaman bunga. Namun agaknya ia masih menyimpan
perasaan rindu pulang. Ia mengaku sudah tidak ingin makanan enak
atau pakaian yang indah-indah. Dan ingin sekali berlama-lama
tinggal di perkampungan desa di Indonesia. "Saya ingin merasakan
suasana yang rileks dan tenteram," katanya dengan polos. Dan
dengan lirih ia pun berkata: "Saya ingin membuat kuburan di
sini, kalau bisa dekat makam Bung Karno di Blitar".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini