BUDAYA POLITIK DAN PEMBANGUNAN EKONOMI
Pengarang: Albert Widjaja Tebal: 277 halaman
Penerbit: LP3ES, 1982.
STUDI mengenai Indonesia modern, khususnya mengenai pembangunan
ekonomi, sering ditulis para sarjana Barat. Karena itu terbitnya
buku/disertasi Saudara Albert Widjaja ini perlu kita sambut di
tengah kelangkaan penerbitan tentang proses pembangunan yang
ditulis sarjana Indonesia.
Juga penting, karena melalui bukunya Albert Widjaja dapat
mengungkapkan secara ilmiah "tabir misteri" yang selama ini
menutupi alam pikiran rakyat lndonesia. Ialah: Apa perbedaan
dasar antara Orde Lama dan Orde Baru? Apakah pimpinan elite Orde
Baru lebih "development oriented", dalam artian luas, dari
pimpinan rezim Orde Lama? Pertanyaan-pertanyaan tersebut yang
menjadi tema pokok buku ini.
Kurun waktu yang dipilih Albert Widjaja, untuk membandingkan
perkembangan politik dan pertumbuhan ekonormi antara rezim Orde
Lama dan rezim Orde Baru, adalah antara 1961-1964 dan 1968-1971.
Albert Widaja menarik beberapa kesimpulan sangat penting yang
akan mempunyai dampak jangka panjang terhadap kelestarian
pembangunan di negara kita.
Orde Baru memang telah berhasil membuat suatu perubahan mendasar
dalam perekonomian Indonesia. Para perencana ekonomi dan para
penguasa, menurut Albert Widjaja, telah berhasil membangun. Ini
dibuktikan dengan semakin naiknya konsumsi masyarakat, ekspor,
dan produksi beras -- tiga variabel ekonomi yang menunjukkan
kemacetan dalam periode Orde Lama.
Tetapi menurut Albert Widjaja, keberhasilan membangun
perekonomian pada periode 1968-1971 diikuti timbulnya gejala
yang menunjukkan bahwa para elite Orde Baru kurang berminat pada
mobilitas, keadilan sosial, dan perbaikan nasib kalangan miskin
dan lemah (hal.216).
Sayang, Albert Widjaja tidak secara eksplisit menjelaskan
mengapa. Apakah kurangnya perhatian terhadap keadilan sosial
erat hubungannya dengan depolitisasi dari proses pembangunan
Indonesia periode 1968-1971. Ataukah gejala orientasi para
elite Orde Baru pada status quo ada hubungannya dengan usaha
mereka memonopoli faktor-faktor produksi? Tetapi kenyataan bahwa
elite Orde Baru adalah elite yang mempertahankan status quo
merupakan gejala yang memprihatinkan, karena akan sangat
menentukan kelestarian pembangunan itu sendiri.
Evaluasi suatu hasil pembangunan di negara berkembang selalu
didasarkan pada 'production measurement. Pembangunan dianggap
berhasil bila telah berhasil menaikkan produksi. Jarang orang
mengevaluasi keberhasilan berdasarkan "sustainability
measurement', atau ukuran sejauh mana pembangunan yang berhasil
itu akan lestari. Suatu strategi pembangunan yang berhasil
menaikkan produksi, belum tentu akan berakibat "sustainabdity
system" dan "stabity system ".
Untuk mencapai keadaan ideal, yakni sistem yang dapat menajkkan
produksi dan sekaligus melestarikan sistem itu sendiri, perlu
adanya budaya politik yang lebih akomodatif dari para elite Orde
Baru yang dipercaya mengantar rakyat Indonesia ke tingkat hidup
yang lebih baik. Dalam hal ini berarti sifat yang tanggap
terhadap kritik, terhadap nasib orang miskin, dan bukan reaktif
dan defensif. Kepemimpinan yang hanya berminat memelihara status
quo atau memupuk kepentingan sendiri hanya menghasilkan
ketimpangan pembangunan. Dan ketimpangan pembangunan sendiri
akan mengancam, dalam jangka panjang, "sustainability" dan
"stability " sistem politik itu sendiri.
Kelemahan lain buku ini yang kami temui dalam buku ini, ialah
tidak adanya rekomendasi penulis untuk memperbaiki sistem
politik yang ada saat ini. Pengarang berhenti pada analisa,
tidak beranjak lebih lanjut ke suatu "problem solution." Ini
mungkin disebabkan sifat "rikuh", yang takut dianggap
"menggurui".
Walau begitu, kami berpendapat buku ini perlu dimiliki oleh para
ilmuwan dan pengamat proses pembangunan. Dengan membacanya,
orang akan merasa bahwa sebenarnya hambatan pembangunan di
negara kita tidak mutlak disebabkan oleh "massa rakyat yang
bersifat tradisional". Lebih kompleks daripada itu karena para
elite kita pun, yang selama ini kita harapkan telah memiliki
budaya politik modern, masih tradisional.
Loekman Soetrisno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini