Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran
Agus Suwage, perupa senior, mengeksplorasi egoisme dan luka, sementara Nadya dengan goresan cat minyak menyajikan karya yang ilusif.
Karya-karya Nadya seperti menyusuri alam nyata dan ruang lain, ada dan tiada.
DARI kejauhan, ujung menara boks setinggi lebih dari lima meter itu terlihat mengkilat, berkilau keemasan, ditempa sinar matahari sore hampir di sudut ruang Orange di galeri ROH, Jakarta. Sepertiga monumen itu memang dilumuri cat berwarna emas, tampak megah. Tersusun dari 45 boks seng lawas produksi akhir 1970-an seperti bentuk piramida, visualnya seperti dari material yang sangat kokoh. Makin mendekati obyek, makin terlihat “motif” seng lawas yang sangat khas. Tak sesempurna dan sekokoh monumen itu, di beberapa boks terlihat beberapa noda karat. Noda yang sengaja dibuat atau tercipta karena cipratan kencing anjing yang ikut mewarnai proses kreatif saat pembuatan menara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agus Suwage, sang seniman, menamai karyanya Monumen Ego, yang mulai dibuat pada 2020. Pucuk menara ini pernah ia warnai seperti karat. Namun ia tak menemukan sesuatu yang menarik dari visual tersebut. Kemudian ia mengubahnya dengan warna perada, warna emas. Warna yang memberi kesan mewah dan megah dalam karya itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mendahuluinya dengan 12 karya cat air dan tinta di kertas pada 2019 yang kemudian diberi judul Studi Monumen Ego. Dari karya ini, pengunjung bisa melihat Agus menempatkan gambar dirinya melebur di dalam goresan gambar monumen itu. Ada momen ia duduk berjongkok dengan nyaman di dalam monumen. Ia juga tampak sekadar berdiri di samping, di depan, atau membelakangi monumen, memandangi obyek dalam karyanya. Terlihat pula ia tampak mencelat keluar menembus monumennya. “Melalui ini saya mencoba menempatkan ego-ego saya. Ego jika tak dikelola akan menghancurkan,” ujar Agus kepada Tempo.
Agus Sugawe. Tempo/Dian Yuliastuti
Ia menggambarkan dirinya bersama ego itu, dalam sapuan kuas cat air yang kadang dibiarkan mbleber. Agus tak ingin karyanya terlalu polos dan monoton. Ia menunggu warna misteri yang datang dari setiap sapuan kuasnya di kertas. Ia melukis dengan cat air dan rendaman daun tembakau srintil yang menghasilkan warna-warna monokrom dalam karya-karya yang dipajang. Ada keindahan, kemegahan, dan luka dari karya-karya Agus dalam pameran berjudul “Ziggurat” ini, yang dihelat selama 18 Mei-23 Juni 2024.
Pada lukisan sosok-sosok perempuan dengan punggung terbuka membelakangi pengunjung, berjudul Stigma II-1 dan Stigma II-2, rebusan air tembakau digunakan untuk menghasilkan warna cokelat karamel yang cukup pekat yang dicampur dengan pengawet makanan. Demikian pula pada lukisan Frida, Moksa, dan Samadi. Warna-warna cokelat caramel yang cukup unik. Agus biasanya menambahkan percikan air atau membiarkan air meleler untuk memperkaya lukisannya. Moksa berupa karya yang terinspirasi kematian Resi Bisma di Padang Kurusetra yang tubuhnya tak menyentuh tanah tertancap anak panah. Sosok tubuh berotot liat itu tampak melayang di antara tangkai-tangkai mawar emas.
Pada karya-karya ini, kecantikan, kemegahan yang dibarengi luka, tangkai-tangkai mawar atau batang anak panah berwarna emas bertaburan. Adapun lukisan Beuys—Joseph Beuys, sosok seniman kontemporer Jerman—dibuat dengan kombinasi cat air dan rendaman air tembakau. Ia tampak melangkah mantap, menatap ke depan, bertabur penghargaan—dengan tangkai mawar.
Pada pameran kali ini, ROH menghadirkan karya-karya dua seniman sekaligus. Selain karya Agus Suwage yang sudah senior, ada karya Nadya Jiwa, perupa muda yang lahir di Jerman. Dalam pameran berjudul “Ziggurat” dan “Sadar”, pengunjung galeri akan mendapatkan dua pengalaman yang sangat berbeda dibanding karya para senimannya.
Stigma II-1 dan 2 karya Agus Suwage dalam pameran bertajuk Ziggurat di Roh Project, Jakarta, 29 Mei 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Sementara Agus menghadirkan karya dengan nuansa keindahan, kemegahan, dan luka dalam warna monokrom dan sentuhan perada, Nadya, perupa lulusan Institut Teknologi Bandung, menghadirkan karya yang ilusif. Pada bidang dinding yang gelap, suasana muram seperti langsung menyergap pengunjung.
Di bagian depan, karya-karya Nadya menghiasi bidang-bidang dinding ruang Apple. Karya Nadya lebih abstrak dalam judul Sadar. Lukisan cat minyak di kanvas Nadya seperti sebuah peristiwa yang mengendap dalam pikiran. Dari sang perupa yang menghadirkan kompleksitasnya, lewat karya berjudul Sadar, pengunjung akan melihat Nadya mampu mempertimbangkan hal-hal yang tampak dan tidak tampak, juga hal-hal yang ada dalam alam tak berwujud. Pengunjung seperti melihat sesuatu yang tak terlalu tampak mewujud, seperti bayangan atau ilusi di kejauhan. Ada sosok-sosok dan peristiwa yang terjadi di dalamnya.
Karya Nadya seperti mengajak pengunjung menjelajah di sebuah ruang antah-berantah. Suatu ruang, atau kekosongan, tempat benda-benda yang asing dan tidak diketahui, tidak disebutkan namanya, serta kehidupan yang tidak terlihat muncul secara sembarangan.
Ada dialog yang ditawarkan Nadya dengan karyanya yang juga terinspirasi adegan kisah atau cerita legenda mitologi, buku yang dibacanya semasa kecil, film, atau lagu yang ia dengar. Misalnya mitologi Cipamali Dayang Sumbi tentang kemunculan Gunung Tangkuban Parahu. Dalam Pawon, karya yang paling besar di antara 11 karya, pengunjung seperti diajak menelusuri sebuah adegan di dapur dengan tungku kayu yang menyala dan sesosok tubuh perempuan berada di dekatnya. Dalam latar yang sama, seperti ada dua sosok yang tengah bergumul serta sosok-sosok tubuh dalam gulungan ilusi.
Lewat karya lain berjudul Untitled, kita juga diajak melihat beberapa fragmen atau adegan dalam satu goresan di kanvas. Sebuah pergumulan di kejauhan seperti disaksikan oleh sesosok tubuh. Dalam fragmen lain, berkumpul sekelompok orang dan dua sosok tubuh di depan sebuah rongga.
Pawon karya Nadya Jiwa dalam pameran bertajuk Ziggurat, di ROH Project, Jakarta. Tempo/Dian Yuliastuti
Dua sosok tampak intim duduk dalam tubuh yang agak membungkuk, sosok yang di belakang bertumpu pada yang di depan. Yang duduk di bagian depan tertunduk, sementara yang di sebelahnya agak mendongak seperti mencari sesuatu. Nadya memberi judul karya itu Isyarat.
Kepiawaian Nadya mengolah cat dan menorehkannya dengan kuas menghasilkan karya yang seperti ilusi, ada di ambang nyata dan tak nyata, ada dan tiada, tampak dan tidak tampak, seperti saat kita di batas sadar dan tak sadar. Semuanya menjadi kabur melalui strategi visual yang awalnya tampak suram, gelap, atau bahkan memancing perasaan gemetar atau melankolis.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Agus dan Nadya: Dua Perbedaan"