Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Perlawanan Ludruk dalam Lukisan Moelyono

Moelyono menelusuri komunitas ludruk di Jawa Timur. Ia mengangkat tema perlawanan ludruk ke kanvas. 

15 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Lukisan apropriasi (pengambilalihan citra) Moelyono atas lukisan Sudjojono, "Di Depan Kelambu Terbuka". Dok. Pribadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LUKISAN itu menampilkan sesosok perempuan berumur duduk di bawah kelambu. Ia mengenakan kemban kuning dan jarik bermotif parang dengan warna dasar putih. Ia bergelung dengan tiga tusuk konde. Riasan gelungnya seperti riasan pengantin. Sebuah selendang merah terkalung di lehernya, selendang panjang yang jatuh hampir menyentuh lantai. Sorot matanya tegas. Tidak ada senyum di wajahnya. Tubuhnya seolah-olah tegang. Kedua tangannya beraksesori cincin. Gelang sederhana berbentuk butiran tasbih kecil melingkar di pergelangan tangan kirinya. Ia duduk di sebuah kursi berdesain antik. Kakinya seolah-olah berjinjit. Lukisan itu sangat realistis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Lukisan tersebut apropriasi (pengambilalihan citra) saya atas lukisan Sudjojono, Di Depan Kelambu Terbuka. Saya pamerkan di Student Hub, Flinders University, Bedford Park, Australia, pada 2018 dengan kerja sama Flinders University Museum of Art," kata Moelyono. Selama 29 Oktober-2 November 2018, Moelyono menjalani residensi di Flinders University. Lukisan tersebut pernah dipamerkan Moelyono pada 2017 dalam pameran tunggal "Amok Tanah Jawa" di Galeri Langgeng, Yogyakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menarik bila kita bandingkan lukisan S. Sudjojono dengan apropriasi Moelyono. Model perempuan berkebaya dan berjarik yang duduk di bawah kelambu dengan air muka dan tatapan mata merana dalam lukisan Kelambu Terbuka Sudjojono adalah “istri” pertama Sudjojono. Kita tahu ia adalah pelacur di Senen, Jakarta, bernama Fatimah (nama panggilannya Adhesi) asal Cirebon, Jawa Barat, yang dibawa Sudjojono ke rumah dan tinggal bersamanya serta diberi nama baru, yakni Miryam (meski kemudian Fatimah melarikan diri dan kembali ke pelacuran). Sedangkan model yang dilukis Moelyono adalah tokoh ludruk di Malang, Jawa Timur, yang kerap dipanggil Mama Samsu. 

Dalam ludruk, selalu ada tokoh wanita yang diperankan pria. Mama Samsu adalah tranvestite di panggung ludruk. Mama Samsu bernama asli Samsuarto. Ia sarjana hukum dari Universitas Brawijaya, Malang, lulusan 1983. Mama Samsu wafat pada 2018 di Rumah Sakit Islam Unisma, Malang, pada usia 63 tahun. Ia langsung dimakamkan di Desa Jurangjero, Kecamatan Kutorejo, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. “Saya mengambil foto dan merekam video Mama Samsu di Malang pada 2017,” tutur Moelyono. Mama Samsu saat itu tinggal di kawasan Sukun, Malang. “Ia sehari-hari membuka salon dan menjahit,” ucap Moelyono. Di Sukun juga tinggal tokoh ludruk Malang bernama Totok Suprapto. Keduanya adalah sesepuh ludruk Malang dan sangat dihormati warga. Mereka bersahabat dekat. “Bahkan Mama Samsu sering disebut sebagai Bu Totok oleh warga,” ujarnya.

Menurut Moelyono, lukisan Depan Kelambu-nya sangat menarik perhatian akademikus dan warga kampus saat dipamerkan di Flinders University karena isu ludruk dan transgender. Ludruk adalah kesenian tradisi di Jawa Timur yang mengakomodasi dunia transgender serta diterima masyarakat. Flinders University dikenal sebagai universitas yang ramah terhadap lesbian,gay, biseksual, dan transgender. Dalam situs resminya dinyatakan bahwa universitas tersebut menerima secara terbuka keberagaman gender dan seksual mahasiswa dan stafnya. Mereka yang memiliki orientasi lesbian, gay, biseksual, panseksual, transgender, nonbiner, queer, dan lain-lain dihormati di kampus. 

“Saat ada diskusi mengenai ludruk dan gender di kampus Flinders, begitu banyak kalangan transgender yang datang. Bahkan saya lihat ada seorang perempuan berkumis di antara hadirin,” kata Moel—panggilan akrab Moelyono. Mereka sangat antusias bertanya karena ingin tahu tentang ludruk. “Bahkan ada yang mau beli lukisan itu. Dan cara bertanyanya sangat sopan, halus, dan hati-hati. Kepada saya orang itu bilang, 'Mama Samsu telah meninggal. Bolehkah Mama Samsu tinggal di rumah saya? Akan saya pasang di ruang tamu.'” 

Lukisan Moelyono berjudul "Sisiran Dulu", 170x270cm, cat minyak diatas kanvas, 2002. Dok. Pribadi

Tahun ini, Moel kembali ke Australia. Setelah di Flinders University, Moel mengikuti pameran kelompok di TarraWarra Museum of Art, Healesville, Victoria, bertema "The Soils Project". Pameran dibuka pada Agustus lalu dan masih berlangsung sampai 12 November mendatang, diikuti 13 perupa dan kolektif seniman dari Belanda dan Indonesia serta warga Aborigin. Moel menghadirkan dua lukisan besar di atas kanvas bertema ludruk berjudul Berkaca Dulu (170 x 270 sentimeter) yang dibuat pada 2020 dan Tandak Samira (190 x 270 sentimeter) yang diciptakan tahun lalu.

Berkaca Dulu adalah karya satire Moel atas lukisan Raden Saleh, Penangkapan Diponegoro. Dalam pameran di Yogyakarta pada 2017, Moel mengapropriasi Penangkapan Diponegoro. Moel melukis kembali adegan dalam lukisan itu. Pose dan gestur Raden Saleh kurang-lebih sama. Hanya, wajah para pengikut Diponegoro diganti dengan wajah-wajah pemain ludruk dari Jombang, Jawa Timur. 

Diperlihatkan di teras Gedung Karesidenan Magelang, wajah sosok berjubah putih Diponegoro diganti dengan paras mirip Moel berdiri diapit seorang perempuan cantik berkebaya dan para pegawai dinas berseragam hijau. Di undakan lantai dan di halaman, tampak belasan pengikut “Diponegoro” seolah-olah menyambut kemunculannya. Di antara mereka, ada yang membawa tandan pisang, kambing, bahkan balok es batu. Gerak-gerik dan ekspresi mereka bermacam. Seorang perempuan berkemban yang posenya fotogenik bahkan tampak seperti sadar dipotret dan seorang pria membawa cermin kecil merias diri seolah-olah bersiap naik pentas. Wajah mereka diambil dari para pemain ludruk. Pose dan gaya mereka jelas jauh berbeda dengan gestur pengikut Diponegoro dalam lukisan Raden Saleh. 

Akan halnya Tandak Samira, kita melihat “montase” Moel. Delapan petani bercaping mengangkat pacul sebagai senjata. Di sebelah kanan mereka, terdapat pasukan Belanda yang citranya diambil dari sosok-sosok prajurit di lukisan Rembrandt, The Night Watch. Di tengah dua pasukan itu, ada sosok seperti Sakerah tengah menari dengan perempuan tayub. Di sana-sini diselipkan Moel dunia ludruk. Seorang “waria” tengah duduk merokok, sementara waria lain tengah memplester mulut seseorang.  

Setelah malang melintang masuk ke daerah-daerah terpencil Nusantara mengajar anak-anak menggambar, Moel tergerak melukis lagi pada 2017. Moel sesungguhnya adalah pelukis yang memiliki keterampilan melukis realistis yang tinggi. Ludruk memikat Moel karena mengandung elemen perlawanan. “Ketoprak itu lebih ke kelas menengah, ludruk betul-betul kesenian rakyat,” ucapnya. Kisah perlawanan Sakerah, misalnya, menjadi tema utama ludruk. “Saat pemerintah kolonial menggunakan lori-lori mengangkut tebu dari pabrik gula, usaha pedati Sakerah bangkrut dan ia memprotes,” tutur Moel.

Perlawanan Sakerah membuat Belanda kewalahan. Sakerah selalu mampu bersembunyi dari kejaran Belanda. Tapi Sakerah kemudian muncul setelah digelar ronggeng tayub dengan penari Samirah. Dalam ludruk, Tandhak Samirah adalah lakon terkenal. Lukisan Mama Samsu “di bawah kelambu” juga sesungguhnya menampilkan Mama Samsu dalam kostum Samirah. 

Pada saat pembukaan pameran di Yogyakarta, Moel membawa rombongan pemain ludruk Budhi Jaya dari Desa Ketapang Kuning, Jombang, Jawa Timur, untuk memainkan petilan Sakerah. “Saya kenal mereka  lewat teman-teman Lesbumi Jombang,” katanya. Wajah para anggota kelompok ludruk Budhi Jaya ini yang lantas ia tampilkan dalam apropriasi lukisan Penangkapan Diponegoro.  

Moel kemudian mengupayakan bantuan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk menyelenggarakan Festival Ludruk di Ketapang Kuning. “November ini adalah festival yang ketiga. Silakan datang ke Jombang nanti,” ujarnya. Menurut dia, bantuan Kementerian Pendidikan sudah habis tahun depan. Ia berencana menghadap Bupati Jombang untuk mendanai kelanjutan festival. “Di Flinders dan TarraWarra Museum of Art, mereka tertarik sekali mendengar kisah perlawanan dalam ludruk,” ucapnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dari Flinders University sampai TarraWarra Museum of Art"

Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus