Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sastrawan-dramawan Norwegia, Jon Fosse, menerima Hadiah Nobel Sastra 2023.
Karyanya dinilai inovatif dan menyuarakan hal yang tak terungkap.
DI hadapan para jurnalis, Mats Malm, Sekretaris Tetap Akademi Swedia, mengumumkan nama peraih Hadiah Nobel di bidang sastra. Kali ini Komite Nobel menganugerahkan penghargaan itu kepada sastrawan Norwegia, Jon Fosse, Kamis, 5 Oktober lalu. Komite menetapkan Fosse sebagai penerima Hadiah Nobel Sastra atas "naskah drama dan prosa inovatifnya yang menyuarakan hal-hal yang tidak dapat diungkapkan".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat Malm memberi tahu Fosse lewat telepon, sastrawan berberewok ini tengah berkendara di sepanjang Sognefjord di perdesaan Norwegia. Mereka lalu membincangkan rencana acara dan kegiatan pada Pekan Nobel, Desember mendatang. Fosse mengungkapkan rasa terima kasihnya dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan penerbitnya di Norwegia, Samlaget. “Saya bersyukur,” katanya. “Saya melihat ini sebagai penghargaan terhadap sastra yang tujuan utamanya adalah sastra, tanpa pertimbangan lain."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah mengumumkan nama Fosse, Malm memberikan panggung kepada Ketua Komite Nobel Sastra Anders Olsson untuk menjabarkan alasan pemilihan Fosse dan karya-karyanya. Fosse adalah sastrawan keempat Norwegia yang meraih Hadiah Nobel. Sebelumnya ada novelis Sigrid Unset yang menang pada 1928.
Dengan santai Olsson berdiri, siku kirinya bertumpu pada meja, menjelaskan siapa Fosse. Sastrawan itu lahir di Haugesund, pantai barat Norwegia, pada 1959. Karyanya sangat banyak ditulis dalam bahasa Nynorks, yang sudah amat jarang dipakai penduduk lokal. Karya itu mencakup beragam genre, dari drama, novel, puisi, esai, cerita anak, hingga terjemahan.
Olsson menyebutkan kehebatan Fosse seperti pendahulunya, Tarjei Vesaas, yang menggabungkan kelokalan linguistik dan geografis dengan teknik artistik modernis. Fosse disebut terinspirasi Samuel Beckett, Thomas Bernhard, dan Georg Trakl. Kendati demikian, karyanya mengandung kehangatan, humor, dan kerentanan pengalaman manusia. Menurut Olsson, karya-karyanya mengungkapkan emosi manusia yang paling kuat. “Berupa kecemasan dan ketidakberdayaan dalam istilah sehari-hari yang paling sederhana,” ujarnya.
Melalui kemampuan inilah, Olsson menambahkan, Fosse membicarakan hilangnya orientasi manusia dan bagaimana hal ini secara paradoks dapat memberikan pemaknaan manusia lebih dalam. Di dalamnya terdapat pengalaman yang dekat dengan keilahian.
Selain tersohor berkat karya dramanya, Fosse dikenal karena prosanya. Ia memulai kiprahnya sebagai sastrawan melalui novelnya yang mengangkat tema bunuh diri. Judulnya: Raudt, svart (1983). Olsson menyebut Fosse sebagai sastrawan hebat yang menjadi inovator dalam monolog, juga prosa. Karya sentral Fosse adalah Septology. Tiga buku Septology terakhir ia selesaikan pada 2021: Det andre namnet (2019), Eg er ein annan (2020), dan Eit nytt namn (2021). Karyanya ini tertulis dalam 1.250 halaman. Novel tersebut dibuat dalam bentuk monolog dengan seorang seniman lanjut usia berbicara kepada diri sendiri sebagai orang lain.
Monolog itu berlangsung tanpa henti dan tanpa jeda kalimat, tapi secara formal disatukan melalui pengulangan, tema yang berulang, dan rentang waktu tetap selama tujuh hari. Setiap bagiannya dibuka dengan kalimat yang sama dan diakhiri dengan doa yang sama pula kepada Tuhan.
Jon Foss di Oslo, Norwegia, September 2019. NTB/Hakon Mosvold Larsen via Reuters
Penerjemah buku Amerika Serikat yang telah mengalibahasakan setidaknya 50 buku, Damion Searls, menuliskan kesannya kepada Fosse. Menurut Searls, Fosse tak banyak berbicara tentang karyanya. Ia lebih suka menggambarkan karyanya dalam satu kata: kedamaian. “Buku-bukunya memiliki ketenangan, simpati yang rendah hati terhadap kondisi manusia, mendorong para pengulas menggunakan meditasi, agama, dan mimpi,” tuturnya. Searls mengatakan karya Fosse pernah membuatnya menangis saat ia menerjemahkan, bahkan saat tulisan masih dalam bentuk draf, hingga penyuntingan.
Septology, Searls menambahkan, menjadi kanvas terbesar Fosse untuk bekerja. Serangkaian karya ini juga menjadi tempat terbaik bagi pembaca baru untuk mulai membaca karya Fosse. Ia menyebut Septology sebagai prosa lambat, memberinya waktu dan ruang untuk melakukan peregangan dan membiarkan sesuatu terungkap serta berkembang dengan lambat. Ia juga menyebut Fosse sebagai penyair yang produktif meski hanya sedikit puisinya yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris.
Fosse menulis lebih 40 naskah drama dan 30 karya fiksi dalam bahasa Nynorsk. Ia tumbuh di area pertanian di dekat Strandebarm, Norwegia. Ayahnya bekerja sebagai manajer di sebuah toko kelontong dan ibunya seorang pengasuh. Sejak kecil ia aktif di sebuah kelompok musik. Ia mulai menulis pada usia 12 tahun. Mulanya ia menulis lirik lagu, lalu membuat puisi. Pada 1979, dia lulus sekolah menengah atas dan pindah ke Bergen untuk bekerja pada surat kabar Gula Tidend dan sekaligus menjadi ayah muda.
Pada 1980-an, ia belajar di University of Bergen. Ia menerima gelar MA dalam bidang sastra komparatif pada 1987. Novel pertamanya terbit pada 1983, berjudul Raudt, svart, yang mengangkat topik bunuh diri. Pada 1985, dia menerbitkan Stengd gitar (1985) tentang seorang ibu yang mendapati jalan buntu. Kedua karya itu mulai melambungkan nama Fosse.
Ia pun menerbitkan kumpulan puisi, Engel med vatn i augene (1986), dan kumpulan esai pertamanya, Frå telling via showing til writing (1989;). Fosse juga menjadi instruktur di Akademi Penulisan di Hordaland. Lalu terbit novelnya yang berjudul Naustet (1989) yang berkisah tentang pria 30 tahun yang tinggal sebagai pertapa di rumah ibunya dan secara kebetulan bertemu dengan mantan rekannya di grup musik serta mengganggu pernikahan teman lama itu—dikenal luas di Norwegia.
Pada 1992, ia menulis naskah drama yang kemudian terbit pada 1996, Nokon kjem til å komme. Setelah itu, segera saja naskah-naskah lain ia tulis, seperti Og aldri skal vi skiljast yang dipentaskan di teater nasional di Bergen pada 1994. Namun pementasan Someone Is Going to Come di Paris karya sutradara Prancis, Claude Régy, pada 1999-lah yang membawa terobosan bagi Fosse di Eropa.
Kesuksesan itu membuatnya memfokuskan diri pada naskah drama. Seperti prosanya, naskah dramanya cenderung berlama-lama pada saat penuh harapan dan keraguan. Naskah dramanya antara lain Ein sommars dag (1999); Dødsvariasjonar (2002); drama satu babak tentang seorang gadis yang mempertanyakan keputusannya bunuh diri, diceritakan secara terbalik saat kematiannya; dan Eg er vinden (2008). Ia banyak menulis naskah drama, tapi sesekali ia juga membuat prosa pada 2000-an.
Karya triloginya tentang sepasang manusia, Asle dan Alidayang, yang hidup selama berabad-abad lahir pada 2007. Ia memulainya dengan Andvake (2007), lalu Olavs Draumar (2012) dan Kveldsvævd (2014). Karya trilogi ini mendapat Penghargaan Sastra Dewan Nordik pada 2015. Jon Fosse pun lanjut berkarya dengan menciptakan tujuh seri novelnya, Septology. Ia kembali menulis naskah drama pada 2020-an hingga tahun ini. Semuanya dipentaskan di Oslo.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Penyambung Suara yang Tak Terungkap"