Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“SAYA ingat saat ikut long march di Manila, di depan sendiri anak-anak teater berjalan mengenakan topeng Yesus. Topeng-topeng Yesus itu kemudian dicopot di depan Istana Malacañang dan ditaruh di pagar kawat berduri.” Siang itu, dalam perbincangan dengan Tempo, sehari sesudah menerima Penghargaan Akademi Jakarta, Moelyono, 66 tahun, menceritakan pengalamannya mengikuti demonstrasi di Filipina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari-hari itu, Filipina masih hangat dengan people power. Pada 1986, demonstrasi massal yang melibatkan jutaan orang di Manila menumbangkan rezim Ferdinand Marcos. Tiga tahun seusai gerakan kekuatan rakyat itu, tepatnya pada 1989, Moelyono mengikuti lokakarya Asian Council for People Culture (ACPC) di Manila. “Saya diajak ke rural-rural, daerah perdesaan, melihat aktivis teater PETA (Philippine Educational Theater Association) mengorganisasi warga,” kata perupa yang akrab disapa Moel itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PETA adalah komunitas teater di Filipina yang berdiri pada 1967 dan memiliki keberpihakan kuat terhadap masyarakat yang tertindas. Pada 1971, PETA menyelenggarakan Festival Teater Dunia Ketiga. "Dalam PETA, kata 'actor' menjadi artist-community oriented-teacher-organizer-researcher. Sebagai teaterawan, mereka tak hanya memanggungkan naskah drama, tapi juga melakukan kerja-kerja pendampingan masyarakat,” tutur Moel.
Moel ingat, di belakang arak-arakan aktivis teater bertopeng Yesus, terdapat iring-iringan jeepney, mobil jip yang menjadi sarana transportasi umum khas Filipina. Mobil-mobil ini mengangkut para demonstran yang membawa spanduk dan poster-poster besar, termasuk yang ia buat. “Aksi itu dilakukan saat Paskah, Jumat Agung. Pada hari itu polisi dan tentara tidak boleh membawa senjata,” ujar Moel. Dia mengakui keikutsertaannya dalam lokakarya di Filipina itu merupakan salah satu titik penting dalam hidupnya. “Dari program ACPC itu saya belajar banyak tentang pengorganisasian.”
Moelyono mendapat Penghargaan Akademi Jakarta atas praksis dan kerja-kerja pendampingannya menyiapkan anak-anak berusia di bawah 5 tahun di berbagai lokasi di Nusantara melalui pendidikan menggambar dan lain-lain agar mereka memiliki dasar-dasar cara berpikir kritis. Seno Gumira Ajidarma, Ketua Akademi Jakarta, dalam pidato penghargaan mengatakan Moel menciptakan “sekolah liar” di luar sistem pendidikan nasional. “Yang dikerjakan Moel adalah perlu. Pendekatan partisipatoris bermukim di kampung-kampung terpencil dan terpinggirkan dianggapnya sebagai pemahaman paling bertanggung jawab atas pendidikan.” Menurut Seno, Moel melakukan aktivitas pendidikan yang berpihak kepada orang-orang yang kalah.
Moel muncul di kancah seni rupa Indonesia pada 1985 sebagai mahasiswa Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). Karya tugas akhirnya yang berupa instalasi ditolak dewan dosen. Instalasi berjudul KUD (Koperasi Unit Desa) itu merefleksikan kemiskinan petani yang tinggal di rawa-rawa Desa Waung, Tulungagung, Jawa Timur. Moel menyajikan drawing wajah konglomerat di sebuah buku gambar yang ia taruh di atas tikar-tikar bersama pincuk-pincuk berisi tanah dan berbagai bibit yang hendak ditanam petani Desa Waung, dari bayam, kangkung, hingga cabai. Ia juga memasang empat mikrofon di depan radio transistor yang mendesis terus. “Saya ingin mendialogkan persoalan di desa ke kampus, tapi ditampik para dosen,” ucap Moel.
Ihwal ketidaksetujuan dosen ASRI terhadap instalasi Moel itu dituliskan Butet Kartaredjasa di koran Sinar Harapan edisi Senin 4 Maret 1985 dengan judul "Kesenian Unit Desa Ditolak". Sejak peristiwa itu, Moel dikenal sebagai perupa yang memiliki perhatian terhadap isu-isu masyarakat bawah.
Seorang anak menggambar di pasir panatai di Desan Brumbun, Tulungagung, sekitar 1985-1986. Dok. Pribadi
Pada 1986, Moel mulai masuk ke Desa Brumbun, Tulungagung. Brumbun adalah desa nelayan di pantai selatan. Desa itu miskin dan kekurangan air tawar bersih. “Saya datang dan disuruh mengajar gambar anak-anak sekolah dasar kelas I dan II di SD Kecil Ngrejo IV, Brumbun. Tapi anak-anak tidak punya buku gambar. Saya menggambar ikan di papan tulis, tapi tiba-tiba para murid menarik tangan saya mengajak ke pantai. Di pantai mereka lalu menggambar bebas apa saja di pasir dengan jari telunjuk, ujung kaki, batang kayu, pecahan batu, karang, kerang. Malah saya yang diajari anak-anak,” tutur Moel.
Tiap Sabtu-Minggu kemudian Moel aktif ke Brumbun. Moel mengajak anak-anak memperhatikan dan “mencatat” hal-hal sehari-hari dalam bentuk gambar. Tatkala sekitar 100 gambar anak-anak oleh Moel dipamerkan di rumah bambu seorang warga bernama Jono, yang mengagetkan ada anak yang menggambar warga berebut pipa air bersih. "Seorang warga sampai berseloroh, warga jangan rebutan air lagi, nanti dipamerkan anak-anak,” kata Moel, lalu tertawa.
Moel lantas membawa banyak gambar anak-anak Brumbun keluar. Pada 1988, karya anak Brumbun dipamerkan di Jakarta bersama obyek sehari-hari rumah warga nelayan Brumbun: tempat tidur kayu, gedek, jaring, dayung, dan sebagainya. Perupa Siti Adiyati, eksponen Gerakan Seni Rupa Baru, meresensi pameran gambar itu di Kompas dan menyebut kerja Moel sebagai seni rupa penyadaran. “Istilah itu awalnya saya tak mengerti. Tahun 1988 itu saat lokakarya mengenai Brumbun di Jakarta saya oleh teman-teman lembaga swadaya masyarakat juga diberi buku-buku gerakan penyadaran, seperti buku Paulo Freire, Ivan Illich, dan Augusto Boal. Mulailah saya bersentuhan dengan ilmu sosial,” ujarnya. Komitmen Moel makin kuat saat ia datang ke Filipina pada 1989.
“Di Filipina saya banyak belajar tentang riset perdesaan,” kata Moel. Sepulang dari Filipina, Moel membuat lukisan besar berjudul Cry For Asia bersama Semsar Siahaan, Bonyong Murniadhi, dan F.X. Harsono. Lukisan bertema rakusnya industrialisasi itu dikelilingkan dalam pameran di Eropa. Langkah Moel melakukan kerja pendampingan dan melatih anak-anak menggambar makin memiliki konsep yang jelas dan metodis setelah dia diajak bekerja sama dengan Plan International Pacitan, organisasi bagian dari Yayasan Plan International Indonesia yang bergerak di bidang pengembangan masyarakat dan kemanusiaan internasional.
Aksi demonstasi yang sempat didatangi Moelyono di Manila, 1989. Dok. Pribadi
“Mereka mengenal saya di Brumbun. Tahun 2000 mereka mengajak saya mengajar anak-anak Desa Kebonsari, Pacitan. Sebagai LSM, mereka punya ukuran-ukuran capaian. Kalau apa yang saya kerjakan disebut seni rupa penyadaran, mereka bertanya ukuran keberhasilan penyadarannya apa?” tutur Moel.
Mereka lalu membekali Moel dengan metode dan modul bernama Children Center Community Development (CCCD) yang telah digodok di India. Inilah yang kemudian menjadi basis kerja Moel seterusnya. “Kami mula-mula melakukan mapping kesenian Desa Kebonsari, dari karawitan sampai kuda lumping. Lewat kesenian itu, kami meminta warga memfasilitasi anak-anak,” ucap Moel. Kesenian anak-anak itu dipentaskan pada Agustus.
Lalu, Moel menambahkan, datang Country Director Plan dari India, Alka Pathak. Dia mengevaluasi kerja Moel. “Ibu Alka mengatakan kerja saya sebaiknya lebih menyasar ibu-ibu yang tengah hamil (bayi dalam kandungan) sampai anak-anak usia 5 tahun. Anak-anak di bawah usia 5 tahun menurut dia adalah periode pendidikan emas. Di usia inilah anak-anak harus distimulasi untuk pengembangan masyarakat. Ibu Alka lalu memperkenalkan konsep dan modul ECCD (Early Children Care for Development),” kata Moel.
Dengan sistem modul ECCD, melibatkan pos pelayanan terpadu, pemberdayaan kesejahteraan keluarga, dan karang taruna, Moel mengumpulkan para ibu dan anak-anak berusia di bawah 5 tahun. “Usia 0 (bayi dalam kandungan) sampai 3 tahun merupakan program home-based parenting. Saya mengorganisasi keluarga, berdiskusi tentang pola asuh, gizi, nutrisi. Pokoknya pendidikan holistik,” ujar Moel. Selanjutnya, Moel berfokus pada anak-anak berusia 4-5 tahun. ”Saya melatih logika dan keterampilan berpikir anak-anak untuk usia dini, memberikan dasar-dasar cara berpikir masuk akal berdasarkan alur sebab-akibat,” Moel menerangkan.
Moel secara sederhana melatih anak-anak mengelompokkan, menjodohkan, memahami hubungan dan pola, serta memecahkan masalah. “Setelah bisa memecahkan masalah, anak-anak baru diajari bahasa dan berhitung,” kata Moel. Sistem ini, menurut dia, membentuk dasar kemampuan berpikir logis dan sendi nalar rasional anak-anak berusia 5 tahun ke bawah. “Ini membekali anak-anak dengan logika sebelum mereka masuk SD,” dia menambahkan.
Moel mengisahkan bagaimana dia sebagai fasilitator lalu melatih para ibu. Mereka menyusun program bersama-sama, juga menyiapkan alat peraga. “Kami membuat alat permainan edukasi (APE) menggunakan bahan-bahan lokal, seperti kulit kayu, biji-bijian bunga. Kami juga menggunakan kesenian lokal, seperti lagu-lagu lokal, untuk materi logika dan keterampilan berpikir anak-anak,” tuturnya. Moel menjelaskan, cara kerjanya menggunakan rujukan modul ini berbeda dengan saat dia masuk ke Brumbun. "Di Brumbun saya tak menggunakan modul sama sekali. Saya masih betul-betul anak ASRI yang belum begitu bergaul dengan ilmu sosial,” katanya. Di Brumbun saat itu Moel ingat hanya berusaha menempatkan diri sebagai sahabat yang setara dengan anak-anak.
Adapun dengan modul CCCD, Moel juga harus mengorganisasi pengurus dari warga desa setempat agar program berkesinambungan. “Semua program biasanya berlangsung selama enam bulan. Tiga bulan pertama pengenalan, tiga bulan kemudian bagaimana program ini bisa diteruskan warga sendiri dengan bantuan pemerintah desa." Dalam program, Moel tak meninggalkan apa yang telah ia lakukan di Brumbun: membentuk nalar kritis anak-anak melalui menggambar. “Saya mula-mula kepada anak-anak balita itu mengajarkan titik. Setiap anak bisa membuat titik. Dari titik ke garis. Garis lurus, lengkung, dan sebagainya. Baru kemudian ke lingkaran-lingkaran. Dari lingkaran ke bentuk-bentuk.” Moel juga mengajarkan cara membuat warna dari bahan lokal. "Dari daun-daunan setempat, biji-bijian, dan sebagainya.”
•••
MOELYONO memberikan “pendidikan penyadaran” melalui menggambar di desa-desa pedalaman seluruh Nusantara yang kadang lokasinya terpencil dan bahkan pernah dilanda konflik, dari Keerom, Karima, Kurulu, Wamena, dan Sentani, Papua; Banggai, Sulawesi Utara; Kupang, Pulau Rote, Waingapu, Sumba Timur, dan Alor, Nusa Tenggara Timur; Aceh; Poso, Sulawesi Tengah; Nias, Sumatera Utara; Singkawang, Bengkuang, Pontianak, Sungai Pinyu, dan Landak, Kalimantan Barat; hingga Bobonaro, Timor Leste. Di daerah-daerah itu, Moel mengajak anak-anak balita menggambar, mengorganisasi ibu-ibu, dan sebagainya.
“Salah satu yang membuat saya berani masuk ke desa-desa di pedalaman adalah pengalaman saya di India. Pada 2000, setelah aktivitas di Desa Kebonsari, oleh Plan International Indonesia saya dikirim ke wilayah Kalkuta (kini Kolkata), India,” kata Moel. Dia ditempatkan di Centre for Learning Resources, tempat penggodokan ECCD, untuk persiapan penyusunan buku dan ilustrasi gambar modul serta melihat praktik ECCD.
Moelyono saat mengajar anak-anak di Papua, 2005. Dok. Pribadi
“Saya dibawa ke desa-desa di Kalkuta melihat bagaimana mereka mempraktikkan ECCD. Para relawan berasal dari ashram Bunda Teresa. Di desa-desa mereka membuat bedeng-bedeng untuk pembelajaran anak-anak. Saya kaget bangunan sangat sederhana dibuat dari jerami dan teletong sapi. Kondisi kemiskinan luar biasa. Fasilitas pembelajaran apa adanya, tapi program-program tetap jalan,” ujar Moel.
Pengalaman Moel melihat bagaimana gigihnya para relawan dari ashram Bunda Teresa membantu anak-anak belajar menjadi titik yang menentukan dalam kehidupannya. “Saya baru berani menjadi fasilitator ke daerah-daerah konflik di Indonesia seperti Papua dan Poso, juga Timor Leste, setelah melihat di Kalkuta, yang kondisinya jauh lebih berat,” tuturnya, mengenang. Moel juga menyempatkan diri berkunjung ke makam Mahatma Gandhi. “Di makam Gandhi saya baru dapat atmosfer apa itu ahimsa dan swadesi."
Banyak pengalaman yang membekas saat Moel mengajar di pelosok-pelosok. “Saat mendampingi anak-anak di kawasan terpencil, saya selalu tidur di rumah-rumah warga, bukan di losmen. Itu agar kita tahu persoalan,” ucapnya. "Saya terkena malaria setelah pulang pendampingan di NTT,” ujarnya. Moel juga ingat, pada 2006, ketika tinggal di Keerom, Papua, dia sering sekali masuk dan memberi pelatihan di honai, rumah adat khas Papua yang kecil. Rumah ini berbentuk lingkaran dengan rangka kayu dan beratap jerami, tanpa jendela dan hanya punya satu pintu. "Saya masuk ke honai. Ada satu honai yang ternyata, di samping menjadi tempat tinggal warga, juga menjadi kandang babi. Saat saya keluar dari situ, kutu-kutu babi sudah menancap di kaki saya. Gatal sekali,” kata Moel.
Gambar anak didik Moelyono di Papua. Dok. Pribadi
Moel pun ingat, di honai, dia bersama para ibu menyaksikan proses kelahiran bayi. "Mereka tidak ke puskesmas. Ditangani dukun setempat, ibu yang hendak melahirkan jongkok memegang kayu. Oleh dukun, posisi sang ibu didekatkan ke pendiangan. Setelah bayi keluar, dukun itu memotong ari-ari dan membubuhinya dengan obat daun-daunan,” ujar Moel. Lokasi Keerom berada di perbukitan wilayah perbatasan dengan Papua Nugini. Banyak anak di sana terkena penyakit kulit kaskado—kondisi kulit terkelupas yang menyakitkan sekali—dan infeksi saluran pernapasan. “Saya ajak anak-anak berkumpul menyanyi-nyanyi. Saya berusaha menstimulasi anak-anak. Ayo, gambar cita-citamu. Yang bikin kaget, setelah saya suruh menggambar, anak-anak itu banyak yang menggambar senjata, bendera Bintang Kejora, tentara. Mereka tinggal di perbatasan, jalan tikus ke Papua Nugini. Mungkin mereka sering melihat tentara membawa senjata,” ucapnya.
Pada 2017, Moel tinggal di rumah penduduk Desa Pawis, Landak, Kalimantan Barat, selama enam bulan. Dia melihat hutan-hutan di Pawis sudah banyak diganti dengan kebun kelapa sawit. Dia mengikuti perjalanan tetua desa setempat bernama Senong yang memantrai pohon-pohon di hutan non-kelapa sawit yang tersisa. Dia berusaha keras menjaga ekosistem. Moel melihat sungai-sungai dan banyak tempat bermain anak hilang karena kelapa sawit. "Ini problem besar yang mengancam hidup anak. Saya lalu mencoba, dengan menggambar, memberi bekal anak-anak landasan berpikir kritis, hingga kelak mampu mengenali persoalan di desanya,” kata Moel.
•••
MOELYONO juga berani bermukim dan melakukan pendampingan di wilayah-wilayah konflik. "Pada 2007 saya pernah masuk ke Tentena, Kabupaten Poso. Area itu bekas wilayah konflik warga Kristen-muslim. Saya masuk lewat gereja dan lembaga swadaya masyarakat Wahana Visi Indonesia. Mei 2005, sebelum saya ke sana, Pasar Tentena dibom, lebih dari 20 orang tewas,” tuturnya.
Di Poso, dia melatih para ibu. “Saya ingat ada seorang ibu yang jalannya pincang. Saya tanya apakah dia sakit. Ternyata kakinya luka bekas terkena ledakan. Dia naik angkot dan angkot itu meledak,” ucap Moel. "Menyedihkan, tapi saya menekankan bagaimana kita bisa menyelamatkan anak-anak.”
Moelyono (berdiri, ketiga dari kiri) saat berada di Distrik Maliana, Timor Leste. Dok. Pribadi
Moel juga masuk ke wilayah Timor Leste pada 2008. Dia tinggal di Maliana, perbatasan Atambua dan Timor Leste. "Sewaktu Timor Leste dibumihanguskan tentara Indonesia, banyak ibu Timor mengungsi ke Atambua,” katanya. Menurut dia, masih banyak ibu yang mengalami luka-luka dan trauma. “Mereka cerita ada sebuah jembatan di Atambua dan jembatan itu memiliki kisah tragis. Banyak terjadi pemerkosaan."
Moel masuk ke sana di bawah naungan World Vison International yang dikoordinasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. “Saya dikasih mobil dari Dili dan HT (handheld transceiver) untuk menuju ke sana. Saat di sana saya masih wajib lapor dari pos satu ke pos lain,” tutur Moel. Dia melakukan pemetaan selama seminggu di Maliana. "Saya tidur di rumah warga. Untungnya saya selalu mudah menyesuaikan diri. Di sana tidak ada fasilitas mandi-cuci-kakus (MCK). MCK di kandang babi,” ujarnya. Moel mengungkapkan, saat itu kondisi ekonomi di sana sangat parah. Perkebunan yang biasa digarap orang-orang Jawa sudah tak terurus. Warga tak memegang uang sama sekali. “Saya lihat anak-anak demikian telantar. Tidak ada pendidikan anak-anak usia emas. Saya lalu mendata apa yang dibutuhkan anak-anak itu. Misalnya boneka, mainan. Lalu saya minta kantor di Dili membuatkan dan mengirimkannya ke Maliana."
Sama seperti di Tentena, ketika melatih para ibu dan remaja perempuan, Moel melihat ada beberapa di antaranya yang mengalami luka fisik. "Saya melihat ada remaja perempuan berumur sekitar 16 tahun di wajahnya ada bekas sabetan benda tajam. Semua keluarganya terbunuh. Dia selamat karena tengkurap dan dikira sudah mati,” tutur Moel. Warga Maliana, menurut Moel, sangat fatalis dan apatis. Karena itu, dia harus mendekati mereka dari dalam. “Tidak bisa kita hanya memberi-beri lalu pergi. Metode karitatif demikian akan gagal karena mereka sudah sedemikian apatis. Harus ada pendampingan dari dalam. Seni rupa penyadaran juga tidak bisa langsung eksplisit. Perlakuannya berbeda, setahap demi setahap,” ucap Moel.
Moel melihat kerja-kerjanya di desa sudah melampaui seni rupa. “Saya lebih menjadi manusia,” katanya. Akademi Jakarta melihat praksis-praksis Moel tersebut berharga. "Pendidikan kesenian bagi Moel dengan begitu tidak terutama untuk mencetak seniman yang melakukan presentasi, melainkan melalui seni mengubah masyarakatnya,” demikian pidato Seno Gumira Ajidarma.
Gara-gara Moel, bahkan Brumbun kemudian mendapat perhatian bupati setempat. Pada 1988, setelah membaca berita-berita di media tentang pameran anak-anak Brumbun di Jakarta, Bupati Tulungagung mengunjungi wilayah itu. Setelah itu, jalan masuk Brumbun sepanjang 10 kilometer diaspal, bak-bak penampungan air dibuat, pipa saluran air ke bak dan musala diperbarui, gedung sekolah dasar dan perumahan guru diperbarui, jalan perumahan warga dicor, dilakukan penyemprotan sarang nyamuk, dan tim puskesmas sering datang. Bermula dari pelajaran menggambar dari Moel, warga Brumbun bisa sejahtera.
Moel ingat, sebelum Bupati Tulungagung datang ke Brumbun, ia pernah dicurigai aparat setempat. “Saya dicurigai. Waktu itu saya membawa teman-teman Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Jakarta, termasuk perupa F.X. Harsono, datang ke Brumbun untuk dokumentasi persiapan pameran di Jakarta, tapi kemudian saya diinterograsi. Saya dibawa ke rumah Pak RT, di sana sudah ada personel polsek, kecamatan, koramil, dan lain-lain. Saya ditanya-tanya mengapa masuk ke daerah terpencil,” katanya. Moel bercerita, aparat mengatakan pantai selatan Tulungagung adalah teritori militer. Orang tidak boleh sembarangan masuk tanpa izin.
Moel sadar wilayah pantai selatan Tulungagung pada 1965 adalah lokasi pelarian para anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia. Daerah itu juga menjadi tempat pembunuhan massal mereka. “Pantai selatan Tulungagung itu sampai ke Blitar selatan. “Dia menduga aparat mencurigai warga lama Brumbung karena ada di antara mereka yang dulu lari dari peristiwa 1965. "Tahun 1965 memang mengerikan di Tulungagung. Waktu itu umur saya 8 tahun. Saya suka main di Sungai Ngrowo dan Sungai Jenes. Tiap September-Oktober, dua sungai itu selalu meluap karena banjir. Nah, saat itu saya dan teman-teman melihat banyak mayat bertumpuk. Saya dorong-dorong mayat-mayat itu agar hanyut lagi ke sungai,” tutur Moel, mengenang.
Moel ingat situasi di rumahnya juga tak menentu. Dia tinggal di perumahan belakang pendapa Kabupaten Tulungagung. “Ayah saya bekerja sebagai pesuruh kabupaten. Dia mengurusi rumah tangga kantor,” katanya. Moel mengungkapkan, dalam peristiwa 1965 itu, ayahnya tiap malam menaiki tangga menara penampungan air di sekitar pendapa kabupaten dan bersembunyi di dalam penampungan air yang kosong tersebut sampai pagi. "Ayah saya saat itu mungkin tertekan secara psikologis. Ayah saya wafat di usia muda, saat saya masih semester I ASRI, 1977,” ujarnya.
Moel mengungkapkan, bila dia mengalami demam, ingatannya selalu melayang ke masa kecilnya saat berada di sungai menyorong-nyorong mayat agar terbawa arus sungai. "Saat saya demam, memori saya entah kenapa selalu ke situ,” tuturnya. Dalam pidatonya di Akademi Jakarta, kalimat pembukanya sampai berbunyi: "Saya Moelyono. Saya ingat saat kelas III SD bersama teman-teman dengan batang kayu mendorong tubuh-tubuh terserak mengapung dari pembantaian 1965 yang tersangkut di pohon perdu agar hanyut ke tengah ikut deras arus Kali Jenes yang sedang banjir meluber…."
Moelyono dan karya anak-anak didiknya di Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, 4 Oktober 2023. Tempo/Magang/Joseph
Ini bukan pertama kalinya Moel menerima penghargaan. Pada 2012, dia dianugerahi Lifetime Achievement Award dalam Biennale Jogja IX. Pada 2014, dia menerima Anugerah Seni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Penghargaan Akademi Jakarta adalah penghargaan prestisius. Hadiah seni Akademi Jakarta pertama kali diberikan kepada W.S. Rendra pada 1975 dan kemudian Zaini pada 1977. Budayawan dan seniman Indonesia yang menerima penghargaan ini selanjutnya adalah Gregorius Sidharta (2003), Nano S. (2004), Gusmiati Suid (2004), Retno Maruti (2005), Amir Pasaribu (2006), Raden Panji Soedjono (2006), Tenas Effendy (2006), Sutardji Calzoum Bachri (2007), Slamet Rahardjo Djarot (2008), Putu Wijaya (2009), Taufik Ismail (2010), Rahayu Supanggah (2011), Sapardi Djoko Damono (2012), I Gusti Kompiang Raka (2013), Ratna Riantiarno dan Nano Riantiarno (2014), Ali Audah (2015),Trisutji Kamal (2016), Sunaryo (2017), Jim Supangkat (2018), Umbu Landu Paranggi dan Yori Antar (2019), Remy Silado (2021), serta Didik Nini Thowok (2022).
Sejak 2021, Akademi Jakarta menambah kategori penghargaan untuk komunitas. Pada tahun itu, penerima penghargaan adalah masyarakat adat Laman Kinipan. Komunitas Dialita mendapat penghargaan itu pada 2022 dan Taring Padi dari Yogyakarta menerimanya pada tahun ini. Tisna Sanjaya dari Akademi Jakarta dalam pidatonya menuturkan, “Taring Padi sebagai aktivis seni budaya mempunyai dua peran yang sangat menarik dalam landasan organisasinya. Pertama, melancarkan agitasi terhadap wacana elite dengan mempromosikan seni kerakyatan. Kedua, mengorganisasi asosiasi-asosiasi kebudayaan dan kerakyatan yang berwatak progresif di tengah-tengah masyarakat."
Taring Padi bukan kelompok yang asing bagi Moel. Banyak anggota Taring Padi yang dikenal dan sering bersentuhan dengannya. "Moel banyak menginspirasi kami,” kata Izul alias Samsul Bahri, anggota Taring Padi yang dulu sering membuat karya cukil kayu untuk aksi-aksi demonstrasi Taring Padi. Seni penyadaran Moel dan seni kerakyatan Taring Padi pun kini sama-sama mendapat Penghargaan Akademi Jakarta.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Moelyono: 'Guru Gambar', Praksis, dan Penghargaan Akademi Jakarta"