Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran lukisan dua anggota Sanggar Bumi Tarung.
Memamerkan karya Misbach Tamrin dan Amrus Natalsya.
TUJUH belas pemuda berkemeja warna-warni duduk meriung di depan api unggun. Bulan purnama terang memperlihatkan ombak di pantai berbatu di kejauhan. Pandangan mata mereka searah menatap Pak Noyo, petani Pantai Trisik, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tengah bercerita. Wajah Pak Noyo terlihat susah dengan pandangan mata memelas. Itulah karya lukis berjudul Pak Noyo Berkisah di Bawah Purnama Pantai Trisik berukuran 180 x 146 sentimeter.
Sejatinya karya itu adalah kisah kenangan saat Misbach Tamrin bertemu dengan Noyo bersama para mahasiswa Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) anggota Sanggar Bumi Tarung (SBT) yang tengah melakukan aksi turun ke bawah (turba) pada 1961. Kisah ini bercerita tentang duka petani miskin di pantai selatan yang berusaha bertahan hidup. Siang-malam selama berbulan-bulan dan bersama anak-istri, mereka meruntuhkan bukit dan mengusung tanahnya untuk menambal bekas sungai agar menjadi lahan pertanian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat para petani siap bertanam, seorang tuan tanah, Haji Romuji, datang bersama aparat daerah. Mereka menghardik Noyo yang dianggap berani menggunakan tanah yang diklaim punya pemerintah tanpa izin. Lahan siap tanam itu pun direbut si tuan tanah. Keringat keluarga petani yang menetes berbulan-bulan itu mengering sia-sia. “Pak Noyo bercerita hingga berkaca-kaca matanya,” ucap Misbach saat ditemui Tempo di Bentara Budaya Yogyakarta. Misbach, salah satu dari 17 pemuda tersebut, kini telah menua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenangan pertemuan itu dibawa pulang ke sanggar untuk dirupakan dalam karya lukis ataupun patung. Tak mengherankan sanggar yang membawa ideologi “kiri” itu punya karya-karya seni rupa khas yang menggambarkan ketidakadilan dan penindasan terhadap buruh dan petani. “Yang mengenalkan kami (dengan Noyo) adalah BTI (Barisan Tani Indonesia). Kami turba setengah bulan di sana,” ujar Misbach di depan lukisan akrilik yang mengisahkan Pak Noyo tersebut. Ia menampilkannya dalam pameran seni rupa bertajuk “Dua Petarung” di Bentara Budaya Yogyakarta, 13-19 Desember 2023. Pameran ini menghadirkan karya dua perupa SBT, Misbach Tamrin dan Amrus Natalsya.
Kenangan lain tentang SBT juga dilukiskan Misbach di atas kanvas berjudul Humor Egaliter di Internal SBT. Lukisan ini menggambarkan suasana guyub anggota SBT di dalam bekas tobong atau tempat pembakaran bata merah yang mereka sulap menjadi sanggar. Kini tempat itu menjadi Galeri Amri Yahya yang berseberangan dengan Jogja National Museum, bekas kampus ASRI. “Kesannya seperti benteng kami,” tutur Misbach, mengomentari sanggar berdinding bata merah tanpa plester tersebut.
Misbach Tamrin berdiri di depan lukisan karyanya yang berjudul Humor Egaliter di Internal SBT dalam pameran seni rupa "Dua Petarung" di Bentara Budaya Yogyakarta, 19 Desember 2023. Tempo/Pito Agustin Rudiana
Dalam lukisan itu, Djoko Pekik tampak tengah melukis seorang perempuan dusun berkain kemben yang hamil dan sedang dipeluk anaknya. Anggota lain terlihat sedang berceloteh sembari melukis di depan kanvas masing-masing. Pekik tampak tersenyum memperlihatkan barisan giginya dengan mata berbinar. Misbach membuat lima lukisannya pada tahun ini. Butuh sekitar dua bulan untuk merampungkan setiap lukisan. “Karena tergantung mood. Biasanya pagi sampai siang, terus istirahat, lalu dilanjut sampai sore,” ujar Misbach, yang selalu mengenakan topi pet.
Geger peristiwa 1965 membuat mereka ditahan aparat. Misbach dipenjara 13 tahun karena memimpin Lembaga Kebudayaan Rakyat di Kalimantan Selatan. Adapun Pekik dipenjara tujuh tahun. Amrus sempat menjadi pelarian, tapi tertangkap pada 1968 dan bebas pada 1973. Sedangkan Isa Hasanda, Adrianus Gumelar, Suroso, Sediyono G.P., dan Victor Manurung dibuang ke Pulau Buru. Sementara itu, Harmani dan Haryanto yang pulang kampung ke Tulungagung, Jawa Timur, dan Mulaswedin Purba yang pulang ke Siantar, Sumatera Utara, tewas.
Lukisan karya Amrus Natalsya yang berjudul Panen Kol dalam pameran seni rupa "Dua Petarung" di Bentara Budaya Yogyakarta, 19 Desember 2023. Tempo/Pito Agustin Rudiana
Sebanyak 15 karya Amrus dibagi menjadi dua kelompok. Lukisan berpigura adalah lukisan lama. Misalnya lukisan Panen Kol buatan 2008 yang melukiskan sepasang petani kol menyiapkan berkeranjang-keranjang kol hasil panen mereka yang akan diangkut tengkulak dengan mobil bak terbuka. Lalu Memoar Amrus (2015), potret diri Amrus Natalsya yang telah beruban, tapi masih berdiri tegap. Di belakangnya terdapat istri dan anak-anaknya. Di belakangnya lagi, dua tentara berjaga kiri-kanan dengan laras panjang siap terkokang. Ada lagi lukisan yang menyindir upaya perdamaian dua pihak yang berseteru, tapi dengan mengintimidasi pihak yang lemah. Misalnya Dialog Perdamaian (2005) yang menampakkan kumpulan massa yang ingin berdamai. Namun raksasa-raksasa bergigi tajam yang arogan mengepung mereka dengan tank, pesawat dan kapal tempur, bom, serta rudal yang siap membombardir.
Lukisan karya Amrus Natalsya yang berjudul Dialog Perdamaian dalam Pameran Seni Rupa "Dua Petarung" di Bentara Budaya Yogyakarta, 19 Desember 2023. Tempo/Pito Agustin Rudia
Adapun lukisan tanpa pigura adalah lukisan yang dibuat pada 2018-2020 sebelum Amrus benar-benar tak lagi bisa melukis serta menghabiskan waktunya di kursi roda dan pembaringan. Amrus memberi judul Terima Kasih bagi Ilmuwan dari seri 1 hingga 10. Tiap lukisan itu menggambarkan sosok yang dikelilingi bulatan-bulatan, yang bisa berupa benda-benda antariksa atau seperti bentuk virus Corona. Menurut Misbach, itu adalah bentuk ucapan terima kasih Amrus kepada ilmuwan yang telah menciptakan teknologi untuk kemaslahatan manusia.
Misbach melihat ada perubahan pada tema-tema lukisan sahabatnya itu. “Penyebabnya memang misterius,” ucap Misbach. Menurut dia, hal itu wajar, karena dirinya pun mengalaminya. Ia melakukan perubahan pada struktur permainan garis dan gradasi garis terang-gelap sehingga menjadi lebih artistik. Hal ini ia lakukan di luar kesadarannya sejak 2000, kemudian menjadi kebiasaan. “Ada yang bilang, karena saya pernah ditahan. Garis-garis itu seperti jeruji besi,” tutur perupa berpostur tinggi dan kurus itu.
Lukisan karya Misbach Tamrin berjudul Petarung Sepuh dalam pameran seni rupa "Dua Petarung" di Bentara Budaya Yogyakarta, 19 Desember 2023. Tempo/Pito Agustin Rudiana
Pameran “Dua Petarung” ini hanya menghadirkan karya Misbach dan Amrus. Misbach menggagasnya bersama Djoko Pekik satu setengah tahun lalu. Sayangnya, Pekik meninggal. “Seandainya Pekik masih hidup, bukan judul itu yang dipakai,” ujar Misbach. Mereka ingin mengumpulkan para perupa sanggar yang masih tersisa di usia senjanya. Saat itu masih ada Pekik yang berusia 86 tahun, Misbach 82 tahun, Amrus 90 tahun, Gultom 83 tahun, dan Adrianus Gumelar 80 tahun. Pameran ini yang pertama kalinya diadakan di Yogyakarta karena sebelumnya diadakan di Jakarta.
Pameran I pada 1962 di Balai Budaya Jakarta diadakan ketika SBT masih dianggap legal. Pameran II digelar pada 2008 dan dibuka oleh advokat senior, Todung Mulya Lubis, serta Pameran III dihelat pada 2011 dan dibuka oleh Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Taufiq Kiemas. Kedua pameran itu digelar di Galeri Nasional, Jakarta. Selebihnya, anggota SBT ikut dalam berbagai pameran bersama perupa lain yang mengatasnamakan individu. Misbach sendiri pernah berpameran tunggal pada 2015 di Galeri Nasional saat berusia 74 tahun. “Bukan ingin menghidupkan SBT lagi. Tapi membangkitkan semangat teman-teman agar berkarya lagi,” Misbach mengungkapkan alasannya berpameran.
Berpulangnya Pekik pada Agustus 2023 membuat Misbach bergegas. Dia menemui pengelola Bentara Budaya Yogyakarta, Sindhunata, pada awal September 2023, terkait dengan keinginannya berpameran di sana. Karya Amrus pun pernah dipamerkan di sana. Sementara itu, kondisi fisik Gultom dan Adrianus yang uzur tak memungkinkan mereka membuat karya. “Dan rasanya ini bukan tentang pameran atau tidak, tapi tentang waktu. Waktu mereka terasa demikian memburu, seakan-akan tak terkejar lagi,” demikian pengantar Sindhunata dalam katalog pameran.
Suasana pameran seni rupa "Dua Petarung" yang menampilkan karya Amrus Natalsya dan Misbach Tamrin di Bentara Budaya Yogyakarta, 19 Desember 2023. Tempo/Pito Agustin Rudiana
Di benak Sindhunata, belum terbayang karya-karya apa yang akan dipamerkan dua perupa sepuh itu. Ia hanya menyarankan karya Misbach dapat mewakili teman-temannya yang sudah pergi. Ini sekaligus menunjukkan kenangan dan eksistensinya sebagai pelukis dari SBT. Karena itu, lahirlah lukisan-lukisan Misbach tentang aktivitas teman-temannya di SBT. Ia juga melukis Amrus sebagai laki-laki tua yang penuh uban dan duduk di atas kursi roda dengan mata terpejam. Langit biru dan awan yang menjadi latarnya seolah-olah menggambarkan Amrus tengah melayang ke langit. Di atasnya, peri-peri bersayap memandunya naik ke atas.
Sejumlah teman dan pengamat seni menuturkan, pameran itu adalah pameran perupa-perupa SBT yang terakhir. Sindhunata pun menulis judul tulisannya dalam katalog dengan “Pameran Menjelang Pulang”. Tapi Misbach masih berharap akan bisa berpameran bersama lagi. “Lebih baik kami berserah diri kepada Yang di Atas,” ucap Misbach.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul " Para Petarung di Ujung Senja"