Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BISA jadi film Pandit Nehru Visits Indonesia adalah sebuah kecelakaan. Dokumen penting ini tak ada di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Perpustakaan Nasional, atau lembaga-lembaga arsip lain di dalam negeri. David Hanan, peneliti dan pengajar sinema di University of Melbourne, Australia, yang mencarinya ke Indonesia tak menemukan film dokumenter itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hanan menemukannya di National Film and Sound Archive of Australia (NFSA) pada 1993 sewaktu bertugas di lembaga arsip film di Canberra itu. Waktu itu ia sedang meneliti film-film dokumenter Asia. “Kondisinya masih baik,” katanya kepada Dian Yuliastuti dan Seno Joko Suyono dari Tempo pada 20 Desember 2023 tentang film 16 milimeter berdurasi satu jam itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi Hanan, dokumenter itu penting karena merekam kunjungan Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri India pertama pada 1947-1964. Selama sepuluh hari, Nehru dibawa Presiden Sukarno berkeliling Indonesia, dari Jakarta ke Bandung, lalu Yogyakarta, Surabaya, Bali, dan kembali ke Jakarta. Dalam film ini, Nehru disambut bak bintang musik rock: penduduk Indonesia mengelu-elukannya sejak ia turun dari Pelabuhan Tanjung Priok pada 7 Juni 1950.
Ditemani sineas Daniel Rudi Haryanto, Hanan melacak film penting ini di Indonesia. Karena tak menemukan salinan rekaman film itu, Hanan berkesimpulan apa yang ditemukannya sebagai satu-satunya dokumen. Ia pun meminta pemerintah Australia memindahkannya secara digital dan menyerahkannya kepada Arsip Nasional RI.
Film itu diputar di gedung Perpustakaan Nasional pada 5 Desember 2023. Duta Besar Australia Penny Williams dan perwakilan Kedutaan Besar India hadir menonton. Bagaimana film itu bisa sampai ke Australia? Rupanya, ia dibawa oleh salah satu kamerawannya, Mick von Bornemann. Von Bornemann, yang lahir pada 1927, bermigrasi ke Australia dan meninggal di sana pada 2018. Hanan sempat mewawancarainya seputar dokumenter Nehru pada 2014.
David Hanan kini anggota kehormatan Asia Institute University of Melbourne. Setelah mengajar sastra di University of Monash dan Melbourne, lalu mengambil diploma pascasarjana studi film di University College London, ia mengadakan kursus studi film di Departemen Seni Visual University of Monash. Selain mengajar dan membimbing penelitian mahasiswa doktoral, ia terlibat dalam penerjemahan takarir film Indonesia dan memprakarsai beberapa proyek pelestarian film.
Bagaimana cerita Anda menemukan film kunjungan Nehru itu?
Ketika bertugas di NFSA, saya menemukan arsip ini. Seperti kecelakaan, karena arsip ini dibawa seorang kamerawan muda ke Australia, Mick von Bornemann.
Anda bisa bertemu dengan dia?
Saya bisa bertemu dengan dia karena NFSA punya nama dan alamat orang yang menyimpan film Pandit Nehru dengan mereka. Saya bertemu dengan Mick pada Januari 2014. Waktu itu saya baru pensiun dan sibuk dengan persiapan pindah dengan keluarga saya dari Melbourne ke Bali. Karena itu, wawancara saya tidak begitu dipertimbangkan. Bahkan saya tidak pernah menonton hasil wawancara itu. NFSA juga tidak membuat transkripsi.
Apa pendapat Anda tentang film itu?
Saya kira film tersebut memperlihatkan kepribadian Sukarno dan kekaguman rakyat Indonesia terhadap Sukarno. Terlihat jelas di film yang diproduksi Perusahaan Pilem Negara itu.
David Hanan saat pemutaran film dokumenter kunjungan Perdana Menteri India Pandit Jawaharlal Nehru ke Indonesia pada 1950, di Jakarta, 5 Desember 2023. Tempo/Dian Yuliastuti
Saat Anda menemukan film ini, bagaimana kondisinya?
Film 16 milimeter ini masih baik, sama kualitasnya seperti saat kita saksikan ketika diputar di Arsip Nasional RI.
Apakah film ini merupakan film propaganda?
Menurut saya, film ini adalah kekaguman, bernuansa perayaan kemerdekaan Indonesia. Mereka yang anti-Sukarno mungkin menilai ini film propaganda.
Melihat film tersebut, terlihat kamerawan mengikuti seluruh rangkaian acara. Tentu ini mahal. Anda tahu biayanya?
Saya tidak tahu tentang hal itu, tapi kalau diperkirakan cukup besar. Jika Anda lihat, kamera menyorot dari berbagai sudut pandang. Dari jauh, jarak dekat.
Ada berapa kamerawan dalam film itu?
Saya tidak tahu pasti, mungkin ada tiga atau empat atau lima. Tidak ada informasi satu pun tentang tim produksi, nama perorangan dalam film itu. Seperti Anda lihat, hanya ada judul “Perusahaan Pilem Negara” (kini menjadi Produksi Film Negara/PFN).
Anda sempat bertanya berapa honor Mick von Bornemann?
Saya tak ingat lagi.
Mengapa arsip film itu tidak ada di Indonesia?
Saya tidak tahu. Itu masih menjadi pertanyaan. Bisa jadi arsipnya dihilangkan pada periode Orde Baru.
Apakah ada film dokumenter lain tentang Indonesia di era tersebut?
Ada film Indonesia Calling, film dokumenter pendek Australia produksi 1946 yang disutradarai Joris Ivens dan diproduksi oleh Federasi Pekerja Waterside. Film ini merupakan film yang memperlihatkan pemboikotan para pekerja, serikat pekerja melayani kapal yang mengangkut senjata dan amunisi untuk menekan gerakan kemerdekaan Indonesia.
Dari film panjang Nehru, bagian mana yang membuat Anda tersentuh?
Pada bagian Sukarno dan Nehru saat berada di Jawa Barat. Sukarno pernah tinggal di Bandung dan meninggalkan kota itu. Ketika ia kembali ke Bandung, terlihat betapa masyarakat mengelu-elukannya. Dia juga berpidato dan suaranya diperdengarkan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Ini Film tentang Kekaguman Rakyat Indonesia kepada Sukarno"