HIKAYAT LEBAK
Oleh: Rob Nieuwenhuys
Terjemahan: Sitor Situmorang
Terbitan: Pustaka Jaya, 78 h., 21 x 14 cm
Jakarta, pertengahan 1977.
DI dalam hati, bangsa Indonesia telah mendirikan sebuah tugu
bagi Multatuli!
Di berbagai kota di Indonesia terdapat Jalan Multatuli angkatan
laut kita punya kapal perang RI Multatuli di Bogor ada badan
penerbitan "Multatuli" dllsb. Mengapa? Para patriot angkatan
awal abad ke-20 mendapat ilham pertama dari pidato Max Havelaar
di Lebak yang dimuat di dalam buku bacaan SLA zaman Belanda,
hingga merangsang mereka membaca novel Max Havelaar
keseluruhannya. Saija dan Adinda, novelet cemerlang di dalam Max
Havelaar, menjadi hafalan generasi yang belajar pada SLA sampai
dengan tahun 1941.
Memang Multatuli belum anti-kolonial. Itu akan mendahului
zamannya! Ia hanya menjadi Prometheos yang memberikan api dari
surga. Dengan api itu, yang kemudian membakar kolonialisme
adalah rakyat Indonesia sendiri. Tapi jangan sekali-kali
remehkan Prometheos itu !
Di dalam esai panjang ini Rob Nieuwenhuys -- yang lahir di Jawa
pada tahun 1908 dari seorang ayah Belanda totok dan seorang ibu
Indo -- mendirikan sebuah mahkamah sejarah, untuk menyidangkan
naik banding mummi-mummi R.A.A. Kartanatanagara (bekas bupati
Lebak 1856) dan Brest van Kempen (bekas residen Banten 1856).
Mereka diwakili oleh hakim Rob Nieuwenhuys, yang mencoba
membalikkannya menjadi suatu gugatan terhadap Eduard Douwes
Dekker (bekas asisten residen Lebak 186).
Sayang sekali mahkamah sejarah ini telah salah arah mengubah
pemerasan yang kongkrit, menjadi persoalan akademik yang
abstrak! Hakim Nieuwenhuys mendemonstrasikan ketidak-tahuannya
tentang pranata-pranata masyarakat Jawa (Sunda dan Madura)
dengan menganggap kaum ningrat boleh saja bertindak sesuka hati
tanpa dibatasi, dengan mengatakan bahwa perampasan kerbau itu
pundutan (pungutan) menurut adat, dan bahwa Kartanatanagara
seorang ningrat, serta beberapa ketidak cermatan lainnya. Jadi
orang yang hanya punya seekor kerbau boleh begitu saja kerbaunya
di-pundut?
Baiklah Rob Nieuwenhuys mencamkan, bahwa di dalam bahasa Jawa
ada peringatan terhadap kesewenang-wenangan yang bunyinya: Aja
dumeh (Jangan mentang-mentang, jangan sok kuasa, kaya, pintar,
ningrat). Selanjutnya hukum adat Jawa mengenal adanya wringin
kurung (beringin berpagar) di alun-alun seberang paseban kraton
untuk mepe selira (menjemur diri) bagi rakyat kecil yang
diperlakukan tak adil dengan menarik perhatian raja dan minta
keadilan darinya. Selain itu di dalam bahasa Jawa ada peribahasa
yang memprotes oleh penguasa Yen awan duwene sang nata, yen
bengi duwene dursila (Ketika siang dicomot raja, ketika malam
diserobot maling).
Di dalam bahasa Sunda ada lagu rakyat Ayang-ayang Gung yang
berasal dari masa tanam-paksa kopi di Priangan yang memprotes
kaum pangreh praja sebagai kaki-tangan kompeni. (Pernah dikutip
Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo di dalam pembelaannya di muka
pengadilan kolonial).
Di dalam bahasa Minangkabau ada peribahasa: Rajo adie rajo
disambab, rajo lalim rajo disanggab (raja yang adil diturut
perintahnya, raja yang lalim diprotes).
Islam Dan Banten
Itulah bukti-bukti, bahwa kesewenang-wenangan meski di dalam
alam feodal pun tak dibenarkan oleh hukum adat!
Kalau kesewenang-wenangan nekad diteruskan juga, rakyat melawan,
berontak. Ini sesuai pula dengan kaidah Islam. Dan pengaruh
Islam di Banten sejak abad ke-17 sangat kuat.
Di dalam sejarah Banten perlawanan terhadap kelaliman berupa
tanam-paksa lada berkobar antara tahun-tahun 1748-51 di bawah
pimpinan Tubagus Buang dan Ki Tapa terhadap Sultan Arifin yang
memeras rakyat, karena pengaruh permaisurinya, Ratu Syarifah
Fatimah Khadijah, seorang perempuan cantik peranakan Arab, bekas
janda yang menjadi agen VOC (Lihat: P.J. Robidee van der Aa, De
grote Bantamsce opstand in het midden van de vorige eeuw,
B.K.I. XXIX, 1881, p. 1-127).
Peristiwa itu tak mungkin tidak diketahui oleh asisten-residen
Dekker ketika ia datang ke Lebak pada bulan Januari 1856.
Bukankah Saija dan Adinda-nya cukup membuktikan pengetahuan
sosiologiknya yang mendalam tentang struktur masyarakat Banten?
Sok Melindungi Hukum Adat
Dekker tidak menentang penjajahan. Bahkan ia ingin menyelamatkan
kekuasaan Belanda terhadap pemberontakan dengan mencegah
timbulnya itu melalui pengekangan terhadap pemerasan penduduk
oleh kepala-kepala pangreh praja bumiputera. Ia seorang humanis
dan etikus, karena itu secara naif ingin menjalankan suatu
pemerintahan kolonial yang berperikemanusiaan, betapa illusoire
(menggantang asap) pun kedengarannya.
Tapi memang bagi siapa yang mau lebih dalam meneliti sejarah
Indonesia-terutama sejak abad ke-17 -- akan menjumpai
fakta-fakta pemerasan penduduk oleh kepala-kepala bumiputera
yang lebih biadab daripada yang diperbuat oleh Belanda sendiri.
Mengapa? Karena di dalam praktek pemerintah Belanda tak melarang
pungutan ekstra dari penduduk selama setoran bagi pemerintah
beres. Seperti dinyatakan almarhum Soetan Sjahrir di dalam
Perdjuangan Kita: "Kolonialisme adalah persenyawaan antara
feodalisme bumiputera dan kapitalisme asing di dalam bentuknya
yang terburuk."
Jadi rakyat Indonesia korban berlipat anda: daripada
kepala-kepalanya sendiri dan daripada kekuasaan Belanda.
Setidak-tidaknya Dekker hendak mengurangi pemerasan feodal oleh
kepala-kepalanya.
Kemajemukan hukum hendak dipakai oleh Nieuwenhuys untuk
membenarkan Kartanatanagara dan Van Kem pen yang melindunginya
--seluruh bukunya merupakan suatu pembelaan yang tekun, tapi
sia-sia! -- serta menyalahkan Dekker setidak-tidaknya dari sudut
formalitas kemajemukan hukum. Sikap sok melinduni hukum-adat
itu hanya suatu kemunafikan. Reaim kolonial di mana sesuai
dengan kepentingannya membela hukum-adat, sebaliknya di mana
merugikan melanggar hukum-adat, seperti dibuktikan oleh tiga
undang-undang tanah De Waal dari tahun 1870 (Undang-undang Gula,
Undang-undang Pertambangan dan Undang-undang Agraria).
Sedangkan Dekker lebih terus-terang bersikap, bahwa hukum Barat
yang menindih (super-imposed) hukum-adat yang telah mulai
terdesintegrasi itu mesti menang, supaya dengan demikian
penduduk dapat dilindungi terhadap pemerasan. Itulah sebenarnya
hakikat kasus Lebak 1856.
Patut disesalkan, bahwa Nieuwenhuys menyamarkan sebagian fakta
dan menggelapkan lainnya. Ia menguraikan silsilah
Kartanatanagara (h. 28), tapi ia mengatakan, bahwa bupati itu
bangsawan Banten. Padahal Kartanatanagara menurut hukum-adat
samasekali bukan bangsawan dan pasti bukan orang Banten. Ia
hanya seorang bangsawan tiruan buatan Belanda!
Sebagai putera seorang penghulu bernama Muhammad Tahir dan
saudara perempuan Wiratanudatar, bupati Cianjur, menurut
hukum-adat Sunda ia tak berhak menjadi bupati, karena bupati
Sunda menurut hukum-adat bersifat turun-temurun. Sementara itu
penghulu tidak termasuk bangsawan, sepanjang hukum adat Sunda,
juga di Banten,
Meski isterinya adik seorang bupati, namun anak Muhammad Tahir,
yakni Kartanatanagara, samasekali bukan seorang bangsawan
menurut ketentuan patrilineal hukum-adat Sunda dan lain-lain.
Kartanatanagara hanya menjadi bupati dengan memperkosa hukum
adat. Apa lagi sepanjang hukum-adat di Banten, seorang bupati
Banten tidak boleh didatangkan dari luar daerah. Padahal
Kartanatanagara orang Bogor, bukan orang Banten.
Ingin Menjilat
Gaji Kartanatanagara f 700 (tujuhratus gulden) sebulan. Nilai
nyatanya sekarang kira-kira Rp 700.000 (tujuhratus ribu rupiah).
Tapi hidupnya besar pasak daripada tiang. Agaknya ia ingin
menjaga gengsi terhadap bupati Serang dan bupati Pandeglang, dua
orang bangsawan tulen yang daerahnya masing-masing jauh lebih
kaya. Ia ingin juga menjilat para pejabat Belanda dengan
memanjakan mereka untuk memperkokoh kedudukannya, karena ia
bukan bangsawan dan bukan orang Banten. Akibatnya rakyat
Lebaklah, terutama rakyat kewedanaan Parangkujang, yang menjadi
korban.
Nieuwenhuys pun menggelapkan fakta, bahwa pelaku langsung
perampasan kerbau-kerbau itu, Wirakusuma -- wedana Parangkujang
-- adalah menantu Kartanatanagara yang setia 'mendrop' hasil
rampokannya kepada sang mertua. Bahwa ia kemudian hari dipecat
dengan tetap mengunci mulutnya bukanlah bukti, bahwa mertuanya,
yang menyuruh dia, tak bersalah.
Nieuwenhuys juga menyamarkan fakta, bahwa Brest van Kempen
seorang yang melajang seumur hidupnya tak pernah beristeri atau
memelihara seorang "nyai". Tapi tak berarti ia berwadat. Menteri
urusan jajahan S. Hasselman, yang pernah menjadi asisten-residen
Pandeglang, menulis di dalam suratnya ttg. 18-3-1868 tentang Van
Kempen dan Kartanatanagara yang sama-sama dikenalnya: "Hij Zat
onder den regent, want de regent leverde hem meiden." (Van
Kempen dikangkangi bupati, karena bupati menyerahkan
perempuan-perempuan kepadanya). Di dalam suratnya itu Hasselman
memberi contoh-contoh yang meyakinkan.
Bagi kita cukuplah membandingkan sikap tegas-keras Van Kempen
terhadap Panembahan Pamekasan yang resminya merdeka dengan
sikapnya terhadap bupati Lebak yang serba mengalah dan
kesetiaannya yang secara tetap dan teratur mengirimkan uang f 75
setiap bulan kepada bupati Lebak, yang dirogohnya dari
kantongnya sendiri, serta pembelaannya yang ngotot kepada bupati
itu.
Apakah sebabnya? Karena sang bupati pemeras itu telah
memungkinkan dia secara berkala menjalankan hak malam pertama
(jus primae noctis) atas dara-dara pilihan dan
perempuan-perempuan lain. Bahwa ketika berada di Yogya sebagai
residen (1863) ia mulai gila dan kemudian hari mati di
rumah-gila di Haarlem telah pula digelapkan Nieuwenhuys
Syphilis? Mungkin saja. Surat menteri jajahan J.D. Fransen van
der Putte 8-11-1864 pun membela Dekker. Ini fakta! Tapi juga
fakta ini pun digelapkan.
Sayang dengan segala keluasan bacaannya Nieuwenhuys kurang kenal
liku-liku kehidupan Indonesia. Di sini soal-soal peka demikian
masih tetap memainkan peranan sampai hari ini pun.
Betapa pun buku Nieuwenhuys ini penting untuk dibaca oleh setiap
peminat Multatuli, setiap peminat sejarah dan sastra. Paling
tidak kita akan lebih mengenal Multatuli melalui kacamata
lawan-lawannya. Di sinilah jasa Pustaka Jaya di dalam
menerbitkan suatu esai yang biasanya bukan merupakan suatu objek
komersiel di dalam usaha penerbitan.
S.I. Poeradisastra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini