Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Mahkamah sejarah yang salah arah

Pengarang: rob nieuwenhuys penerjemah: sitoi situmorang jakarta : pustaka jaya, 1977 resensi oleh: s.i. poeradisastra.(bk)

30 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HIKAYAT LEBAK Oleh: Rob Nieuwenhuys Terjemahan: Sitor Situmorang Terbitan: Pustaka Jaya, 78 h., 21 x 14 cm Jakarta, pertengahan 1977. DI dalam hati, bangsa Indonesia telah mendirikan sebuah tugu bagi Multatuli! Di berbagai kota di Indonesia terdapat Jalan Multatuli angkatan laut kita punya kapal perang RI Multatuli di Bogor ada badan penerbitan "Multatuli" dllsb. Mengapa? Para patriot angkatan awal abad ke-20 mendapat ilham pertama dari pidato Max Havelaar di Lebak yang dimuat di dalam buku bacaan SLA zaman Belanda, hingga merangsang mereka membaca novel Max Havelaar keseluruhannya. Saija dan Adinda, novelet cemerlang di dalam Max Havelaar, menjadi hafalan generasi yang belajar pada SLA sampai dengan tahun 1941. Memang Multatuli belum anti-kolonial. Itu akan mendahului zamannya! Ia hanya menjadi Prometheos yang memberikan api dari surga. Dengan api itu, yang kemudian membakar kolonialisme adalah rakyat Indonesia sendiri. Tapi jangan sekali-kali remehkan Prometheos itu ! Di dalam esai panjang ini Rob Nieuwenhuys -- yang lahir di Jawa pada tahun 1908 dari seorang ayah Belanda totok dan seorang ibu Indo -- mendirikan sebuah mahkamah sejarah, untuk menyidangkan naik banding mummi-mummi R.A.A. Kartanatanagara (bekas bupati Lebak 1856) dan Brest van Kempen (bekas residen Banten 1856). Mereka diwakili oleh hakim Rob Nieuwenhuys, yang mencoba membalikkannya menjadi suatu gugatan terhadap Eduard Douwes Dekker (bekas asisten residen Lebak 186). Sayang sekali mahkamah sejarah ini telah salah arah mengubah pemerasan yang kongkrit, menjadi persoalan akademik yang abstrak! Hakim Nieuwenhuys mendemonstrasikan ketidak-tahuannya tentang pranata-pranata masyarakat Jawa (Sunda dan Madura) dengan menganggap kaum ningrat boleh saja bertindak sesuka hati tanpa dibatasi, dengan mengatakan bahwa perampasan kerbau itu pundutan (pungutan) menurut adat, dan bahwa Kartanatanagara seorang ningrat, serta beberapa ketidak cermatan lainnya. Jadi orang yang hanya punya seekor kerbau boleh begitu saja kerbaunya di-pundut? Baiklah Rob Nieuwenhuys mencamkan, bahwa di dalam bahasa Jawa ada peringatan terhadap kesewenang-wenangan yang bunyinya: Aja dumeh (Jangan mentang-mentang, jangan sok kuasa, kaya, pintar, ningrat). Selanjutnya hukum adat Jawa mengenal adanya wringin kurung (beringin berpagar) di alun-alun seberang paseban kraton untuk mepe selira (menjemur diri) bagi rakyat kecil yang diperlakukan tak adil dengan menarik perhatian raja dan minta keadilan darinya. Selain itu di dalam bahasa Jawa ada peribahasa yang memprotes oleh penguasa Yen awan duwene sang nata, yen bengi duwene dursila (Ketika siang dicomot raja, ketika malam diserobot maling). Di dalam bahasa Sunda ada lagu rakyat Ayang-ayang Gung yang berasal dari masa tanam-paksa kopi di Priangan yang memprotes kaum pangreh praja sebagai kaki-tangan kompeni. (Pernah dikutip Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo di dalam pembelaannya di muka pengadilan kolonial). Di dalam bahasa Minangkabau ada peribahasa: Rajo adie rajo disambab, rajo lalim rajo disanggab (raja yang adil diturut perintahnya, raja yang lalim diprotes). Islam Dan Banten Itulah bukti-bukti, bahwa kesewenang-wenangan meski di dalam alam feodal pun tak dibenarkan oleh hukum adat! Kalau kesewenang-wenangan nekad diteruskan juga, rakyat melawan, berontak. Ini sesuai pula dengan kaidah Islam. Dan pengaruh Islam di Banten sejak abad ke-17 sangat kuat. Di dalam sejarah Banten perlawanan terhadap kelaliman berupa tanam-paksa lada berkobar antara tahun-tahun 1748-51 di bawah pimpinan Tubagus Buang dan Ki Tapa terhadap Sultan Arifin yang memeras rakyat, karena pengaruh permaisurinya, Ratu Syarifah Fatimah Khadijah, seorang perempuan cantik peranakan Arab, bekas janda yang menjadi agen VOC (Lihat: P.J. Robidee van der Aa, De grote Bantamsce opstand in het midden van de vorige eeuw, B.K.I. XXIX, 1881, p. 1-127). Peristiwa itu tak mungkin tidak diketahui oleh asisten-residen Dekker ketika ia datang ke Lebak pada bulan Januari 1856. Bukankah Saija dan Adinda-nya cukup membuktikan pengetahuan sosiologiknya yang mendalam tentang struktur masyarakat Banten? Sok Melindungi Hukum Adat Dekker tidak menentang penjajahan. Bahkan ia ingin menyelamatkan kekuasaan Belanda terhadap pemberontakan dengan mencegah timbulnya itu melalui pengekangan terhadap pemerasan penduduk oleh kepala-kepala pangreh praja bumiputera. Ia seorang humanis dan etikus, karena itu secara naif ingin menjalankan suatu pemerintahan kolonial yang berperikemanusiaan, betapa illusoire (menggantang asap) pun kedengarannya. Tapi memang bagi siapa yang mau lebih dalam meneliti sejarah Indonesia-terutama sejak abad ke-17 -- akan menjumpai fakta-fakta pemerasan penduduk oleh kepala-kepala bumiputera yang lebih biadab daripada yang diperbuat oleh Belanda sendiri. Mengapa? Karena di dalam praktek pemerintah Belanda tak melarang pungutan ekstra dari penduduk selama setoran bagi pemerintah beres. Seperti dinyatakan almarhum Soetan Sjahrir di dalam Perdjuangan Kita: "Kolonialisme adalah persenyawaan antara feodalisme bumiputera dan kapitalisme asing di dalam bentuknya yang terburuk." Jadi rakyat Indonesia korban berlipat anda: daripada kepala-kepalanya sendiri dan daripada kekuasaan Belanda. Setidak-tidaknya Dekker hendak mengurangi pemerasan feodal oleh kepala-kepalanya. Kemajemukan hukum hendak dipakai oleh Nieuwenhuys untuk membenarkan Kartanatanagara dan Van Kem pen yang melindunginya --seluruh bukunya merupakan suatu pembelaan yang tekun, tapi sia-sia! -- serta menyalahkan Dekker setidak-tidaknya dari sudut formalitas kemajemukan hukum. Sikap sok melinduni hukum-adat itu hanya suatu kemunafikan. Reaim kolonial di mana sesuai dengan kepentingannya membela hukum-adat, sebaliknya di mana merugikan melanggar hukum-adat, seperti dibuktikan oleh tiga undang-undang tanah De Waal dari tahun 1870 (Undang-undang Gula, Undang-undang Pertambangan dan Undang-undang Agraria). Sedangkan Dekker lebih terus-terang bersikap, bahwa hukum Barat yang menindih (super-imposed) hukum-adat yang telah mulai terdesintegrasi itu mesti menang, supaya dengan demikian penduduk dapat dilindungi terhadap pemerasan. Itulah sebenarnya hakikat kasus Lebak 1856. Patut disesalkan, bahwa Nieuwenhuys menyamarkan sebagian fakta dan menggelapkan lainnya. Ia menguraikan silsilah Kartanatanagara (h. 28), tapi ia mengatakan, bahwa bupati itu bangsawan Banten. Padahal Kartanatanagara menurut hukum-adat samasekali bukan bangsawan dan pasti bukan orang Banten. Ia hanya seorang bangsawan tiruan buatan Belanda! Sebagai putera seorang penghulu bernama Muhammad Tahir dan saudara perempuan Wiratanudatar, bupati Cianjur, menurut hukum-adat Sunda ia tak berhak menjadi bupati, karena bupati Sunda menurut hukum-adat bersifat turun-temurun. Sementara itu penghulu tidak termasuk bangsawan, sepanjang hukum adat Sunda, juga di Banten, Meski isterinya adik seorang bupati, namun anak Muhammad Tahir, yakni Kartanatanagara, samasekali bukan seorang bangsawan menurut ketentuan patrilineal hukum-adat Sunda dan lain-lain. Kartanatanagara hanya menjadi bupati dengan memperkosa hukum adat. Apa lagi sepanjang hukum-adat di Banten, seorang bupati Banten tidak boleh didatangkan dari luar daerah. Padahal Kartanatanagara orang Bogor, bukan orang Banten. Ingin Menjilat Gaji Kartanatanagara f 700 (tujuhratus gulden) sebulan. Nilai nyatanya sekarang kira-kira Rp 700.000 (tujuhratus ribu rupiah). Tapi hidupnya besar pasak daripada tiang. Agaknya ia ingin menjaga gengsi terhadap bupati Serang dan bupati Pandeglang, dua orang bangsawan tulen yang daerahnya masing-masing jauh lebih kaya. Ia ingin juga menjilat para pejabat Belanda dengan memanjakan mereka untuk memperkokoh kedudukannya, karena ia bukan bangsawan dan bukan orang Banten. Akibatnya rakyat Lebaklah, terutama rakyat kewedanaan Parangkujang, yang menjadi korban. Nieuwenhuys pun menggelapkan fakta, bahwa pelaku langsung perampasan kerbau-kerbau itu, Wirakusuma -- wedana Parangkujang -- adalah menantu Kartanatanagara yang setia 'mendrop' hasil rampokannya kepada sang mertua. Bahwa ia kemudian hari dipecat dengan tetap mengunci mulutnya bukanlah bukti, bahwa mertuanya, yang menyuruh dia, tak bersalah. Nieuwenhuys juga menyamarkan fakta, bahwa Brest van Kempen seorang yang melajang seumur hidupnya tak pernah beristeri atau memelihara seorang "nyai". Tapi tak berarti ia berwadat. Menteri urusan jajahan S. Hasselman, yang pernah menjadi asisten-residen Pandeglang, menulis di dalam suratnya ttg. 18-3-1868 tentang Van Kempen dan Kartanatanagara yang sama-sama dikenalnya: "Hij Zat onder den regent, want de regent leverde hem meiden." (Van Kempen dikangkangi bupati, karena bupati menyerahkan perempuan-perempuan kepadanya). Di dalam suratnya itu Hasselman memberi contoh-contoh yang meyakinkan. Bagi kita cukuplah membandingkan sikap tegas-keras Van Kempen terhadap Panembahan Pamekasan yang resminya merdeka dengan sikapnya terhadap bupati Lebak yang serba mengalah dan kesetiaannya yang secara tetap dan teratur mengirimkan uang f 75 setiap bulan kepada bupati Lebak, yang dirogohnya dari kantongnya sendiri, serta pembelaannya yang ngotot kepada bupati itu. Apakah sebabnya? Karena sang bupati pemeras itu telah memungkinkan dia secara berkala menjalankan hak malam pertama (jus primae noctis) atas dara-dara pilihan dan perempuan-perempuan lain. Bahwa ketika berada di Yogya sebagai residen (1863) ia mulai gila dan kemudian hari mati di rumah-gila di Haarlem telah pula digelapkan Nieuwenhuys Syphilis? Mungkin saja. Surat menteri jajahan J.D. Fransen van der Putte 8-11-1864 pun membela Dekker. Ini fakta! Tapi juga fakta ini pun digelapkan. Sayang dengan segala keluasan bacaannya Nieuwenhuys kurang kenal liku-liku kehidupan Indonesia. Di sini soal-soal peka demikian masih tetap memainkan peranan sampai hari ini pun. Betapa pun buku Nieuwenhuys ini penting untuk dibaca oleh setiap peminat Multatuli, setiap peminat sejarah dan sastra. Paling tidak kita akan lebih mengenal Multatuli melalui kacamata lawan-lawannya. Di sinilah jasa Pustaka Jaya di dalam menerbitkan suatu esai yang biasanya bukan merupakan suatu objek komersiel di dalam usaha penerbitan. S.I. Poeradisastra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus