MANAKALA Paduan Suara Kanak-Kanak Wina (Die Wiener Sangerknaben) mengakhiri Muhibah Asia nanti, nama Arnold Pazenbock akan dicoret dari daftar keanggotaan. Arnold, yang masih pantas bermain layang-layang, tidak membuat kesalahan apa pun. Tapi dua bulan lalu usianya telah genap 14 tahun, batas tertinggi di paduan suara kenamaan itu. Publik Jakarta, yang sempat menyaksikan demontrasi kemampuannya sebagai solis utama ketika Paduan Suara Kanak-Kanak Wina memainkan karya Edward Benyamin Britten, Lord of Edinburgh, lissa Breis, di Golden Ballroom Hotel Hilton, Selasa dan Rabu malam pekan lalu, akan termasuk penikmatnya yang terakhir. Begitu pula terhadap George Nigl, yang berhal persis sama dengan rekannya itu. George, seperti yang disaksikan, mampu menggabungkan kemahiran ber-acting dan menyanyi sebagai pemeran utama seorang gadis, dalam dua lakon operet-komedi berbeda selama dua malam. Kendati demikian, tak seorang harus risau. Sejak didirikan 448 tahun lalu, Paduan Suara Kanak-Kanak Wina selalu bisa melahirkan Arnold-arnold dan George-george baru. Kesetiaan kepada tradisi, dan penggarapannya yang teguh, agaknya menjadi kunci keberhasilan mereka. Disimak dari latar belakang berdirinya paduan ini, tidak mengherankan jika mereka menjadi konservatif. Paduan suara Sekolah Seminari Wina ini berdiri memenuhi keinginan Kaisar Maximilian I untuk mengisi acara ibadat di Kapel Istana. Dengan kata lain, mereka lahir sebagai bagian dari upacara gerejani. Ketika itu liturgi ibadat memang belum seperti sekarang. Menyanyikan madahmadah pujian kepada Tuhan, misalnya, lebih sering dilakukan oleh para rohaniwan sendiri, terutama yang berasal dari schola cantorium. Dalam banyak hal -- mengikut sabda Rasul Paulus, yang ikut meletakkan fundamen berdirinya gereja -- wanita tidak diikutsertakan dalam kegiatan ibadat. Toh mereka mudah dibedakan dari Paduan Suara Kapel Sistinc di Roma, kendati sama-sama berpegang kepada doktrin menabukan peranan wanita. Anggota paduan suara Sistine adalah mereka yang sengaja dikebiri pada usia sebelum balig. Dengan cara itu, castrato, mereka yang dikebiri, dapat mempertahankan suara treble mereka, golongan suara anak-anak yang setara dengan sopran pada wanita. Di Italia, sampai abad ke-18, castrato mendapat tempat khusus dalam perkembangan opera seria. Semasa hidupnya. Komponis George Frederich Handel sendiri pernah terkagum-kagum karenanya. Begitu pula Richard Wagner. Bahkan ketika menyiapkan karya operanya, Parsifal, Wagner menginginkan peran utama wanita dimainkan oleh seorang castrato. Hingga saat ini belum pernah terdengar kelompok Paduan Suara Kanak-Kanak Wina mengebiri anggota. "Cara tersebut cocok bagi mereka. Tetapi tidak buat kami. Toh kami tidak pernah kekurangan anggota," kata Walter Tautschnig, direktur Paduan Suara Kanak-Kanak Wina. Namun, ketika seorang anak diterima di seminari ini pada usia tujuh tahun (dengan testing musikalitas, dan harus hanya warga Austria), ia akan memasuki tahap-tahap latihan yang ketat dan penuh disiplin sebelum nantinya boleh mengenakan seragam kelasi di panggung, pakaian seragam mereka. "Masa itu memakan waktu dua tahun," ujar Peter Tomek, konduktor merangkap pianis dan pelatih. Selama itu kurikulum sekolah mengharuskan mereka berlatih dua jam sehari, di luar pelajaran kelas. Tradisi itu tak berubah sejak awal walaupun selama Perang Dunia I institusi ini sempat berantakan, sebelum Josef Schnitt datang membenahinya. Tetapi kebangkitan paduan suara sesudah pembenahan itu sebenarnya menggeser peran semula: mereka tidak lagi semata-mata menjadi bagian dari upacara sakral. Tapi dari sini mereka menciptakan tradisi baru: setiap pertunjukan dimulai dengan serangkaian lagu gerejani dan karya-karya klasik, kemudian diseling sebuah operet, sebelum ditutup dengan walsa, polka, dan lagu rakyat. Kendati belum menampilkan seluruh kemampuan mereka, buat penonton Jakarta pertunjukan serius yang termahal itu (Rp 100 ribu per kursi dibanding Rp 35 ribu ketika Zubin Mehta dan Orkes Filharmoni New York tampil di Balai Sidang, dua tahun lalu) setidak-tidaknya telah memperlihatkan keteguhan mereka mempertahankan sebuah model. Dan inilah yang menjadikan kelompok ini besar dan tegar, meski tidak atau belum pernah menghasilkan solis ternama. Di panggung sederhana, tanpa dekor, di hadapan pengunjung yang mengelilingi meja sekelompok-sekelompok, mereka telah membuktikan kualitas model itu. Dari mulut-mulut mungil mereka seolah terdengar suara-suara malaikat. Merdu, merasuk ditata oleh kematangan teknik dan penguasaan sempurna alat musik yang mereka punyai: vokal. Mozart, Mendelssohn, Schubert, dan De Victoria, hadir bagai sahabat karib dalam dunia mereka. Atau bagai lukisan sketsa kehidupan di Wina abad ke-18 yang muncul sebagai bagian kehidupan mereka. Namun, dunia mereka sebenarnya tetap gundu dan layang-layang. Seperti kata Tautschnig, "Pada hakikatnya, kami tidak bermaksud mengubah kepribadian mereka. Biarlah mereka tumbuh sebagaimana anak-anak lain." Kendati demikian, kebanyakan alumni paduan suara ini bertekad menjadikan musik sebagai bagian utama kehidupan mereka. Ini memang bukan hal baru -- seperti kata Peter Tomek. Arnold dan George sudah berniat melanjutkan pendidikan mereka di sekolah musik. Lalu, di Indonesia, ke manakah R.A.J. Soedjasmin (almarhum), Pranajaya, atau Pater A.J. Soetanto, S.Y. ? Tiba-tiba saja upaya yang telah mereka lakukan selama ini seolah tenggelam di balik keberhasilan anak-anak kecil dari Wina ini. Yang pasti, di hadapan mereka masih terentang masa yang panjang. Seperti kata F.X. Soetopo, konduktor yang mempersembahkan hasil karya siswasiswa Akademi Musik Indonesia pekan ini, "Kita lahir dalam tradisi yang berbeda." James R. Lapian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini