MATAHARI mulai kehilangan terang. Sesekali Hatip Zen meniup kelongsong peluru, melengkingkan suitan nyaring pendek-pendek. Bunyi dengan nada tinggi itu menyelusup ke sebalik pepohonan, sebelum akhirnya lenyap. Hening kembali melingkupi lereng bukit. Kini ganti Sudarsono menyuarakan lengkingan, tapi dengan menggunakan keempat jari -- kedua telunjuk dan jari tengahnya yang dimasukkan ke mulut: tuit ... tuit ... tuit. Petang makin senyap. Keempat orang di bukit diPulau Bawean, sekitar 160 km di utara pantai Gresik, Jawa Timur, seperti terpaku. Mereka menahan diri untuk tidak membuat gerakan. Pada saat begini, orang hanya boleh menyalangkan mata untuk bisa mengamati gerak yang mungkin berkelebat. Atau menajamkan pendengaran, barangkali ada suara yang bukan karena gemerisik ilalang ditiup angin. Benar. Dari kerimbunan terdengar lengkingan yang sama: tuit . . . tuit . . . tuit. Zen dan Darsono membalasnya, dan yang di seberang kembali menyahut. Lalu berlangsunglah sahut-menyahut yang jaraknya terasa semakin dekat. Sampai kemudian, tampak semak bergerak, sekitar 100 meter dari tempat mereka. Lalu -- ini yang ditunggu -- dalam remang gelap sosok itu muncul menampakkan sorot mata yang bersinar dan tanduk bercabang tiga. "Rusa jantan," bisik mereka. Dan sang rusa, seperti sudah mafhum, pun hanya merasa perlu menunjukkan kegagahannya sedetik, sebelum berlalu menembus tamu-tamu dari Jakarta biasanya merasa puas. Meski hanya sekejap, mereka telah melihat rusa Bawean di habitatnya yang asli, di hutan pulau itu. Bertemu rusa Bawean di kampungnya, penting, lho. Sebab, seandainya cuma sekadar ingin bertatap pandang, orang bisa melakukannya sepuas-puasnya di kebun binatang Surabaya -- di kebun itu tak cuma ada seekor, tapi puluhan rusa Bawean. "Mungkin karena bisa bertemu rusa, bapak-bapak itu mengusulkan saya mendapat kalpataru," kata Zen -- demikian orang ini biasa dipanggil -- berseloroh. Tapi seloroh itu mungkin benar. Setidaknya, setelah bulan lalu orang Tampo, Desa Pudakit Barat -- satu dari tiga puluh desa di Pulau Bawean -- datang di Jakarta untuk menerima Hadiah Kalpataru sebagai pengabdi lingkungan, rusa Bawean terangkat jadi berita nasional. Zen terpilih dari beberapa orang yang telah sukses menjaga kelestarian rusa dari jenis yang cuma ada di Bawean. * * * Tapi mengapa rusa Bawean? Seorang Belanda bernama Van Hemmel pada 1953 menulis tentang sekelompok rusa kecil yang dipiara di kebun milik Kepala Daerah Tuban, kota di pesisir utara Jawa Timur di barat Gresik, pada 1836. Waktu itu seorang bernama Solomon Muller, tulisnya, mengira rusa itu asli Tuban. Van Hemmel dalam tulisan itu meluruskan perkiraan tersebut: bukan, itu bukan fauna Tuban, tapi rusa Bawean. Kemudian bertahun-tahun sang rusa dibiarkan menghadapi nasibnya sendiri. Tak ada orang mempedulikan pemburuan rusa yang konon dagingnya enak itu -- baik oleh warga Bawean sendiri maupun oleh pendatang dari pulau lain. "Ketika saya masih kecil, masih cukup banyak rusa berkeliaran di sekitar kampung," tutur Halimi Fahmi, 40, salah seorang tenaga honorer PHPA (Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam) di Desa Tambak. Sebenarnya rusa ini telah masuk Staatblad 1931 nomor 134, yakni undang-undang pemerintah Hindia Belanda tentang perlindungan binatang liar. Tapi sekadar undang-undang belum efektif, tampaknya. Baru di zaman Republik, ketika seorang John Blower dari World Wildlife Fund datang di Indonesia, 1960, tindakan keras terhadap perburuan rusa Bawean dilakukan. "Pemburu-pemburu ditangkapi, dibawa ke kantor polisi, lalu dipotret," tutur Halimi pula. Untuk apa? Nama dan potret itu lalu dipublikasikan di media massa asing. Rasanya lucu juga. Siapa akan ambil peduli terhadap wajah-wajah itu? Apakah mereka tergolong sejenis bromocorah internasional? Dan lalu apa efeknya terhadap perburuan si rusa? Pada 1969, ketika Blower menghitung populasi si rusa, ternyata tinggal sekitar 500. Kurang jelas berapa persen penurunan jumlah itu, sebab tak diketahui populasi tahun-tahun sebelumnya. Cuma orang Bawean sendiri tentunya yang bisa mengira-ngira bahwa jumlah rusa di pulaunya memang sangat berkurang. Seperti Halimi, yang tak lagi melihat rusa masuk kampung bahkan di pinggir kampung pun tidak. Kemudian -- kurang jelas apakah ini hasil usaha Blower atau bukan -- pada 1972, badan yang menangani suaka margasatwa dan sumber daya alam, International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), mencantumkan rusa Bawean atau nama ilmiahnya Axis kuhli dalam daftar fauna yang terancam kepunahan. Dan inilah rupanya yang mengundang Raleigh Blouch, sarjana margasatwa dari Universitas Washington, anggota World Wildlife Fund (WWF) pada 1979 pergi ke Bawean. Nah, si Blouch ternyata tinggal menemukan 400 ekor rusa -- dalam 10 tahun jumlah rusa berkurang 20%. Lalu si Raleigh Blouch itu, antara lain, berkampanye pentingnya rusa dilindungi. Orang yang kemudian "termakan" kampanye itu antara lain, ya, Zen dan Halimi itulah. * * * Enam kilometer sebelah barat Sangkapura, kota di pantai selatan Bawean, hampir di ujung jalan beraspal, berbeloklah ke kanan melalui jalan empit berbatu. Di situ, di kaki Gunung Gadung, Hatip Zen tinggal di rumah papan. Rumah bercat hijau itu warisan dari mertua, katanya. Istri Zen Aisyah, yang juga lahir di Tampo, masih sepupu sendiri. Dari enam anaknya hanya dua yang masih sekolah, di SD. Dua tertua putus sekolah, sedang dia terkecil belum. Rosita, anak keduanya, tampak sibuk menjahit dengan mesin Singer tua -- yang bersama jam gantung -- juga barang warisan. "Yang saya beli dari jerih payah saya sendiri hanya radio ini," kata Zen, menunjuk radio kecil merk Conion yang terpajang di bufet. Duduk bersandar pada tiang durung (bangunan yang atapnya bisa dipakai untuk menyimpan padi dan bagian bawahnya untuk bersantai keluarga), Zen menuturkan masa lalunya. Hutan dan rusa ada di sekelilingnya, sejak kecil. Ia ingat, selagi masih di sekolah rakyat (sekarang SD) pernah diajak kakeknya ke hutan. Itulah awal dia memperhatikan hutan dan isinya. Rusa dilihatnya dalam hutan, dan bila hewan itu turun ke permukiman, nasibnya sudah jelas: ditangkap, disembelih, dimakan dagingnya. "Kakek juga memelihara rusa, tapi saya lupa di mana rusa itu sekarang," kata Zen. Entah mengapa, Zen mengaku tak pernah makan daging rusa. Berburu? "Saya ini penakut, jadi tidak ada yang mengajak berburu. Lagi pula, saya kasihan sama rusanya." Menjelang kakeknya meninggal, orang tua itu masih sempat berpetuah, "Jangan sampai rusa itu punah, kasihan kalau anak cucu nanti tidak melihatnya lagi. Kalau rusa itu sudah tak ada, 'sinar Bawean' akan hilang." Sinar Bawean memang tak hilang. Buktinya, "Saya mendapat Kalpataru. Kalau tidak ada rusa, 'kan saya tidak bersalaman dengan Presiden," ujar Zen, lelaki berkumis, bertubuh sedang yang selera humornya boleh juga. Tapi hingga si kakek meninggal, bagi Zen sebenarnya belum jelas benar maksud petuah itu. Ia hanya tahu, yang dikatakan Kakek Sainabi, demikian namanya, tentulah penting. Sampai kemudian datang Raleigh A. Blouch, orang Amerika itu, yang dibiayai WWF untuk meneliti populasi dan peri laku rusa Bawean di habitat aslinya. Zen -- juga Halimi, yang masih famili Zen -- diminta oleh Blouch menemaninya. Baru dari Blouch itu Zen tahu bahwa rusa itu yang oleh kakeknya diharapkan tidak punah -- adalah jenis yang hanya ada di Pulau Bawean. Di bagian dunia lain, tak ada. Bila ada, itu pasti dari Bawean, dan di tempat baru terhitung bukan penduduk asli. Zen juga makin mengenal ciri dan tabiat rusa yang ditelitinya. "Waktu itu, kami sering bermalam di hutan, tidur di jaring yang dibawa orang Amerika itu," tuturnya. Ketika penelitian usai, 1979, dan Raleigh pulang ke negerinya, Zen lalu diangkat menjadi pegawai honorer PHPA, hingga sekarang. "Tahun ini, honor saya sudah Rp 40 ribu sebulan." Kini, hampir tiada hari tanpa Zen ke hutan. Pagi setelah sarapan dan minum kopi -- ia berbenah. Disiapkannya pisau panjang, sepatu karet tinggi, lampu senter dan tak lupa sebungkus rokok merk Minakjinggo yang akan mengawaninya dalam perjalanan nanti. Ketika jam anak-anak berangkat sekolah, Zen pun mulai mengenakan seragamnya -- baju cokelat muda, celana hijau tentara lengkap dengan kopelrim. Kadang ia lalu duduk di durung depan rumahnya menunggu kedatangan Darsono -- petugas PHPA yang juga tinggal di Desa Pudakit Barat. "Kadang saya yang ke rumahnya," kata Zen. Mereka pun berangkat bersama menuju ke kawasan Gunung Nangka yang menjadi tanggung jawabnya. Melalui jalan setapak di belakang rumahnya, ia menerabas ladang penduduk, masuk ke dalam kelindapan hutan. Jalan liat berlumut, di sana-sini diselingi bongkah batu. Zen terus melangkahkan kakinya mendaki sisi timur bukit. Hari-harinya di hutan diisi dengan memeriksa tapal batas suaka margasatwa dan cagar alam, atau melihat jejak-jejak rusa. Pada saat-saat tertentu Zen juga meletakkan garam yang dimasukkan dalam karung, di padang-padang rumput. Setelah embun turun membasahi karung goni, rusa pun datang menjilat-jilatnya. Itu untuk menjaga kehalusan bulu dan kulit -- pengetahuan yang tak didapat Zen dari orang-orang tua di desanya, melainkan dari Raleigh. Zen juga yang mengontrol bak air buatan, tempat rusa minum di kala kemarau. Dari parit-parit, air dialirkan dengan slang beratus meter panjangnya. Kadang, sambungan slang lepas, entah tersanduhg kaki rusa, atau orang. Itu sebabnya slang-slang perlu selalu dikontrol. Bila slang lepas dan tak diketahui dalam waktu lama, tentu mempersulit rusa mencari minum, apalagi di musim kemarau. Di akhir musim kemarau -- September atau Oktober -- ada pekerjaan besar yang harus dilakukan Zen bersama teman-teman sekerjanya. Yakni membakar ilalang. "Kita harus menjaga agar apinya tidak ke mana-mana." Bisa-bisa seluruh hutan terbakar, bila lalai. Padahal, pekerjaan itu sangat berarti bagi, siapa iagi, ya si rusa itulah. Bukan apinya untuk menghangatkan tubuh rusa. Bukan juga abu alang-alang yang tentu tak ada hubungannya dengan kehidupan rusa. Di tanah bekas alang-alang terbakar, dua-tiga hari berikutnya, akan tumbuh ilalang baru. Ilalang muda itulah makanan favorit bagi rusa. Kala pagi sudah terang, akan tampak banyak jejak rusa dan kotorannya di padang ilalang muda itu. Setiap tahun pula, Zen harus mengawani petugas PHPA Surabaya dan membantunya mencatat populasi rusa. Beberapa malam dilewatkannya dalam hutan, dalam blok-blok yang telah ditentukan, untuk mengetahui berapa kira-kira jumlah rusa di wilayah itu. Dari data setiap blok, disusun perkiraan populasi rusa seluruhnya. Adakalanya Zen harus bertindak sebagai dokter hewan. Meski namanya rusa Bawean, hewan-hewan itu bisa juga sakit. Misalnya bila ada rusa luka karena digigit anjing -- yang biasanya lalu lari ke sawah dan ramai-ramai ditangkap penduduk -- saat itulah Zen turun tangan. Sebagai dokter, Zen tergolong dokter tradisional. Coba lihat. Untuk rusa yang pingsan kelelahan, Zen akan mengambil daun lelorok muda. Daun itu lalu dikunyahnya, sebentar, kemudian disemburkannya ke tubuh yang tengah pingsan itu. Bila ada rusa luka, ia akan mengambil kunyit dan menggeruskannya ke batu. Gerusan itulah yang dioleskannya di pinggir bagian yang terluka. "Saya sebenarnya tidak tahu apa manfaatnya kunyit itu, tapi orang-orang tua dulu selalu melakukannya demikian," kata Zen. Perjalanan ke hutan selalu diakhirinya ketika hari sudah gelap benar. Lelah? "Ah, sudah biasa," jawabnya. Di hutan ia sering kali tertidur di pokok kayu karena semilirnya angin. Namun, yang paling menyenangkannya adalah saat bertemu rusa di hutan. Suara lengkingan yang dibuatnya dengan cara meniup kelongsong peluru, atau dengan memasukkan empat jarinya ke mulut, pasti mendatangkan teman, ya si rusa. Walau hanya muncul di kejauhan, Zen sudah sangat puas. Ia sendiri tak bisa mengatakan mengapa bisa bahagia hanya melihat rusa sekejap. Mungkin, jauh dalam lubuk hatinya, ia merasa bersyukur bahwa hidupnya tidak sia-sia -- ada yang membutuhkannya, rusa itu. Lalu ia pulang. Lampu senter kini dimainkan, tak semata untuk menghindari batu yang bisa mengantuk kakinya tapi juga menghindarkan ular belang yang gigitannya mematikan -- meski ia telah memakai sepatu karet panjang. * * * Zen tidak sendirian. Dan sebenarnya ia tak dapat dikatakan paling berperan dalam menjaga rusa Bawean. Ada delapan petugas PHPA di pulau itu yang masing-masing mempunyai pembagian tugas yang dapat dikatakan sama. Kasnadi mengepalai Resort PHPA Kecamatan Sangkapura, sedang Monenom berkedudukan di Tambak. Sisanya tersebar di berbagai kawasan seperti halnya Zen di Gunung Nangka, misalnya. Ada Darsono, 36, kawan seiring Zen setiap hari dalam menjaga rusa. "Kami hampir selalu bersama-sama," kata Darsono. Sudah lima tahun ia mukim di desa itu, menempati rumah mungil milik PHPA yang cukup memberikan perlindungan. Juga, buat istri dan dua anaknya. Darsono asli Nganjuk, tapi ia mengaku sudah merasa menjadi satu dengan hutan Bawean. "Sakit rasanya badan ini, kalau beberapa hari tak pergi ke hutan," gaya lulusan SMP ini. Darsono juga mengaku paling terhibur bila bertemu rusa di hutan. Ketika bersama TEMPO ke daerah yang sering didatangi rusa -- lereng Kolpo-kolpo di perbatasan suaka margasatwa dan cagar alam -- entah siapa yang membawa sial: Darsono ataukah wartawan TEMPO. Rusa hanya menjawab dengan sekali lengkingan pendek, sudah itu, krosak . . . hewan itu lari tanpa menampakkan secuil pun dirinya. Hanya tinggal jejak di tanah basah. Ternyata, memang ada teknik tersendiri untuk sekadar bertatap muka dengan Axis kuhli. "Mencium bau manusia rusa akan lari," ujar Darsono. Karenanya, si pemanggil rusa harus berada di posisi yang berlawanan dengan arah datangnya angin -- tak peduli yang memanggil itu Zen, pemenang Kalpataru, atau bukan. Masih di Tampo, dan masih tentang rusa dan hutan lindung, tak lengkap bila tak menyebut nama Halimi Fahmi, 40, yang telah disebut-sebut. Halimi-lah yang kini dianggap paling mengenal rusa Bawean dan hutan rumah rusa itu. Ia pula yang paling banyak mengantar Raleigh, dalam penelitiannya dulu. "Kalau Pak Halimi yang bersuit, besar kemungkinan rusa akan muncul," kata Darsono. Dan jangan dikira, orang-orang yang suka bersuit-suit ini terbebas dari bahaya. Dengar saja tutur Halimi ini. Pernah suatu malam, ketika diadakan survei populasi. Ia lalu memanggil rusa seperti biasanya. Cuittt . . . cuiit . . dari kejauhan muncul sahutan senada. Sahut-menyahut berulang kali, jarak pun semakin dekat, sampai kira-kira hanya lima meter. Tiba-tiba dari semak asal suara "cuit" balasan sebuah parang terayun. Oh, ada kesalahan teknis, rupanya. Kedua belah pihak mengira yang membalas "cuit" mereka adalah rusa. Untung, parang masih sempat ditahan. "Saya menyangka ia rusa, ia pun menyangka saya rusa," kata Halimi. Padahal, kedua orang itu dikenal masyarakat sama-sama orang yang ahli rusa. Bedanya Halimi hendak observasi, sedang yang lain berusaha adu untung barangkali bisa mendapatkan rusa. Namun, insiden itu juga membuktikan bahwa suitan dari para ahli telah benar-benar mirip lengkingan rusa. Coba, ada lomba "suitan rusa" pasti orang Bawean pemenangnya. Seperti juga Zen, hingga kini Halimi adalah tenaga honorer. Untunglah, hidupnya tak tergantung PHPA -- justru mungkin PHPA tergantung pada dia, untuk sementara ini setidaknya. "Istri saya berdagang," ujarnya, dan ia pun punya sawah. Bahwa selama Raleigh di Bawean menginap di rumahnya, ia sangat bersyukur. Sebab, tak hanya pengetahuannya tentang rusa bertambah, ia juga mewarisi setumpuk literatur. Halimi pula tenaga honorer yang, aneh juga ini, sempat menjadi kepala resort PHPA di Tambak. Lalu apa komentar rekan-rekan Hatip Zen yang tak terpilih memperoleh Kalpataru itu? Orang-orang yang lebih banyak berada di kerindangan hutan, atau di tengah padang ilalang, tampaknya punya kebahagiaan sendiri yang kukuh. "Pak Zen memang orang lugu, dan rajin," kata Darsono dengan tulus. * * * Sebenarnya kecintaan orang Bawean, atau yang telah menjadi penduduk pulau ini, jauh mengisi bawah sadar mereka. Di sini lahir sebuah cerita rakyat, yang tak lagi diketahui kapan munculnya. Konon, rusa-rusa Bawean yang bisa dilihat mata itu hanya sebagian dari milik Bawean. Masih ada rusa dengan tubuh berselempang warna putih yang tentu saja gaib. Rusa inilah yang dalam pembicaraan dari mulut ke mulut penduduk dianggap sebagai pamor -- lambang kewibawaan -- Bawean. "Kata orang-orang tua dulu, rusa itu memang ada. Tapi saya tak pernah melihatnya," ujar Zen. Sementara Halimi hanya tertawa, memperlihatkan ompongnya, dan menggeleng ketika i ditanya soal pamor itu. Adalah Lurah Desa Gelam, A. Arifin Z., yang mengaku pernah melihat rusa misterius itu. "Saya melihatnya di lereng gunung ini," ujarnya, menyebut Gunung Patahonan di sisi utara desanya. Arifin mengaku berusaha menangkapnya dengan bantuan banyak penduduk dan anjing. Tapi aneh, katanya, anjing tak menyalak sama sekali. Padahal, sebagaimana fabel tentang kucing dan anjing, rusa dan anjing pun musuh bebuyutan. Konon, tanduk rusa yang indah itu dulunya milik anjing. Entah apakah ada yang pernah memberitahukannya atau tidak, setelah Lurah Arifin gagal menangkap rusa berselempang, ada lagi perburuan di Gunung Patahonan. Dan kali ini, para pemburu itu, dari Jakarta. Menjelang Pemilu 1982, tepatnya pada 30 April 1981, Sudjono Hoemardani (almarhum) datang ke Bawean disertai rombongan. Heli mendarat di lapangan Sangkapura, rombongan melanjutkan perjalanan dengan mobil ke Desa Gelam. Kemudian jalan kaki mendaki gunung yang berkelerengan hingga 60 derajat itu. Hari itu malam Jumat. Dengan sesaji kain putih, bunga-bungaan dan kemenyan, rombongan bersemadi di hadapan makam di puncak gunung. O, ya, di puncak gunung, atau lebih tepat bukit itu, ada makam, entah kuburan siapa. Serangkaian dialog dengan yang gaib, konon, dilakukan. Yang gaib memberi tanda akan menyerahkan rusa putih tadi di depan gua, di lereng unun. Demikian cerita oran Bawean yang ikut dalam acara itu. Tapi, jam demi jam berlalu tanpa kemunculan rusa putih. Kebetulan, waktu itu seekor rusa muda tertangkap penduduk. Mungkin, daripada kembali ke Jakarta dengan tangan kosong, dengan melilitkan benang lawe putih ke perutnya, diperolehlah rusa berselempang. Dan, ah, ya, menurut para yang ikut bersemadi, yang gaib telah berjanji bahwa kekuatan rusa putih sudah dipindahkan ke jasad rusa muda tadi. Begitu rusa berselempang buatan dibawa ke Jakarta, penduduk lalu memperbincangkannya dari mulut ke mulut. Apakah itu berarti pamor Bawean telah dibawa ke Jakarta? Mungkin, tidak. Sebab, masih ada Hatip yang memperoleh Hadiah Kalpataru. * * * Dari segi bentuk, sebenarnya Axis kuhli bukan peragawan atau peragawati jempolan. Rusa Pulau Bawean kecil dibandingkan ukuran rusa pada umumnya. Panjang tubuhnya paling mencapai 110 cm dan tinggi pundak sekitar 65 cm. Leher tegak menopang kepala. Sedang rangganya -- tanduk terpanjang yang pernah diukur 47 cm dengan tiga cabang. Satu cabang di bawah dan dua lainnya di atas membentuk semacam garpu. Menurut Raleigh, nenek moyang Axis kuhli adalah Axis oppenoorthi dan Axis Iydekkeri yang punah di Jawa ribuan tahun silam. Saat es mencair dan permukaan laut naik hingga memisahkan Bawean dari tanah Jawa, sekelompok rusa tersisa di pulau baru itu. Evolusi menjadikan dua jenis rusa itu jadi satu jenis: rusa Bawean sekarang. Dan inilah cerita Halimi, orang yang kini dianggap paling mengenal hewan yang dilindungi ini. Rusa Bawean hidup di hutan-hutan yang tak terlalu lebat, yang ada padang-padang rumputnya. Hewan ini tergolong penyendiri, hampir tak pernah terlihat berkelompok. "Yang pernah saya lihat paling banyak empat rusa berkelompok, itu pun hanya sekali," ujar Halimi. Kulit anak rusa tampak seperti bertotol-totol. Noda itu makin lama luntur, dan akhirnya lenyap. Cokelat halus, akhirnya warna rusa Bawean yang jantan berwarna lebih gelap. Sepanjang parit yang airnya mengalir, rusa sering muncul. Menjelang petang, hewan ini meninggalkan persembunyiannya mencari makan, hingga malam. Pagi, sering juga rusa berkelebat menampakkan diri, sebelum lalu bersembunyi. Makanan kegemaran hewan Bawean ini adalah buah kayu bulu (Irvingia malayana). Di malam hari, di musim buah pohon itu masak, rusa mendatangi pohon itu menelan banyak-banyak buahnya. Tentu, yang terjangkau lehernya, atau buah yang luruh ke tanah, yang dilahap. Itulah bekal buat berbaring, agar rusa tak menganggur. Buah yang sudah tertelan ke dalam perut tadi dikeluarkan, dikunyah-kunyah dalam proses memamah biak. Bila esok rusa pergi, di bekas pembaringan akan terlihat bekas-bekas hasil kerja itu: biji-biji buah kayu bulu yang dimuntahkan lagi oleh rusa. Sering rusa Bawean memperdengarkan lengkingnya. Itulah yang lalu sering ditiru penduduk untuk memanggil rusa. Kadang, jantan-betina bersahutsahutan dari jauh untuk bisa bertemu. Kencan, tentu. Suara betina melengking dengan frekuensi yang lebih tinggi. Adakalanya jantan dengan jantan bersahut-sahutan. Dan, bila dua ekor jantan berhadapan, lalu kaki depan keduanya diketuk-ketukkan ke tanah, itulah waktu keduanya hendak bertarung. "Kalau sudah tarung, sulit berhentinya," kata Halimi. Keduanya bertarung dengan mata terpejam. Persis sama, pada saat rusa minum di sungai, kolam, atau genangan air -- mungkin malu melihat bayangan sendiri dalam air. Rusa Bawean, konon tergolong rusa yang cerdik. "Pernah saya melihat anjing menggonggong di tepi sungai, dan di situ jejak-jejak rusa terlihat," kata Halimi. Setelah ia memperhatikan benar, tampak olehnya seekor rusa tengah berendam seluruhnya di dalam air menghindari kejaran anjing. Hanya ujung hidungnya saja yang dimunculkan ke udara, untuk tetap bisa bernapas. Adakalanya rusa meloncat tinggi-tinggi ke atas semak-semak, dan diam tak bergerak di situ sampai anjing lewat. Anjing yang melacak rusa hanya lewat jejak kakinya, tak bakal menemukannya. Cara lain, setelah rusa berlari-lari biasa mendadak ia meloncat jauh ke depan, lalu kembali meloncat ke belakang, kemudian mengikuti jejaknya semula, sebelum lalu menyebal lagi ke arah lain. "Anjing sulit menemukan rusa yang punya taktik seperti itu," tutur Halimi. Tapi mengapa anjing? Di pulau tanpa harimau itu, anjing memang jadi musuh utama rusa. Selain, tentu saja, para pemburu. Pemburu, boleh dibilang, justru musuh berat dibandingkan sekawanan anjing kampung yang lalu liar di hutan. Anjing tak punya akal macam-macam, sementara pemburu punya senjata, punya jaring, bisa menggali lubang jebakan, dan sebagainya. Kegemaran rusa akan buah kayu bulu, ternyata, jadi sumber bencana. Bila buah kayu bulu masak, terutama di malam terang purnama, pemburu akan bersuka hati memanjat pohon itu, menunggu datangnya rusa. Begitu rusa datang . . . dorr. "Dulu memang banyak yang berburu, tapi sekarang tidak lagi," kata Kasnadi, kepala resort PHPA Sangkapura. Malah ia yakin saat ini tak seorang pun yang berburu rusa di sana. Setelah PHPA menempatkan orangnya di Bawean, pemburuan hilang. Populasi rusa pun berkembang hingga sekarang diperkirakan ada 1.200 ekor rusa di Bawean. Dan ia yakin jumlah itu masih akan berkembang lagi di areal suaka margasatwa dan cagar alam yang seluruhnya seluas 4.500 ha -- atau hampir seperempat luas Bawean. "Kesadaran penduduk terhadap rusa sekarang sangat baik," kata M. Isa Moekti, pembantu Bupati Gresik di Bawean. Kalaupun ada rusa yang turun ke kampung -- entah kesasar atau karena dikejar anjing -- lalu ditangkap penduduk, selalu diserahkan kembali pada petugas PHPA, untuk dilepas kembali bila sehat walafiat. Atau dirawat dulu hingga sembuh benar. * * * Tanpa rusa mungkin pulau kecil seluas 188 km persegi ini tak akan menarik perhatian. Dengan tanahnya yang gersang, Pulau Bawean memang hanya memberi kesempatan bagi 66.000 warganya untuk hidup dari hasil ladang dan laut: sebagian besar orang Bawean adalah nelayan dan petani ladang. Memang, ada kemungkinan kerja yang lain, yakni berdagang. Atau, kemudian orang Bawean berlayar pergi dari pulaunya, merantau. Pilihan terakhir itulah yang ternyata banyak dipilih oleh orang-orang yang menurut sejarahnya merupakan percampuran dari orang Sulawesi, Jawa, Madura, dan Kalimantan. Dan bukannya merantau ke Jawa, atau ke pulau besar lain di Indonesia. Agak aneh, memang, bahwa sampai 1970, hubungan Bawean-Singapura jauh lebih gampang daripada Bawean-Gresik. Padahal, jarak hubungan pertama itu sekitar 10 kali lebih jauh daripada yang kedua. Tapi di Singapura dan Malaysialah mereka mendapat nafkah: sebagai buruh bangunan, anak buah kapal, karyawan perusahaan, pedagang, dan lain-lain. * * * Usaha pengembangbiakan rusa Bawean di luar habitat aslinya tampak lebih dari sekadar berhasil. Kebun Binatang Surabaya, misalnya, mulai memelihara rusa Bawean 5 ekor pada 1969. Rusa itu terus berkembang hingga sekarang mencapai 105 ekor. "Angka kematiannya setahun hanya dua persen," kata Bambang Soehardjito. Sementara itu, tingkat kelahiran rata-rata mencapai 1,3 ekor per tahun. Walaupun rusa Bawean dapat pula punya anak kembar, lazimnya hewan memamah biak ini beranak tunggal. * * * Di kantor PHPA Sangkapura sebuah poster tua tentang rusa Bawean -- yang kertasnya pun telah kuning kumal -- terpajang di dinding. Sang rusa seakan meratap untuk dilindungi nasibnya. Persoalannya adalah: mana yang harus dipilih, langkah pragmatis atau konservasionis. Apa untungnya kalau rusa Bawean berkembang? Apa ruginya bila rusa itu punah? Bagi para konservasionis jawabannya jelas: tak perlu jawaban. Malah, tak perlu ada pertanyaan. Nenek moyang Hatip Zen tahu benar bahwa Axis kuhli tak boleh punah. Karena itu, mereka menciptakan mitos, tentang rusa berselempang. Dan bahwa Bawean akan kehilangan pamor tanpa rusa. Kini kita pun melakukan hal yang sama, dan mungkin mitos itu adalah Kalpataru. Dan alasannya tetap: punahnya rusa Bawean berarti hilangnya pamor, mungkin, bukan cuma pulau kecil yang termasuk Kabupaten Gresik itu, tapi pamor Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini