Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Mandarin gotong deppen royong

Importir film mandarin menyediakan dana untuk membangun gedung dewan pers. menurut ali moertopo bantuan tersebut adalah bentuk nyata jiwa gotong royong. kini film mandarin pemasarannya makin kuat.

8 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FILM Mandarin, terutama jenis kung fu, tampak semakin kuat di pasaran. The Drunken Master dan The Young Master (keduanya dibintangi Jacky Chan d/h Chen Lung), misalnya, sudah mampu menembus bioskop non Mandarin. New Garden Hall, bioskop jalur utama di Jakarta, memutar keduanya selama lebih seminggu. "Penggemar film Mandarin telah muncul di Kebayoran Baru," kata Rudi Lukito, direkturnya. Buat Asosiasi Importir Film Mandarin, perkembangan pasar itu tentu saja menggembirakan. Kantung keenam anggotanya (PT Isae, Tobali, Bola Mas Jaya, Safari Sinar Sakti, Sufin dan Suptan Film) semakin tebal. Tapi sebagian pendapatannya ternyata disisihkan buat pihak lain. Dalam bentuk apa? Menteri Penerangan Ali Moertopo, 27 Oktober, secara simbolis telah memancangkan tiang beton pembangunan gedung Dewan Pers di Jl. Kebon Sirih 32, Jakarta Pusat. Proyek gedung bertingkat delapan itu, di atas tanah 3 ha milik Deppen, dibangun dengan dana (Rp 1,5 milyar) dari kantung Asosiasi Film Mandarin. Pembangunannya diperkirakan akan memakan waktu 1,5 tahun. Bantuan pengadaan gedung tersebut, menurut Menteri Ali Moertopo, merupakan bentuk nyata pelaksanaan jiwa gotong royong. "Asosiasi Film Mandarin yang menggotong, kami (Deppen) yang meroyongkan," katanya. Ali Moertopo, setelah pulih kesehatannya, berpidato tanpa teks panjang lebar. Proyek gedung Dewan Pers itu merupakan usaha importir film yang kedua dalam membantu pihak pers Indonesia. Yang pertama adalah gedung Monumen Pers di Surakarta, dibangun dengan bantuan dana asosiasi Importir Film Eropa dan Amerika Serikat. Tidak jelas sesungguhnya apa manfaat dan keuntungan yang kelak diperoleh asosiasi bersangkutan. Sudwikatmono, Ketua Asosiasi Film Mandarin, sekedar menghimbau pemerintah-agar tidak mengubah peraturan di bidang pengadaan dan peredaran film impor selama jangka waktu pembangunan gedung itu. Asosiasinya, menurut Sudwikatmono, cukup prihatin mengemban tugas tersebut. Marius Nizart, Sekretaris Asosiasi Film Mandarin, memperkirakan selama lima tahun keenam anggotanya tidak akan memperoleh keuntungan banyak. "Tapi rugi pun tidak," katanya. "Bila orang lain untung 2,5%, sedang kami untung 10%, mengapa kami tak berani membantu," tambah Charis ll. Tr, bagian pemasaran PT Safari Film. Dalam upaya mengumpulkan dana pembangunan gedung itu, menurut Marius, mereka tidak menekan pengusaha bioskop --dengan mengubah pembagian pendapatan. Pembagian keuntungan antara pengusaha bioskop dan importir, setelah dipotong pajak tontonan, sampai kini tetap fifty-fifty. Tapi untuk memperbesar pemasukan, keenam anggota asosiasi kemudian banyak berhemat, seperti mengurangi pengeluaran dana iklan. Suptan Film, misalnya, membatasi anggaran iklan sampai Rp 100 juta tahun ini. Dibanding film Barat (AS dan Eropa), iklan film Mandarin memang sering tidak tampak di halaman koran Jakarta. Kalau toh muncul, demikian Marius, itu hanya bersifat pemberitahuan saja. Suptan Film, yang mengatur peredaran film Mandarin di Jakarta, umpamanya, enggan melakukan jual kecap berlebihan. Kenapa? "Karena dengan hanya menyebut judul, pemain dan sutradara, publik film Mandarin sudah tahu tentang jenis film yang akan dilih atnya, " ulas Marius. Penggemarnya pun kini tampak semakin luas, apalagi sesudah serial film kung fu yang dibintangi Chen Lung memasuki Indonesia. Film kung fu terutama, setelah diputar di berbagai bioskop jalur utama, masih mampu beredar dan bersaing dengan film Indonesia di bioskop bawah --tahap pemutaran keempat (move over). Dengan jaringan pemasaran yang kuat, wilayah peredaran Mandarin lebih lebar dibanding film Barat. Karena prospek pemasarannya yang menggiurkan itu, bioskop Rivoli (dikenal sebagai pemutar tetap film India di Jakarta) pernah juga berusaha memutar film kungfu. Harga Tanda Masuk sudah diturunkannya dari Rp 1.000 ke Rp 500, namun Rivoli tidak banyak menyerap penonton. Film kung fu di sana hanya bertahan dua bulan, dan bioskop itu kembali memutar film India. Baikkah pemasarannya di Jakarta? Dari Jakarta, importir film memperoleh pemasukan sekitar 40%. Sedang selebihnya mereka sedot dari Medan (Sumatera Utara), Bandung (Jawa Barat) Semarang (Jawa Tengah) dan Surabaya (Jawa Timur). Kuota impor film Mandarin tahun ini berjumlah 61 judul, sama dengan tahun lalu. "Selama tuntutan masyarakat belum meningkat, kami merasa kuota tersebut cukup memadai," kata Marius.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus