Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Marc Marquez pebalap MotoGP pernah main angklung di Saung Angklung Udjo, dua tahun lalu, tepatnya 10 Februari 2019, bersama President Director AHM Toshiyuki Inuma.
Seni tradisional alat musik dari bambu asal Jawa Barat ini kerap menjadi persembahan kepada tamu-tamu dari mancanegara karena keunikannya.
Sebelum menjadi kesenian yang dikenal luas seperti sekarang, alat musik angklung telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang. Pada masa penjajahan Belanda, alat musik tersebut bahkan dilarang dimainkan. Bagaimana kisahnya?
Melansir buku Jurus Kilat Jago Main Angklung yang ditulis Ajimufti Azhari dan Asri Andarini, tidak diketahui kapan angklung pertama kali dibuat dan dimainkan. Mulanya, alat musik ini digunakan sebagai sarana pemujaan Nyai Sri Pohaci atau yang dikenal pula sebagai Dewi Sri.
Masyarakat Sunda yang agraris mempercayai keberadaan Dewi Sri sebagai Dewi Padi pemberi kehidupan. Mereka mempersembahkan lagu-lagu pujian agar Dewi Sri turun ke bumi untuk memberkati tanaman padi dan menghindarkan mereka dari gagal panen.
Alat musik yang digunakan dalam ritual persembahan lagu terbuat dari batang bambu yang ditabuh atau digoyangkan. Dari sini kemudian lahirlah alat musik angklung. Biasanya, angklung yang digunakan hanya terdiri dari lima nada, seperti salendro, pelog, dan madenda.
Masyarakat Baduy yang dianggap sebagai sisa masyarakat Sunda asli masih melaksanakan ritual dengan menggunakan angklung secara rutin, yakni pada saat mengawali penanaman padi, pesta panen, dan seren taun.
Angklung Dianggap Musik Militer
Pada masa penjajahan Belanda, angklung dianggap sebagai musik militer yang dapat membangkitkan semangat rakyat dalam melakukan perlawanan. Hal itu dijelaskan dalam makalah yang ditulis oleh maestro angklung Obby AR. Wiramihardja.
Seorang pengamat Belanda berinisial GJN, dalam zaman INDIE tahun pertama, No. 21, 22 Agustus 1917 mengatakan, “En geen wonder : de angkloeng is militaire muziek” (dan tidak mengherankan: angklung memang musik militer).
Hal serupa juga diungkapkan dalam majalah de ORIENT No. 52, 24 Desember 1938, yang menyebutkan, “Over het algemeen dragat angkloeng muziek een opwekkend en vroolijk karakter, maar het heft ook zijn krijgslystige en mystiekezijde” (pada umumnya musik angklung menggairahkan dan menggembirakan, tetapi juga dapat menimbulkan semangat perjuangan dan mistik).
Angklung dianggap sebagai ancaman bagi pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu, pada pertengahan abad ke-XIX, ketika di Pasundan sedang dilaksanakan peraturan tanam paksa, permainan alat musik ini dilarang. Angklung hanya boleh dimainkan oleh anak-anak dan pengemis saja.
Pada 1938, seorang guru Sekolah Rakyat sekaligus Pembina Pramuka di Kuningan Jawa Barat, Daeng Sutigna, tertarik dengan permainan angklung dari seorang pengemis. Ia lalu mempelajari cara membuat angklung dari seorang perajin bernama Pak Jaya.
Berbekal pengetahuan musik yang dimilikinya, Daeng melakukan inovasi dengan membuat angklung yang terdiri atas 7 nada atau yang disebut pula sebagai angklung solmisasi. Angklung tersebut dimainkan oleh para anggota pramuka dan mendapat sambutan baik dari berbagai kalangan.
Daeng kerap mengadakan pementasan angklung di Kuningan bersama para pelajar dan anggota pramuka. Pada Perundingan Linggarjati tahun 1946, ia juga memperdengarkan angklung dan berhasil mencairkan suasana tegang kala itu.
Angklung semakin dikenal setelah Daeng mengajarkan permainan alat musik tersebut bersama para muridnya di sekolah-sekolah. Pada Konferensi Asia Afrika 1955, Daeng berhasil memimpin 1.000 pelajar memainkan angklung di hadapan para pemimpin dunia.
Pada 1968, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan angklung sebagai alat pendidikan musik dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sejak itu, angklung menjadi bagian dari pendidikan di sekolah-sekolah.
Pada November 2010, alat musik angklung ditetapkan sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia oleh UNESCO. Penetapan tersebut telah melalui serangkaian proses diplomasi yang cukup lama.
SITI NUR RAHMAWATI
Baca: Alat Musik Tradisional Angklung Sempat Dimainkan 1.500 Nakes di Wisma Atlet
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini