ATAPNYA berbentuk limasan dua tumpuk, merunduk rendah, meneduhi terasnya. Di tengah padatnya permukiman penduduk, bangunan yang terletak di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, ini memang tidak menonjol. Bahkan tidak menye- rupai masjid. Selain lambang bulan bintang di pucuk atapnya, hampir tidak ada detail lain yang menunjukkan itu sebuah masjid. Demikian pula interiornya, sebuah ruang salat yang lapang, bebas tiang bangunan.
Kesederhanaan dan inovasi desain masjid rancangan Adhi Moersid tahun 1986 itu diganjar Aga Khan Award—penghargaan paling bergensi dalam dunia arsitektur. Masjid Said Naum memang bukan nama baru. Selesai di- bangun pada 1977, pada tahun 80-an masjid ini telah diyakini sebagai satu tonggak arstitektur masjid kontemporer.
Belakangan, alasan ini yang dipakai sebuah studi yang memilih sepuluh masjid berarsitektur kontemporer. "Secara fisik masjid-masjid ini tidak mengikuti arsitektur Timur Tengah," ujar Muhamad Ichsan Hardjanugraha, ketua tim studi. Selain Said Naum, ada Masjid Salman di kampus ITB, yang hingga kini dianggap sebuah milestone masjid kontemporer. Referensi yang sama ditujukan pada masjid Pondok Indah Jakarta, masjid Balai Kota Bandung, dan masjid Kota Jember.
Studi ini juga memasukkan masjid berskala besar dan megah seperti Masjid Istiqlal, Masjid Attin Jakarta, Masjid Agung Surabaya, dan Masjid Al-Markaz Al-Islami di Makassar. "Dalam VCD itu, kami juga menunjukkan sejauh mana masjid yang dibangun dengan dukungan biaya yang besar," tutur Ichsan.
Masjid Al-Markaz, misalnya, dibangun dengan biaya Rp 10 miliar. Meski masih terpengaruh Masjid Nabawi di Madinah dengan lima menara menjulang, Al-Markaz cukup fenomenal. Dengan luas hampir 7.000 meter persegi, dengan areal 9 hektare, Al-Markaz merupakan masjid terbesar di wilayah Indonesia Timur. Daya tampungnya mencapai 20 ribu jemaah. Mungkin kapasitasnya bisa dibandingkan dengan Istiqlal, masjid yang dibangun tahun 1954. Selain menampung hingga 200 ribu jemaah, Istiq-lal juga dianggap sebagai masjid modern terbesar pertama di Indonesia. Hasil studi yang diprakarsai Departemen Agama ini telah difilmkan dalam format VCD yang akan dirilis akhir Ramadan ini.
Menurut Ichsan, masjid-masjid ini dipilih karena mereka memberikan napas baru dalam arsitektur masjid. Salah satu kesulitan yang dijumpai adalah batasan istilah kontemporer. Tapi sebuah pikiran sederhana ditempuh. "Dalam Islam, kontemporer dapat diartikan maju dan modern, yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi saat itu," ujar pakar arsitektur Masjid Achmad Noe'man kepada TEMPO .
Jika mengambil batas itu, berarti masjid kontemporer menerobos kelaziman bentuk arsitektur yang sudah ada. Di Indonesia, misalnya, masjid selalu dikenali lewat kubah bulat dan menara tingginya (minaret). Langgam itu tak jarang diperkaya detail pada pintu dan jendela yang berlebihan, sangat mendekati model Timur Tengah. Padahal, menurut Noe'man, guru besar ITB, tak ada ketetapan yang menyamakan Islam dengan Timur Tengah di sini.
Penyamarataan model Timur Tengah dengan model Islam bahkan sesekali menimbulkan kesan mubazir. Noe'man mengkritik model menara yang menjulang, mencapai puluhan meter. Pada zaman Rasulullah, Bilal, muazin pertama, diminta meneriakan azan dari tempat yang tinggi supaya didengar banyak umat. "Tapi kini kan ada speaker," ujar Noe'man. Ia menilai kaligrafi Al-Quran yang menggunakan lapisan emas itu berlebihan. Menurut Noe'man, meskipun Allah menyukai keindahan, bukan keindahan yang mengundang sifat ria.
Bahkan terkadang, menurut Ichsan, masjid dibangun megah tanpa memperhitungkan biaya pemeliharaannya. Ichsan mencontohkan Masjid Agung di Surabaya, yang megah dan bergaya kontemporer tapi tak mampu membiayai pemeliharaannya.
Membangun kubah bulat masjid pun bukan keharusan. Selain membutuhkan konstruksi bangunan yang rumit dan berat, terkadang ruang shalat di bawahnya tidak bisa bebas kolom. Noe'man mencontohkan kubah di Masjid Istiqlal yang saking beratnya membutuhkan 12 kolom berdiameter besar untuk menyangganya. "Dengan ilmu pengetahuan yang kini sudah berkembang, Allah sendiri menyarankan melakukan ijtihad," ujar Noeman. Artinya, mencari solusi desain masjid berdasar perenungan baru.
Ini yang dilakukan Noe'man saat merancang masjid di lingkungan kampus ITB pada 1964 (selesai tahun 1972). Di atas massa bangunan utama ada kubah terbalik. Banyak kalangan menganggap bentuk itu ibarat tangan sedang berdoa. Padahal, menurut No'eman, hal itu terjadi karena konstruksi bangunan. Ruang salat utama harus bebas kolom, sehingga dipakailah balok bentang lebar. Oleh Noe'man ujung beton itu dilengkungkan ke atas, lengkungan yang juga berfungsi sebagai talang air.
Inovasi konstruksi juga terdapat pada Masjid Said Naum. Ruang ibadahnya selebar kurang lebih 15 meter ini bebas kolom. Sejatinya, dengan bentang selebar itu, atap limasan membutuhkan empat kolom buat menopangnya. Untuk konstruksi atap limasan, Adhi Moersid, arsiteknya, menggunakan balok-balok baja yang menumpang pada ring baja di atasnya. Atap limasan kedua ditumpangkan di atas ring itu dan menciptakan ventilasi udara yang menyejukkan masjid.
Ijtihad memang kini banyak dilakukan. Masjid Assyuhada di kampus Univesitas Trisakti, Jakarta, misalnya. Terkungkung di antara gedung bertingkat, masjid ini tampil sangat kontemporer. Bahkan cenderung minimalis. Bangunan berbentuk kubus ini terdiri dari tiga lantai. Lantai dasar dibiarkan terbuka sebagai ruang serbaguna. Ruang ibadah utama terletak di lantai dua dan tiga. Hasilnya, selain menampung banyak jemaah, bangunan itu juga sangat estetis.
Material bangunan juga sangat sederhana dan minim. Di antaranya kisi aluminium dan kaca hitam yang menutupi sebagian dinding sampingnya, mulai dari lantai dua hingga tiga. Ciri masjid hanya ditunjukkan melalui sehelai dinding menara setinggi kurang lebih 15 meter. Menyerupai menara. "Hal itu sah-sah saja supaya eye catching," Noe'man menanggapi.
Noe'man juga menggarisbawahi, dalam berijtihad, mencari gagasan baru, arsitek juga harus menggabungkan ilmu pengetahuan dengan syariat Islam yang mutlak harus diikuti. Menghadap kiblat, misalnya, itu keharusan. Ruang ibadah utama juga harus suci, bebas dari najis. Ini mengharuskan lantai bangunan masjid ditinggikan. Yang utama, ruang ibadah harus menciptakan shaf (deret salat) yang lurus. Ini sebabnya bangunan masjid bentuknya harus persegi. Batasan syariat itu membebaskan. Apalagi Indonesia memiliki keunikan arsitektur vernakurlar yang bisa diterapkan dalam desain.
Selain berijtihad, dalam bentuk arsitekturnya, arsitek juga harus mempertimbangkan konteks lingkungan. "Supaya sosoknya tidak teralienasi atau menjadi eksklusif," ujar Ikhsan. Masjid Said Naum lagi-lagi menjadi contoh yang cocok. Terletak di permukiman padat Tanah Abang, Said Naum tidak terasing. Apalagi tepat di sebelahnya terdapat rumah susun yang kumuh. Sosoknya yang merunduk dan teduh itu justru semakin mengundang orang untuk beribadah.
Endah W.S., Muannas (Makassar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini