Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poros Jakarta-Peking adalah istilah politik sekaligus sebuah kenang-kenangan. Kita mengingatnya, di samping Poros Jakarta-Pyongyang, Jakarta-Hanoi, bagian dari cita-cita besar Sukarno menyatukan negara-negara Selatan sebagai the new emerging forces.
Kita tahu, akhirnya air tak jatuh di tetirisan dan ambisi Sukarno tidak bersambut dengan mimpi para jenderalnya.
Hampir setengah abad kemudian, seorang fotografer Kantor Berita Indonesia Antara, Oscar Motulloh, dan seorang fotografer Kantor Berita Cina Xinhua, Zhuang Jin, berpameran bersama dalam Kisah Dua Kota (The Tale of 2 Cities) di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Jakarta, 13 Desember 2003-17 Januari 2004. Foto-foto yang dipamerkan adalah hasil kerja Oscar di Beijing dan karya Zhuang di Jakarta. Judul itu tentu saja mengingatkan pada salah satu novel paling populer Charles Dickens, dan memang dari situlah inspirasi diperoleh. Jadi, mungkin terlalu mengada-ada menarik kaitan antara dua hal yang terentang puluhan tahun itu. Namun, bisa jadi tukar kirim fotografer masing-masing ini sama sekali tak lepas dari nuansa sejarah itu, walau hanya dalam kenangan.
Kota dan foto adalah catatan atas manusia dalam ruang-ruang modernnya. Sejak paruh kedua abad ke-19, fotografi telah mengambil peran signifikan dalam perkembangan kota-kota besar dunia. Perubahan yang begitu cepat menjadikan foto sebagai dokumen pencatat jejak terbaik, untuk selanjutnya dipakai sebagai titik pijak pada langkah berikut, ataupun sekadar nostalgia masa silam.
Perkara nostalgia ini pulalah yang mengental pada foto-foto Oscar Motulloh tentang Beijing. Berbagai foto Oscar merekam kekinian yang sebenarnya sudah menjadi bagian dari masa lalu. Payung-payung memerah Coca-Cola (bukan bintang!) di tengah arsitektur kota terlarang dalam Cultural Globalization, foto Ketua Mao dalam sablon Andy Warhol (Fellow Traveler), dan topi Mao di kepala manekin sebuah butik, lengkap dengan bintang merahnya (Red, Red Star Fashion). Dalam arti ini, Oscar menempatkan diri benar-benar sebagai si pemandang dari luar, sebagai fotografer yang menyampaikan laporan pandangan mata, dengan kedalaman dan kejelian yang tidak biasa.
Apa boleh buat, Republik Rakyat Tiongkok memang membentangkan eksotika setelah pencanangan one country, two sistems: masyarakat sosialis dengan sistem ekonomi kapitalis. Melebihi pemandangan keruntuhan sosialisme dan penyongsongan "zaman baru" di negara-negara Eropa Timur, Cina menawarkan sesuatu yang lebih dari itu. Sementara para fotografer Barat mendapatkan keruntuhan sosialisme yang bersanding dengan kejayaan konsumerisme dalam sebuah ironi, Oscar sebenarnya berkesempatan mendapati dua musuh bebuyutan itu berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah, paling tidak secara resmi. Dan bagaimana eksperimen sosial terbesar dalam sejarah itu dijalankan, inilah yang terlewatkan oleh Oscar untuk dipresentasi secara visual.
Sedangkan Jakarta, bagi Zhuang Jin, adalah arena mengasah kepekaan visual dari berbagai titik ekstrem. Siluet perempuan berjilbab melintas bidang dada telanjang laki-laki Esprit, sambil melirik jengah (Ad Woman), atau para fotografer yang berlindung dari gempuran water canon dalam sebuah demonstrasi (Photographer). Jakarta menjadi lahan menebar berbagai snapshot fenomenal. Zhuang menjalankan laku klasik fotografi: mengekspos detail keseharian Jakarta yang sering dilewatkan begitu saja oleh warganya. Tangisan si kecil yang belepotan arang di samping rumahnya yang terbakar (After Fire), modus penggusuran yang sudah dianggap jamak (karena itu, ngapain dipeduliin). Pada pokok inilah kelebihan Zhuang, sebagaimana juga para fotografer asing lain yang menjejak Jakarta. Mereka memiliki lebih banyak cadangan kepekaan atas apa yang berlangsung di depan mata, daripada kita.
Namun, ketika ikatan darah berbicara, urusannya jadi agak lain. Foto-foto Zhuang yang berkait dengan komunitas Tionghoa di Jakarta mempunyai kekuatan tersendiri, karena Zhuang ikut mempresentasi diri di dalamnya. Kedekatan inilah yang melahirkan keintiman Zhuang pada karya-karyanya dengan tema ini. Foto Close Up, tangan perempuan yang sedang membetulkan tali sepatu sandalnya (Business), adalah salah satu wujud kekuatan keintiman itu. Sebab, tanpa melihat wajahnya pun kita tetap akan tahu dari etnis apa perempuan itu. Belahan diagonal sorot cahaya pada sosok perempuan Tionghoa dengan serumpun hio di tangan kanan (Praying) adalah keintiman lain yang dipertontonkan Zhuang. Kedua foto itu tampak sekali sederhana. Namun, menyampaikan sesuatu dengan sederhana tidak pernah dicapai dengan cara yang sederhana.
Padahal, secara keseluruhan dari pameran ini, ada satu yang begitu terasa hilang: yaitu keintiman personal kedua fotografer pada sebagian besar karya-karyanya. Jarak seperti prasyarat yang sulit dilanggar. Jarak ini tidak hanya menjauhkan, tapi menghalangi keterlibatan langsung fotografer dalam karyanya. Misalnya, kecintaan Oscar pada Mao Zedong, yang muncul di sana-sini dalam detail foto-fotonya, tidak pernah ternyatakan dengan jelas. Begitu pula sikap Zhuang terhadap Jakarta. Mereka seperti mengambil posisi di balik layar, sambil sesekali melongok keluar.
Suatu sikap yang tersalur langsung pada karya, dan memunculkan subyektivitas penciptanya. Seperti usaha keras para penulis perempuan untuk turun ke karya dalam rangka melawan idelogi obyektivitas yang terbukti gagal dan berbias patriarki. Menjelmakan diri pada teks dan langsung berbicara pada para pembacanya dianggap sebagai metode yang ampuh (juga aman) untuk menyampaikan gagasan secara jujur (dan artistik). Cindy Sherman, Nan Goldin, dan Judith Dater adalah nama-nama fotografer perempuan yang juga menempuh jalur ini, dengan menjadikan diri sendiri medium penyampai gagasan.
Dalam konteks Cerita Dua Kota, pemunculan subyektivitas baik Oscar maupun Zhuang dapat mengatasi beban "representasi selengkap mungkin" dari kota yang dikunjungi. Dengan subyektivitas, tidak ada lagi kebutuhan untuk melaporkan apa saja yang dilihat, tidak perlu lagi harus mendekati secara menyeluruh agar Jakarta atau Beijing terepresentasi dengan memadai. Mereka cukup memutuskan apa saja yang mau dilihat, mau dipresentasi, dan dengan sendirinya argumentasi pertanggungjawaban tinggal disiapkan. Dengan demikian, subyektivitas akan berhasil mengatasi eksotisme, karena subyek pemotret ataupun subyek terpotret berada dalam satu bingkai, dan setiap foto akan membawa napas nyawa sang fotografer.
Alex Supartono, pengajar Jurusan Fotografi Institut Kesenian Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo